Oleh : Mario Kulas
Perkembangan
industri pertambangan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Opini yang dibangun kemudian, seolah-olah tidak ada pilihan lain
selain menerima pertambangan sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai
kesejahteraan. Namun kenyataan memaparkan hal yang berbeda, bahwa pertambangan
belum mampu mensejahterahkan masyarakat lokal.
Pada
diskusi dan pameran Peran Industri dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan
yang diselenggarakan Enviromental Geography Student Association (EGSA)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (7/1/2011), Ahli Geografi Ekonomi
Kependudukan; Abdur Rofi memaparkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru merupakan
daerah termiskin di Indonesia. Provinsi Riau, misalnya, menyumbang lebih dari
50% total produksi dan devisa minyak bumi. Namun, Dewan Ketahanan Pangan Riau mendata
663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau pun tergolong
tinggi, mencapai 22,19% dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka
kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88% , dan di Aceh mencapai 20,98 persen.
(Kompas, 7/1/2011)
Demikian
halnya dengan yang terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk
miskin di provinsi NTB mencapai 1.009.352 orang atau 21,55% dari total
penduduk NTB. Hal ini menempatkan NTB dalam urutan ke enam propinsi termiskin
di Indonesia.
Minimnya
kontribusi perusahaan pertambangan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lokal, secara langsung telah memicu peningkatan gerakan protes rakyat terhadap
sektor pertambangan, baik dalam soal menolak pertambangan itu sama sekali,
ataupun sekedar menggugat sejauh mana pertambangan mampu mensejahterakan
rakyat.
Demikian
halnya dengan yang terjadi di propinsi NTB yang dalam beberapa bulan terakhir
ini, diramaikan dengan gerakan protes rakyat terkait dengan keberadaan industri
pertambangan. Misalnya aksi rakyat Pringgabaya Lombok Timur terkait dengan
tambang pasir besi yang sampai berujung pada pengusiran Bupati saat meninjau
lokasi pertambangan, aksi rakyat Bima di kecamatan Langgudu, Parado, dan Sape
yang menolak pertambangan hingga bertampak pada bentrokan dengan aparat
keamanan, pembakaran camp milik PT Indotan Lombok Barat Bangkit di
Sekotong-Lombok Barat, sampai pada aksi-aksi rakyat di Kabupaten Sumbawa Barat
(KSB) terkait dengan keberadaan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), baik dalam
soal divestasi saham, sampai pada soal lapangan pekerjaan.
Menjadi
pertanyaan kemudian, jika benar bahwa pertambangan mampu mensejahterakan
rakyat, mengapa selalu ada gejolak perlawanan rakyat terhadap keberadaan
tambang, dan apakah benar sektor pertambangan merupakan satu-satunya cara tuk
mencapai kesejahteraan bagi rakyat, khususnya yang ada di NTB?
Tingkat
penguasaan tanah yang tak sebanding dengan serapan lapangan pekerjaan.
Hingga
Juli 2011, terdapat sekitar 197 Perusahaan tambang di NTB, dengan rincian 68
perusahaan logam, 28 perusahaan non logam, dan 101 perusahaan batuan (Suara
NTB, 16/7/2011). Luas Wilayah Pertambangan (WP) yang direncanakan
pemerintah propinsi NTB adalah sebesar 891.590 hektar atau 44,24% dari total
luas daratan NTB.
Namun
jumlah penguasaan tanah oleh sektor pertambangan tersebut, tidak sebanding
dengan daya serap atas lapangan pekerjaan bagi penduduk NTB. Berdasarkan data
BPS NTB, dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2009
sebesar 1.967.380 orang, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu
menyerap tenaga kerja sebanyak 33.068 orang atau 1,68%. Dan hingga Agustus
2010, BPS NTB mencatat bahwa dari jumlah angkatan kerja di Provinsi NTB
sebanyak 2.252.076, jumlah yang bekerja adalah mencapai 2.132.933 orang atau
94,71%. Dengan demikian jumlah pengangguran di NTB mencapai 119.143 orang atau
sekitar 5,29%. Namun dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada
bulan Agustus 2010, jumlah yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 18,9%,
sedangkan yang bekerja di sektor informal mencapai sekitar 81,1%. Dengan
demikian, angka pengangguran di NTB sesungguhnya jauh lebih besar dari 5,29%.
Jika
dikalkulasikan dari luas WP sebesar 891.590 hektar dengan jumlah serapan tenaga
kerja yang mencapai 33.068, maka rata-rata penguasaan tanahnya mencapai 26,96
hektar/orang. Jumlah tersebut sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah
luas lahan dan serapan tenaga kerja di sektor pertanian yang mana rata-rata
kepemilikan tanahnya hanya mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian dengan
rasio 3 hingga 5 orang per satu rumah tangga pertanian.
Sejauh
ini jumlah lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan adalah
sebesar 497.893 hektar, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916 hektar, non
irigasi 35.339 hektar, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektar dan lahan kering
seluas 287 hektar. Sedangkan untuk lahan perkebunan mencapai 175.863,45 hektar.
Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian NTB hingga
Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1% dari total penduduk NTB
usia 15 tahun yang bekerja. Disatu sisi, laju pertumbuhan alih fungsi lahan
pertanian di NTB mencapai 4% setiap tahunnya.
Tingginya
penguasaan tanah oleh sektor pertambangan yang berdampak pada semakin sempitnya
penguasaan tanah pertanian rakyat, disatu sisi rendahnya daya serap tenaga
kerja oleh sektor pertambangan, telah menjadi penyebab utama dari semakin
tingginya jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Hingga tahun 2009,
jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) legal asal NTB adalah mencapai 53.731 (NTB
Dalam Angka, 2010).
Rendahnya
pendapatan sektor pertambangan.
Jika
di ukur dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, sumbangan sektor
pertambangan juga tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan sektor
pertanian. Misalnya pada triwulan II tahun 2011, sektor pertambangan menyumbang
sebesar Rp 2,81 triliun atau sekitar 25,09%, sementara sektor pertanian sebesar
Rp 2,53 triliun atau sekitar 22,50% dari total PRDB NTB. Jika dibandingkan
dengan tingkat penguasaan tanah dan serapan tenaga kerja, maka persentase
sumbangan dari sektor pertambangan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan
dengan sektor pertanian.
Inilah
salah satu kelemahan terbesar dari sistem perekonomian di Indonesia yang
sebatas mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi, tanpa berbicara tentang
pemerataan, seberapa besar peningkatan kualitas hidup rakyat secara riil.
Rendahnya
pendapatan daerah dari sektor pertambangan, serta rendahya rata-rata pendapatan
rakyat NTB, khususnya kaum tani akibat dari sempitnya penguasaan tanah, telah
memberikan sumbangsih pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat NTB dalam
berbagai sektor. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB hingga saat ini masih
menempati urutan ke-32 dari 33 propinsi di Indonesia. Sampai akhir tahun 2010,
jumlah buta aksara di NTB masih sebanyak 225.478 orang. Dan rata-rata lama
sekolah di wilayah NTB hanya mencapai 7,2 tahun. Sedangkan angka putus sekolah
tingkat SD, selama tahun 2010 mencapai 5.578 orang dari total 600 ribu orang,
SLTP mencapai 2.415 orang dari total 170.560 siswa, SMA mencapai 1.966 dari
total 92.445 orang siswa, dan SMK mencapai 955 orang dari total 35.990 orang
siswa. Data angka putus sekolah ini baru dari sekolah dibawah pengawasan
langsung Dikpora provinsi dan kabupaten/kota, belum termasuk sekolah dibawah
Kanwil Agama yang juga ada yang putus sekolah.
Sementara
tingkat pendidikan tenaga kerja NTB juga masih di dominasi oleh lulusan SD.
Hingga tahun 2009, dari jumlah pencari kerja yang sudah di tempatkan mencapai
24.550 orang, lulusan SD ke bawah sebanyak 14.442 orang atau 59%, SLTP sebanyak
6.541 atau 26,5%, SLTA sebanyak 2.710 atau 11%, sedangkan Diploma dan Sarjana
hanya mencapai 857 orang atau 4,5%.
Ancaman
bagi kerusakan lingkungan.
Persoalan
lainnya adalah dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat keberadaan
aktifitas pertambangan. Dari total luas WP yang direncenakan Pemprop NTB mencapai
891.590 hektar, yang berada di dalam kawasan hutan adalah seluas 479.311,13
hektar (53,75%) dan WP di luar kawasan hutan seluas 412.278,87 hektar (46,25%).
Bahkan untuk Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), dari 126.261 hektar luas kawasan
hutan, termasuk hutan lindung, sekitar 90% nya merupakan wilayah pertambangan.
Akibatnya
jumlah sumber air di NTB terus mengalami pengurangan yang sangat signifikan dan
mengancam terjadinya krisis air. Data versi Balai Wilayah Sungai (BWS) NTB,
wilayah NTB telah kehilangan sedikitnya 300 unit sumber air akibat kerusakan
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipicu oleh berbagai persoalan seperti praktek
illegal logging dan eksploitasi tambang secara berlebihan. Mata air di wilayah
NTB yang dulunya mencapai 500 titik kini tinggal 120-an titik saja karena
terjadi defisit air permukaan akibat kerusakan DAS.
Hal
ini terus berdampak pada peningkatan luas lahan kritis di NTB. Dari data yang
ada, sebanyak 64 ribu hektar lahan kering dari total 1.807.463 hektar atau
84,19% dari total luas lahan pertanian di wilayah NTB, telah terdegradasi atau
mengalami penurunan fungsi. Lahan kering yang mengalami degradasi itu merupakan
bagian dari lahan kritis seluas 527.800 hektar atau sekitar 26% dari luas
daratan NTB, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 hektar dan lahan
kritis nonhutan seluas 368.800 hektar, terutama di kawasan hutan Lombok Tengah
bagian selatan dan sebagian besar Sumbawa. Selain itu, sekitar 480 ribu hektar
hutan lindung, 419 ribu hektar hutan produksi, 170 ribu hektar non produksi
termasuk 41 ribu hektar di dalam kawasan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani
dan 128 ribu hektar kawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) juga
mengalami degradasi 50 ribu hektare setiap tahunnya.
Newmont:
lebih banyak buntung daripada untung.
Dari
197 perusahaan pertambangan yang ada di NTB, PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT)
menempati urutan pertama dengan tingkat monopoli tanah terbesar yakni seluas
87.450 hektar. Memang benar bahwa PT NNT merupakan satu-satunya industri di NTB
dengan daya serap tenaga kerja terbesar dengan jumlah buruh sebanyak 4.067
orang dan buruh perusahaan sub kontrakan sebanyak 3.000 orang. Namun, jika
dibandingkan luas lahan yang dikuasai dengan jumlah tenaga kerja yang diserap,
maka rata-rata kepemilikan tanahnya bisa mencapai 12,4 hektar/orang. Jika
dibandingkan dengan rata-rata kepemilikan tanah petani di NTB yang hanya
mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian dengan rasio 3-5 orang/satu rumah
tangga pertania, maka daya serap tenaga kerja oleh PT NNT masih sangat kecil.
Sekalipun
menempati urutan pertama penyumbang terbesar bagi PDRB NTB, pada kenyataannya
angka kemiskinan termasuk yang ada di lingkar tambang Batu Hijau di KS, masih
sangat tinggi. Di Kecamatan Sekongkang misalnya, terdapat sedikitnya 565 kepala
keluarga (KK) miskin atau sekitar 29,4% dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada
452 kepala keluarga miskin atau 16,83% dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh,
terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau 23,04% dari 2.206 KK. Sementara
total KK msikin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46% dari total jumlah KK yang
bermukim di KSB. Demikian halnya dengan jumlah TKI resmi dari KSB pada tahun
2009 yang mencapai 1.521 atau 1,50% dari total penduduk KSB.
Jika
dikatakan bahwa PT NNT telah berhasil memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat
KSB dengan tingginya upah buruh, namun hal itu hanya berlaku bagi buruh PT NNT
saja, sementara perusahaan sub kontrak PT NNT belum tentu menerapkan standar
upah yang sama. Disisi lain, keberadaan PT NNT juga berdampak pada tingginya
biaya hidup di KSB. Sehingga sekalipun terjadi peningkatan pendapatan
masyarakat KSB, biaya hidup juga meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah lain di NTB.
Belum
lagi jika dibandingkan antara kewajiban keuangan PT NNT terhadap Pemerintah
Pusat dengan propinsi NTB, seperti beberapa fakta yang di kemukakan Pemda KSB,
dari data tahun 2010, dana yang diterima kas daerah dari konstribusi langsung
PT NNT, misalnya PBB, PPH, Land Rend (pajak tanah), royalti serta
pendapatan lain-lain pemerintah daerah (LLPD) seperti scrap (masuk dalam
komponen perhitungan dana perimbangan), totalnya hanya berjumlah, Rp
117.777 miliar. Sementara dana yang diterima pemerintah pusat dari konstribusi
yang sama ditahun yang sama pula, berjumlah lebih dari Rp 4,344 trilliiun
atau 1 berbanding 4.000. Bahkan sejak tahun 2005 hingga 2010, total penerimaan
negara dari operasi tambang batu hijau khusus dari komponen tadi berjumlah Rp
14,784 trilliun sementara total yang diterima daerah selama ini hanya Rp 610,273
miliar atau kurang dari 1% total penerimaan negara.
Sementara
itu, dari perhitungan nilai produksi (revenue) PT NNT sejak beroperasi tahun
1999 hingga 2005 saja, keuntungan yang di raih PT NNT berjumlah US$ 5,408
miliar atau tiga kali lipat dari nilai investasi yang sudah dikeluarkan PT NNT
dalam membuka operasi Batu hijau yang hanya berjumlah US$ 1,9 Miliar.
Dengan demikian, dalam kurun waktu hanya 7 tahun, PT. NNT sudah untung tiga
kali lipat.
Persoalan
lainnya adalah dampak lingkungan dari pembuangan tailing diteluk Senunu
kecamatan Sekongkang yang mencapai 120 ribu – 140 ribu ton per harinya. Jumlah
ini merupakan 40 kali lipat lebih banyak dari jumlah tailing yang dibuang PT
Newmont Minahasa Raya telah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan,
serta telah menimbulkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat disekitar
Teluk Buyat.
Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pertambangan belum mampu
mensejahterahkan masyarakat, justeru sebaliknya berdampak buruk pada kerusakan
ekosistem, semakin minimnya penguasaan lahan oleh petani yang terus berdampak
semakin pendapatan kaum tani. Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah
propinsi dan kabupaten tidak lagi bergantung pada sektor pertambangan dengan
alasan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
1 comments:
seharusnya aset vital tidak di serahkan pengelolaannya terhadap pemodal, karena ketika negara memberikan kebebasan terhadap pemodal maka akan ada perundingan antara pemodal dan negara yaitu pembagian hasil yang tidak rata, sedangkan negara mempunyai hak penuh terhadap pengelolaan hasil alamnya, tampa harus menghambakan diri pada kepentingan pemodal.
Post a Comment