Sunday, May 15, 2011

Unram Dibawah Ancaman Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan


Rencana pemerintah untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai Badan Hukum Pendidikan, semakin nyata dengan selesainya dibuat Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang tinggal menunggu pengesahan bersama DPR. Lalu apa sebenarnya BHP itu sendiri dan bagaimana dampaknya jika BHP diterapkan?

Latar Belakang Munculnya RUU-BHP
RUU-BHP sebenarnya merupakan tindak lanjut dari mandat undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, agar seluruh lembaga pendidikan negeri berstatus Badan Hukum Pendidikan dan diatur dalam undang-undang sendiri (Pasal 53). Selain mandat yang ada dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, kemunculan BHP juga dilatar belakangi oleh  kesepakatan GATS dalam forum WTO yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan  dan  mendatangkan keuntungan yang besar bagi investasi.

Dikatakan sebagai  badan hukum karena hak dan kewajiban lembaga  pendidikan yang berstatus BHP, diatur dalam undang-undang.

Dampak Dari Penerapan BHP
Berbicara  tentang pendidikan, berbicara tentang hubungan rakyat dengan negara terkait dengan hak-hak dasar rakyat (hak konstitusi) dan tanggung jawab negara. Hal ini jelas diatur dalam Undang-Undang  Dasar 1945 pasal 31,  itu sebabnya pemerintah bertanggungjawab terhadap pemenuhan 20% dari APBN dan APBD untuk anggaran pendidikan (ayat 4). Akan tetapi, tanggung jawab negara kian tak terasa, hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Misalnya dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mulai memperlihatkan turunnya derajat “kewajiban” pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat.

Ini terlihat dalam ketentuan pasal 9 yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, dan pasal 12 ayat (2) b yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai  undang-undang yang ada. Itulah sebabnya kenapa di sekolah-sekolah ada komite sekolah.

Sampai tahun 2006 alokasi APBN dan APBD NTB untuk sektor pendidikan, masih dalam kisaran 9% (itupun masih harus dibagi lagi dengan pendidikan kedinasan untuk calon pegawai negeri dan pegawai negeri, pendidikan kemiliteran, pemuda, dan olah raga). Oleh Mahkamah Konstitusi, dalam  surat keputusan yang bernomor MK No. 026/PUU-III/2005 Tanggal 22 Maret 2006, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menaikan anggaran pendidikan secara bertahap, adalah sebuah  bentuk pelanggaran konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Dari pengalokasian anggaran pendidikan baik dari APBN dan APBD yang masih berkisar 9%, bisa kita rasakan sendiri bahwa setiap tahunnya selalu terjadi kenaikan biaya pendidikan di UNRAM, belum lagi ditambah dengan biaya-biaya lain seperti IOMA dan JPKMK yang tidak diketahui kejelasan  penggunaannya. Lalu bagaimana jika RUU-BHP jadi disahkan?

Dalam RUU-BHP, tanggung jawab negara semakin menghilang. Pemerintah dalam RUU-BHP untuk selanjutnya hanya berperan sebagai fasilitator. Ini terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) yang berbunyi “bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan”.

Ketentuan diatas semakin diperjelas lagi dalam ketentuan Bab IV tentang kekayaan, pasal 21 ayat 4 yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan sumber daya pendidikan yang berupa dana, pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana dalam bentuk hibah kepada BHP. Pasal ini menjelaskan bahwa 20% yang seharusnya dialokasikan dari APBN dan APBD,  tidak  lagi  menjadi tanggungjawab negara.

Hilangnya tanggung jawab negara  semakin diperkuat dengan ketentuan pada pasal 4 yang mengatur tentang syarat untuk mendirikan BHP yang salah satunya adalah; lembaga pendidikan yang akan menjadi BHP, harus memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan pendiri. Ditambah lagi dengan ketentuan pada Bab VIII tentang Pembubaran, pasal 31, butir c, point 2: BHP dinyatakan bubar oleh putusan pengadilan karena BHP tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit, atau point 3:  harta  kekayaan BHP tidak mampu melunasi utangnya setelah pernyataan pailit  dicabut.  Ketentuan-ketentuan diatas jelas sangat bertentangan dengan amanat yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sumber segala sumber hukum.

Akibat pelepasan tanggungjawab negara dalam membiayai pendidikan, suatu lembaga pendidikan dipaksa untuk mencari biaya operasional secara mandiri. Maka dampak yang paling dirasakan adalah semakin mahalnya biaya pendidikan, dan mahasiswa hanya akan menjadi “sapi parahan”.

Jika melihat UNRAM, UNRAM merupakan salah satu kampus dari sekian kampus di Indonesia yang sedang  mempersiapkan  diri  menjadi Badan Hukum Pendidikan (karena dalam ketentuan RUU-BHP diwajibkan untuk pengguruan tinggi yang berstatus negeri, juga tidak menutup kemungkinan untuk kampus-kampus swasta). Misalnya dengan keberadaan badan-badan usaha yang dijalankan, baik di tingkat universitas maupun fakultas. Misalnya saja program ekstensien yang dibuka di fakultas-fakultas, counter penjualan tiket pesawat di F. Ekonomi, program akreditasi pramugari dan program pra pendidikan advokad di F. Hukum, program-program D3, peminjaman fasilitas kampus untuk keperluan komersial (seperti audiotorium untuk resepsi pernikahan), dan lain sebagainya. Maraknya badan usaha dijalankan tetap saja belum cukup menutupi biaya operasional yang dibutuhkan, apalagi berbicara pada penambahan fasilitas kampus. Maka tetap saja, kenaikan biaya pendidikan setiap tahunnya menjadi suatu keharusan yang ditanggung mahasiswa.

Mahalnya biaya pendidikan ternyata tidak diikuti dengan pengadaan fasilitas yang layak bagi mahasiswa. Misalnya apa yang dirasakan oleh mahasiswa Fakultas Pertanian yang mengeluhkan tentang sekretariat Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Unit Kegiatan Mahasiwa yang sangat kecil ruangannya, sehingga tidak nyaman dalam melakukan kerja-kerja. Di Fakultas Teknik yang masih minim akan alat-alat untuk berpraktek. Atau di Fakultas Hukum yang mempersoalkan tentang mahalnya IOMA tapi tidak diketahui jelas pengalokasian, dan juga soal biaya penulisan skripsi yang  seharusnya Rp. 100.000, mahasiswa hanya menerima Rp. 75.000 dengan alasan pemotongan biaya administrasi.

Mahalnya biaya pendidikan juga tidak diikuti dengan meningkatnya mutu pendidikan. Sebagai gambaran, menurut survei yang diselenggarakan majalah “Asiaweek”, Perguruan Tinggi Negeri papan atas seperti UI dan UGM (yang sudah berstatus BHMN sebagai tahapan menuju BHP), hanya mampu menduduki posisi 61 dan 68 dari 77 Perguruan Tinggi di Asia yang ikut disurvei. Lalu bagaimana dengan UNRAM?

Salah satu gejala dari persiapan BHP juga berbicara tentang monopoli yang dilakukan oleh suatu perguruan tinggi. Lihat saja UNRAM, misalnya saja di F. Hukum yang akan membuka program studi Ilmu Sosial dan Politik yang nantinya akan menjadi fakultas sendiri. Padahal ada beberapa universitas yang sudah membuka  jurusan tersebut, misalnya Universitas Muhamaddyah Mataram. Atau juga Fakultas yang Ekonomi yang membuka program studi Diploma III Pariwisata, wajar saja jika direktur AKPAR Mataram mengeluarkan pernyataan tegas yang mengecam tindakan tersebut, karena  kampus kecil  seperti  AKPAR  akan  semakin kehilangan peminatnya. Yang menjadi masalah adalah, kenapa birokrat selalu ingin membuka jurusan baru kalau fasilitas dan kualitas jurusan yang sudah ada, masih dalam keadaan yang memprihatikan? Apalagi jika pembukaan jurusan baru tersebut juga  ikut membebankan mahasiswa dengan menaikan biaya pendidikan.

Tidak hanya persoalan biaya pendidikan yang mahal dan fasilitas yang minim, tapi juga kebebasan berekpresi, berorganisasi, dan mengeluarkan pendapat yang semakin dikekang. Dalam RUU-BHP tidak mengatur tentang organisasi mahasiswa atau bagaimana melibatkan mahasiswa dalam pengambilan kebijakan. Wajar saja jika organisasi kemahasiswaan seperti BEM/DPM, hari ini  ditempatkan dibawah subordinat birokrat sehingga tidak memiliki kapasitas politik dalam pengambilan  kebijakan  oleh birokrat yang akan dijalankan oleh mahasiswa. Atau organisasi yang  diijinkan di kampus, hanyalah organisasi yang bersifat pengembangan minat dan bakat. Padahal kalau berbicara prinsip demokrasi, seharusnya mahasiswalah yang berdaulat karena menjadi elemen yang mayoritas di kampus.

Tidak hanya mahasiswa yang akan dirugikan dengan diberlakukannya BHP, melainkan juga tenaga pendidik (dosen), karena dalam ketentuan Bab VI Tentang Ketenagaan, Pasal 26, ayat 1 menyatakan  bahwa pengangkatan, pemberhentian, status, jabatan, hak dan kewajiban karyawan BHP ditetapkan  dalam perjanjian kerja berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta peraturan  perundang-undangan yang berlaku. Apalagi jika undang-undang ini akan menyesuaikan dengan rancangan undang-undang ketenagakerjaan (revisi terhadap  Undang-Undang Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003), yang mengantur pemberian pesangon selama 9 bulan hanya untuk yang sudah bekerja minimal 8 tahun, jika terjadi pemutusan hubungan kerja.

Tidak adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak tenaga pendidik serta pengaturan hak dan kewajiban antara karyawan dan lembaga pendidikan yang diatur dalam perjanjian kerja, akan menjadi peluang yang besar untuk terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam lembaga pendidikan yang berstatus BHP.

Maka jelaslah sekarang, konsep Badan Hukum Pendidikan merupakan sebuah bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan yang mengarahkan pendidikan pada “komersialisasi dan
privatisasi”.

(Tulisan ini sudah dimuat pada bulletin Sebar Demokrasi Edisi Perdana, 2005)

0 comments:

Post a Comment