Oleh Harry Kusuma pada 08 Oktober 2011 jam 15:26
UU BHP memang sudah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi, tapi praktek komersialisasi pendidikan yang merupakan
salah satu liberalisasi pendidikan tinggi masih dijalankan oleh rezim
SBY-Boediono. Fenomena ini ditandai dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan
dari tahun ke tahun dan semakin mencoloknya komposisi mahasiswa mampu (94%)
dengan mahasiswa tidak mampu (6%) yang dapat mengakses pendidikan tinggi.
Namun, demikian wacana untuk tetap meliberalisasi pendidikan tinggi dan
melanggengkan praktek komersialisasi pendidikan masih tetap berlangsung. Hal
ini ditandai dengan adanya pembahasan tentang RUU Pendidikan Tinggi yang akan
menjadi pengganti dari UU BHP yang sudah dibatalkan sebelumnya.
RUU Pendidikan Tinggi memang secara
substansi sama dengan UU BHP, hal ini terlihat dengan isi secara implisit dari
pasal-pasal yang tertuang dalam RUU tersebut. Bentuk-bentuk pengelolaan
pendidikan tinggi yang memberikan peluang untuk melancarkan kebijakan
liberalisasi pendidikan tinggi, seperti diperbolehkan mendirikan badan
usaha dan membuka portofolio untuk membiayai kebutuhan operasional, investasi,
bantuan dana pendidikan tinggi, dan lain-lain. Selain itu, peserta didik
juga dibebankan sebesar 30% dari total kebutuhan biaya operasional dan suatu
perguruan tinggi diperbolehkan menetapkan jenis dan besar tariff layanan
pendidikan tinggi. Dengan melihat konsep pelaksanaan dari RUU Pendidikan
Tinggi, bukanlah isapan jempol belaka bahwa RUU tersebut akan melanggengkan
praktek komersialisasi pendidikan yang merupakan wujud dari kebijakan
liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Tekanan untuk segera membuat UU pengganti
UU BHP memang sudah sangat terasa dari desakan para rektor yang di PTN
khususnya UI, UNAIR, USU, IPB, ITB, UPI, dan UGM agar adanya payung hukum yang
jelas bagi ke-7 PTN yang hingga kini masih dibawah Peraturan Pemerintah tentang
BHMN. Namun untuk sistem pengelolaan keuangan mengikuti Peraturan Pemerintah
tentang Badan Layanan Umum. Tentunya, semangat yang dikedepankan oleh para
rektor Indonesia dan rezim SBY-Boediono yakni memberikan otonomi secara penuh
atas pengelolaan keuangan. Para petinggi PTN tersebut beralasan bahwa tujuan
dari diberikannya pengelolaan keuangan secara mandiri akan mempermudah suatu
PTN untuk mengembangkan institusinya dengan dana yang sudah didapatkan secara
mandiri dan dipergunakan secara mandiri pula.
Alasannya yakni, bagi 7 PTN yang masih
dalam payung PP tentang PT BHMN akan dibawah PP tentang BLU. Dengan demikian
perjanjian-perjanjian yang menghasilkan uang segar, profit dari badan usaha dan
atau portofolio yang diselenggarakan oleh ke 7 PTN tersebut akan menjadi
kekayaan negara. Serta tata cara penentuan jenis dan tariff layanan tidak dapat
ditentukan secara sepihak dari Pimpinan PTN namun butuh pengesahan dari Menteri
Keuangan. Dari titik inilah, sudah sangat jelas sekali bahwa RUU Pendidikan
Tinggi akan didesak untuk disahkan sebelum tanggal 31 Desember 2012 untuk
mempermudah kebijakan atas liberalisasi pendidikan tinggi dan melanggengkan
praktek komersialisasi pendidikan.
Liberalisasi
Pendidikan dan Praktek Komersialisasi Akan Semakin Gila Jika RUU Pendidikan
Tinggi Disahkan
Kebijakan untuk meliberalisasi
pendidikan merupakan salah satu amanat dari kesepakatan GATS (General Aggrement
Trade and Service) yang ketika itu ditandatangani oleh rezim facis Soeharto.
Dalam kesepakatan tersebut, pendidikan dimasukkan dalam kategori jasa yang
harus diliberalisasi oleh negara-negara yang meratifikasi perjanjian tersebut
dan salah satunya Indonesia. Kebijakan untuk meliberaliasi pendidikan memang
sudah dapat dilihat sejak adanya PP no 61 tentang PT BHMN, UU no tahun 2003
tentang Sisdiknas dan UU no 9 tahun 2009 tentang BHP (sudah dibatalkan). Namun,
upaya untuk meliberalisasi disektor pendidikan khususnya di pendidikan tinggi
masih dapat kita rasakan dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang sedang
dibahas oleh pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono.
Salah satu contoh efek dari liberalisasi
pendidikan yakni tingkat inflasi biaya pendidikan tinggi dari tahun 2001 hingga
tahun 2010 hampir 1,5 kali inflasi kebutuhan pokok. Walaupun tingkat akses
masyarakat (menengah ke atas) untuk menikmati bangku kuliah mengalami
peningkatan. Kondisi ini didorong dengan dibukanya jalur mandiri yang
diberlakukan oleh setiap PTN, tapi bagi calon peserta didik harus harus merogoh
kocek mereka lebih dalam dari kisaran jutaan hingga ratusan juta. Bahkan hari
ini jalur yang diselenggarakan oleh pemerintah atau dikenal dengan SNMPTN juga
dikenakan biaya yang hampir sama dengan jalur mandiri. Biaya yang harus dibayarkan
pun ditentukan dengan level, baik level satu hingga level empat yang nominalnya
dimasing-masing level berbeda tergantung fakultas mana yang dituju oleh para
peserta didik.
Begitu juga, bagi calon mahasiswa yang
memilih untuk menempuh ke Perguruan Tinggi Swasta atau PTS. Calon mahasiswa
dibujuk dengan biaya SPP yang murah namun dengan uang SKS yang mahal dan tiap
tahun mengalami kenaikkan. Selain itu, diperparah dengan minimnya fasilitas
yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Jika pun ada fasilitas yang cukup
memadai, bagi setiap calon mahasiswa pun dikenakan biaya pembangunan atau
sejenisnya dengan jumlah yang cukup besar pula walaupun tidak ada level seperti
di PTN.
Kedok atau topeng yang mereka gunakan
untuk menjalankan praktek komersialisasi pendidikan yakni bentuk subsidi silang
bagi mahasiswa yang tidak mampu, mencegah diskriminasi bagi mahasiswa yang
masuk melalui jalur mandiri dengan jalur SNMPTN dan disesuaikan dengan
kemampuan membayar dari calon mahasiswa. Padahal dari total 5,2 juta mahasiswa
hampir 94% berasal dari golongan masyarakat menengah ke atas dan hanya 6% dari
golongan menengah kebawah. Maka hal yang wajar saja untuk pemandangan di
kampus-kampus negeri atau swasta sudah sangat jarang sekali kita akan melihat
anak-anak (mahasiswa) yang berasal dari keluarga buruh pabrik, petani
miskin/buruh tani, pedagang asongan, sopir angkot dan lain sebagainya.
Selain itu, biaya sangat besar yang
dikeluarkan oleh setiap peserta didik dijadikan tameng oleh rezim SBY-Boediono
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membantu suatu PTN atau PTS
agar dapat menyediakan sarana/fasilitas yang mendukung kegiatan belajar
mengajar. Padahal jika berkaca dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih
hampir 50% masih hidup dibawah dan diambang garis kemiskinan. Tentu dengan
kenyataan tersebut, pendidikan tinggi hanya akan dapat dimanfaatkan oleh
sebagian kecil masyarakat Indonesia. Serta cita-cita negeri ini untuk mencetak
tenaga kerja yang ahli dan terdidik sebagai salah satu syarat untuk memajukan
negara ini hanya menjadi bualan semata. Kondisi ini sangat dimungkinkan dengan
besarnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia maka angkatan kerja Indonesia
maksimal hanya akan menempuh pendidikan menengah saja. Dengan demikian, hanya
akan menciptakan tenaga kerja murah yang memiliki kemampuan atau tingkat
pendidikan yang rendah bukannya tenaga kerja yang mampu mengembangkan dan
memanfaatkan kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah untuk memakmurkan
rakyat Indonesia.
Kebijakan-kebijakan palsu pun akan semakin
digelorakan oleh rezim anti rakyat (SBY-Boediono) untuk menutup kebusukan dari
penerapan liberalisasi dan praktek komersialisasi pendidikan. Gejala ini sudah
dapat kita ketahui bersama bahwa rezim boneka imperialis yakni SBY-Boediono
mendengungkan bahwa pemerintah telah menyediakan 20% dari total APBN yang salah
satunya berupa pemberian beasiswa. Namun jika kita lihat lagi lebih dalam,
pemberiaan beasiswa ini juga tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap akses masyarakat Indonesia agar dapat melanjukan ke jenjang pendidikan
tinggi. Pemberian beasiswa bidik misi atau sejenisnya hanya mampu menjangkau
64.921 calon peserta didik dari 1,5 juta lulusan SMA/K/MA dan memberikan
beasiswa bagi mahasiswa sebanyak 257.812 dari total 4.010.015 mahasiswa
baik PTN, PTS PTAI dibawah kemendiknas dan kemenag (diluar UT dan Kedinasan).
Pastinya angka-angka tersebut tidak menjamin bagi rakyat Indonesia yang berada
di usia pendidikan tinggi (Diploma 1 hingga Strata 1) 19-24 tahun sebanyak 25,3
juta jiwa. Selain itu, anggaran yang dialokasi hampir Rp 35,2 Triliyun hampir
55%-nya habis untuk membayar gaji tenaga pendidik (dosen) dan tenaga
kependidikan (karyawan).
Dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang
sedang dibahas oleh Komisi X DPR-RI, akan semakin melegitimasi kebijakan
liberalisasi dan praktek komersialisasi pendidikan tinggi. Keadaan ini sangat
dimungkinkan dengan banyaknya pasal-pasal yang mengakomodir adanya kebijakan
dan praktek liberalisasi serta komersialisasi seperti, setiap PTN yang
berbentuk Badan Hukum dan Mandiri dapat membuka badan usaha dan portofolio,
mahasiswa dibebankan sebesar 1/3 dari biaya operasional, hanya akan ada 20%
dari miskin tapi berprestasi, lalu biaya pendidikan yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun dengan mekanisme level 1-4 dan masih banyak lagi.
Dilain pihak, kebijakan liberalisasi dan
masih berjalannya praktek komersialisasi pendidikan merupakan bentuk dari
lepasnya tanggung jawab negara yang dijalankan oleh rezim anti rakyat
SBY-Boediono. Bukti sudah dapat kita lihat dari pemaparan diatas, bahwa rezim
SBY-Boediono tidak memiliki visi yang cukup tegas untuk memajukan kualitas
tenaga kerja Indonesia. Tentu dengan bukti-bukti tersebut, SBY-Boediono harus
bertanggung jawab atas kondisi pendidikan tinggi di Indonesia yang semakin
tidak berpihak pada rakyat Indonesia. Serta, SBY-Boediono harus mencegah adanya
pengesahan RUU Pendidikan Tinggi dan menghentikan kebijakan liberalisasi dan
praktek komersialisasi di pendidikan tinggi.
Dominasi
Kepentingan Negeri-Negeri Imperialis (Asing) Dalam RUU Pendidikan Tinggi
Keberadaan RUU Pendidikan Tinggi tentunya
tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang masih dibelenggu oleh sistem
setengah jajahan dan setengah feodal yang salah satunya ditandainya masih
dominannya kepentingan negeri-negeri imperialis (kapital monopoli asing)
dibawah pimpinan Amerika Serikat. Dominasi kepentingan negeri-negeri Imperialis
dalam RUU Pendidikan Tinggi ini dapat kita ketahui dengan adanya pasal yang
memperbolehkan kerjasama dibidang pendidikan (kurikulum) dengan perguruan
tinggi asing. Dengan adanya kerjasama dibidang pendidikan, bukan hal yang tidak
mungkin akan masuk teori atau pengetahuan yang bersifat eksploitatif atau
destruktif terhadap pembangunan negeri ini. Teori atau pengetahuan akan membentuk
pola pikir yang jauh dari kenyataan dan tidak memberikan solusi atas persoalan
yang dihadapi oleh Indonesia.
Fenomena ini terlihat dari monopoli sumber
daya agraria baik diatas tanah maupun yang terkandung dalam tanah oleh tuan
tanah besar berkedok perusahaan swasta asing-domestik dan milik negara.
Fenomena ini tentunya tidak lahir begitu saja, namun berasal dari teori dan
pengetahuan tentang liberalisasi dan kapitalisasi modal milik negeri-negeri
Imperialis. Wujudnya dapat kita lihat dari peraturan-peraturan yang mendukung
adanya liberalisasi ekonomi. Konsep bahkan hingga teknis adminitratif yang
menopang praktek liberalisasi pendidikan. Contoh lainnya dari dominasi teori
dan pengetahuan yang membelenggu rakyat Indonesia yakni, rakyat Indonesia dipaksa
untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh negeri Imperialis
dengan mengatasnamakan tingkat daya beli masyarakat. Serta, masih dominan
investasi asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang mengklaim untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal dari semua penerapan teori dan
pengetahuan milik negeri-negeri Imperialis khususnya Amerika Serikat hanya
membawa kesengsaraan, kerusakan lingkungan, beban hutang, krisis ekonomi bagi
rakyat Indonesia.
Memang dominasi dalam ranah kebudayaan,
tidak dapat kita sadari oleh semua rakyat Indonesia. Fenomena ini merupakan
tanda bahwa kita sudah terhegemoni dengan teori, pengetahuan dan budaya yang
dilahirkan oleh negeri-negeri Imperialis. Untuk membongkar hegemoni tersebut
dapat dilakukan dengan menciptakan toeri, pengetahuan dan budaya yang merupakan
hasil dari penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berpihak pada rakyat bukan
segelintir orang. Hal ini dikarenakan berkualitasnya dan berpihaknya
penyelenggaraan pendidikan tinggi bukanlah hal yang tidak mungkin bagi rakyat
Indonesia untuk mandiri dalam pembangunan negeri ini melalui pemanfaatan sumber
daya yang tidak eksploitatif, akumulatif dan ekspansif seperti yang diajarkan
oleh teori-teori dari negeri-negeri Imperialis.
Selain dominasi kebudayaan, ada pula
kepentingan negeri-negeri Imperialis pimpinan Amerika Serikat yakni ingin
memanfaatkan tenaga kerja murah. Hal ini dikarenakan dengan sulitnya rakyat
Indonesia untuk mengakses pendidikan tinggi maka akan semakin menambah angkatan
kerja yang dimiliki oleh Indonesia yang berpendidikan rendah. Dengan rendahnya
pendidikan, tentu angkatan kerja kita hanya menjadi buruh-buruh murah. Hal ini
sudah dapat kita lihat dengan kenyataan bahwa banyak angkatan kerja yang
lulusan SMA/K/MA hanya menjadi receptionist, cleaning service, sales
marketing, buruh pabrik, pelayan hotel, buruh konstruksi, buruh migran dan
lain sebagainya. Dengan jenis pekerjaan tersebut dan diperparah dengan
rendahnya upah yang sesuai dengan KHL tentunya hanya akan me(re)produksi bahwa
anak dari keluarga buruh atau cleaning service hanya akan mengikuti
jejak orang tuanya. Serta tingkat penghidupan atau kesejahteraan pun menambah
panjang deret angka kemiskinan yang ada di Indonesia.
Dengan demikian secara langsung, tenaga
kerja yang produktif akan hancur karena buruknya penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang hanya mempraktekkan komersialisasi pendidikan hingga rakyat
Indonesia tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Hancurnya tenaga produkif,
tentunya menjadi kerugian bagi negeri ini yang memiliki cita-cita untuk
menciptakan masyarakat yang sejahtera menjadi hanya mimpi belaka. Serta, hanya
menambah panjang waktu penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia.
Berlangsungnya dominasi kepentingan dalam ranah
kebudayaan dan tenaga kerja, tentunya tidak akan berjalan tanpa adanya rezim
boneka dalam negeri (SBY-Boediono) yang mempermudah untuk merealisasikan
kepentingan negeri-negeri Imperialis pimpinan Amerika Serikat. SBY-Boediono
megang peranan penting sebagai rezim boneka Imperialis AS dengan memberlakukan
seperangkut peraturan, menyiapkan tenaga-tenaga administratif, menerapkan
teori-teori kapitalistik, serta hukuman bahkan penegak hukum jika ada rakyat
yang memberikan perlawanan untuk menuntut hak-hak demokratisnya. Fenomena
tersebut sudah didepan mata kita, ketika puluhan mahasiswa dari UNM yang
melakukan aksi untuk menurunkan biaya pendidikan di UNM mendapatkan hukuman
berupa DO bagi 19 mahasiswa. Tidak ketinggalan ketika puluhan mahasiswa UTY
yang menggelar aksi untuk kebebasan berorganisasi mendapatkan pukulan dari
satpam dan preman yang dibayar oleh kampus dan 8 mahasiswa UTY juga menjadi
korban DO secara sepihak. Alasan dari pihak rektorat mengeluarkan mahasiswa
yakni mereka bukan berasal dari organisasi yang disahkan oleh statuta Universitas
dan dalam RUU Pendidikan Tinggi juga mengatur bahwa organisasi yang
diperbolehkan beraktivitas baik akademik, sosial maupun politik (menyampaikan
pendapat dan aspirasi) hanya organisasi yang diakui oleh statuta universitas.(###)
1 comments:
kapan semua rakyat indonesia bisa menikmati pendidikan tinggi...
apakah orang miskin tdk pnya ksmptan untuk bisa belajar dan memperbaiki nasib, sedangkan semua lpangan krj merekrut karyawan brdsarkan title tertentu..
thanks sharingnya sob, sangat memberi inspirasi.. folow back yah, Q dah folllow ni blog
Post a Comment