Thursday, August 25, 2011

Segera Penuhi Hak Atas Lapangan Pekerjaan Yang Layak Bagi Rakyat Kabupaten Sumbawa Barat !


Sikap Politik Front Mahasiswa Nasional Cabang Mataram
Dukungan Kepada Perjuangan Rakyat Kabupaten Sumbawa Barat
Dalam Memperjuangkan Hak Atas Lapangan Pekerjaan Yang Layak.


Krisis yang semakin akut yang dialami oleh negeri-negeri imperialisme yang mencakup krisis finansial, krisis pangan dan krisis energi, telah menempatkan kehidupan rakyat di seluruh penjuru dunia semakin terpuruk akibat berbagai kebijakan yang dijalankan demi menyelamatkan negeri-negeri imperialisme dari krisis yang dialaminya tersebut.
Demikian halnya dengan yang dialami rakyat Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Maret 2010 saja, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang atau 13,33%. Dan hingga akhir tahun 2009 jumlah buta aksara di Indonesia masih sekitar 5,3% dari jumlah penduduk atau sekitar 8,7 juta jiwa. Dan dari data yang dirilis UNESCO-PBB pada tahun 2011, dari 31,05 juta siswa Sekolah Dasar (SD) di Indonesia, tercatat sebanyak 527.850 orang atau 1,7% yang putus sekolah setiap tahunnya. Dan dari total jumlah penduduk Indonesia usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa, hanya 4,6 juta jiwa yang berkuliah. Jumlah ini hanya meningkat 3.000 orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4,3 juta jiwa. Sementara angka putus kuliah mencapai 150.000 orang setiap tahun.

Sementara hingga Februari 2010 jumlah pengangguran mencapai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41%. Namun berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang atau 31,42%, sedangkan bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang atau 68,58%. Maka jumlah pengangguran di Indonesia sesungguhnya lebih dari 8,59 juta orang karena yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja kehilangan pekerjaannya. Begitupun dengan jumlah pengangguran terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah penduduk yang bekerja, sebesar 55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30 juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau 14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan Diploma I, I, III 2,89 juta atau hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya 4,6%.

Sebagai Negara agraris yang mana mayoritas penduduknya hidup dari aktifitas bercocok tanam, minimnya penguasaan atas tanah, merupakan penyebab utama dari kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian pada tahun 2003, jumlah rumah tangga petani naik menjadi 25,4 juta jiwa atau terjadi kenaikan sebesar 5,4 juta rumah tangga dalam satu dekade terakhir. Sementara jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, malah meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003 (naik 2,6 % per tahun). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 % pada tahun 1993 menjadi 56,5 % pada tahun 2003.

Dan berdasarkan data BPS, luas lahan pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal 12,870 juta hektar, atau menyusut sebesar 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883 juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 % dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha. Di sisi lain, ada peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang menurut data BPS mencapai mencapai 42,8 juta orang atau sekitar 40 % dari keseluruhan angkatan kerja nasional yang mencapai 107,4 juta orang pada bulan Februari 2010.

Semakin berkurangnya penguasaan rakyat atas lahan pertanian, dipengaruhi oleh semakin pesatnya perluasan wilayah perkebunan skala besar, baik milik perusahaan Negara maupun oleh perusahaan swasta. Hingga tahun 2002, dari 27 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, menguasai lahan seluas 4,6 juta hektar. Sementara 10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya, hanya menguasai lahan sebesar 2,7 juta hektar. Perluasan perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan terus meningkat secara drastis yang mana hingga tahun 2020 nanti ditargetkan sebesar 19,84 juta hektar.

Praktek monopoli tanah dalam skala besar juga terjadi di NTB, baik melalui sektor pertambangan, perkebunan, dan pariwisata. Dari sekian sektor yang ada, sektor pertambangan menempati urutan pertama yang melakukan monopoli terbesar atas tanah.

Hingga bulan Juni 2011, terdapat 75 izin usaha pertambangan mineral logam di NTB, dengan rincian 2 Kontrak Karya (KK), 6 Kuasa Pertambangan(KP), dan 67 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Luas Wilayah Pertambangan (WP) yang direncanakan Pemerintah propinsi NTB yakni sebesar 891.590 hektar atau 44,24% dari total luas daratan NTB. Dari jumlah tersebut, WP yang berada di dalam kawasan hutan adalah seluas 479.311,13 hektar (53,75%) dan WP di luar kawasan hutan seluas 412.278,87 hektar (46,25%). Sementara luas wilayah izin untuk seluruh kawasan andalan darat mencapai 569.125,55 hektar atau 28,24% luas daratan Provinsi NTB.

Namun jumlah penguasaan tanah oleh sektor pertambangan tersebut, tidak sebanding dengan daya serap atas lapangan pekerjaan bagi penduduk NTB. Berdasarkan data BPS NTB, hingga Agustus 2010, jumlah angkatan kerja di Provinsi NTB mencapai 2.252.076. Sedangkan jumlah yang bekerja adalah sebanyak 2.132.933 orang atau 94,71%. Dengan demikian, jumlah pengangguran di NTB mencapai 119.143 orang atau sekitar 5,29%. Namun dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2010, jumlah pekerja yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 18,9%, sedangkan yang bekerja di sektor informal mencapai sekitar 81,1%. Dengan demikian, angka pengangguran di NTB sesungguhnya jauh lebih besar dari 5,29%. Dan dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2009 sebesar 1.967.380 orang, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 33.068 orang atau 1,68%.

Dengan total penguasaan tanah seluas 891.590 hektar dan jumlah serapan tenaga kerja mencapai 33.068, jika dikalkulasikan maka rata-rata penguasaan tanahnya mencapai 26,96 hektar/orang. Jumlah tersebut sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah luas lahan dan serapan tenaga kerja di sektor pertanian yang mana rata-rata kepemilikan tanahnya hanya mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian. Sejauh ini jumlah lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan adalah sebesar 497.893 hektar, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916 hektar, non irigasi 35.339 hektar, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektar dan lahan kering seluas 287 hektar. Sedangkan untuk lahan perkebunan mencapai 175.863,45 hektar. Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian NTB hingga Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1% dari total penduduk NTB usia 15 tahun yang bekerja. Disatu sisi, laju pertumbuhan alih fungsi lahan pertanian di NTB mencapai 4% setiap tahunnya.

Rendahnya daya serap tenaga kerja oleh sektor pertambangan serta semakin rendahnya kepemilikan tanah oleh petani, telah menjadi penyebab utama dari semakin tingginya jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Hingga tahun 2009, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) legal asal NTB adalah mencapai 53.731.

Selain itu, Jika di ukur dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), sumbangan sektor pertambangan juga tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan sektor pertanian. Misalnya pada triwulan II tahun 2011, sektor pertambangan menyumbang sebesar Rp 2,81 triliun atau sekitar 25,09%, sementara sektor pertanian sebesar Rp 2,53 triliun atau sekitar 22,50%. Jika dibandingkan dengan tingkat penguasaan tanah dan serapan tenaga kerja, maka sumbangan dari sektor pertambangan masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertanian.

Akibatnya, keberadaan sektor pertambangan di NTB, tidak mampu menjawab masalah kemiskinan yang ada di NTB, hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di provinsi NTB mencapai 1.009.352 orang  atau 21,55% dari total penduduk NTB. Hal ini menempatkan NTB dalam urutan ke enam propinsi termiskin di Indonesia.

Rendahnya pendapatan daerah dari sektor pertambangan, serta rendahya rata-rata pendapatan rakyat NTB, telah berdampak pada terpuruknya kehidupan rakyat NTB dalam berbagai sektor. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menempati urutan ke-32 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia. Sampai akhir tahun 2010, jumlah buta aksara di NTB masih sebanyak 225.478 orang. Dan rata-rata lama sekolah di wilayah NTB hanya mencapai 7,2 tahun. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD, selama tahun 2010 mencapai 5.578 orang dari total 600 ribu orang, SLTP mencapai 2.415 orang dari total 170.560 siswa, SMA mencapai 1.966 dari total 92.445 orang siswa, dan SMK mencapai 955 orang dari total 35.990 orang siswa. Data angka putus sekolah ini baru dari sekolah dibawah pengawasan langsung Dikpora provinsi dan kabupaten/kota, belum termasuk sekolah dibawah Kanwil Agama yang juga ada yang putus sekolah.

Sementara tingkat pendidikan tenaga kerja NTB juga masih di dominasi oleh lulusan SD. Hingga tahun 2009, dari jumlah pencari kerja yang sudah di tempatkan mencapai 24.550 orang, SD ke bawah sebanyak 14.442 orang atau 59%, SLTP sebanyak 6.541 atau 26,5%, SLTA sebanyak 2.710 atau 11%, sedangkan Diploma dan Sarjana hanya mencapai 857 orang atau 4,5%.

Persoalan lainnya adalah dampak kerusakan lingkungan akibat keberadaan aktifitas pertambangan. Seperti dijelaskan sebelumnya, dari total luas WP yang mencapai 891.590 hektar, yang berada di dalam kawasan hutan adalah seluas 479.311,13 hektar (53,75%) dan WP di luar kawasan hutan seluas 412.278,87 hektar (46,25%). Bahkan untuk Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), dari 126.261 hektar luas kawasan hutan, sekitar 90% merupakan kawasan hutan, termasuk hutan lindung.

Sebanyak 64 ribu hektar lahan kering dari total 1.807.463 hektar atau 84,19% dari total luas lahan pertanian di wilayah NTB, telah terdegradasi atau mengalami penurunan fungsi. Lahan kering yang mengalami degradasi itu merupakan bagian dari lahan kritis seluas 527.800 hektar atau sekitar 26% dari luas daratan NTB, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 hektar dan lahan kritis nonhutan seluas 368.800 hektar, terutama di kawasan hutan Lombok Tengah bagian selatan dan sebagian besar Sumbawa.

Selain itu, sekitar 480 ribu hektar hutan lindung, 419 ribu hektar hutan produksi, 170 ribu hektar non produksi termasuk 41 ribu hektar di dalam kawasan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dan 128 ribu hektar kawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) juga mengalami degradasi 50 ribu hektar setiap tahun.

Sementara Data versi Balai Wilayah Sungai (BWS) NTB, wilayah NTB telah kehilangan sedikitnya 300 unit sumber air akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipicu oleh berbagai persoalan seperti praktek illegal logging dan eksploitasi tambang secara berlebihan. Mata air di wilayah NTB yang dulunya mencapai 500 titik kini tinggal 120-an titik saja karena terjadi defisit air permukaan akibat kerusakan DAS.

Dari 73 wilayah pertambangan yang ada di NTB, PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) menempati urutan pertama dengan tingkat monopoli tanah terbesar yakni seluas 87.450 hektar. Dengan daya serap tenaga kerja sebanyak 4.067 orang dan buruh sub kontrakan sebanyak 3.000 orang, maka jika dikalkulasikan rata-rata kepemilikan tanahnya bisa mencapai 12,4 hektar/orang. Sementara rata-rata kepemilikan tanah petani di NTB yang hanya mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian dengan rasio satu rumah tangga pertanian beranggotakan rata-rata 3-5 orang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa daya serap tenaga kerja oleh PT NNT, masih sangat kecil dibandingkan dengan luas tanah yang dikuasai.

Disisi lain, sekalipun menempati urutan pertama penyumbang PDRB bagi NTB, pada kenyataannya angka kemiskinan termasuk yang ada di lingkar tambang Batu Hijau di KSB, masih sangat tinggi. Di Kecamatan Sekongkang misalnya, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau sekitar 29,4% dari 1.887 KK yang bermukim disana. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau 16,83% dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh, terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau 23,04% dari 2.206  KK. Sementara total KK msikin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46% dari total jumlah KK yang bermukim di KSB. Demikian halnya dengan jumlah TKI resmi dari KSB pada tahun 2009 yang mencapai 1.521 atau 1,50% dari total penduduk KSB. (NTB dalam angka, 2010).

Jika dikatakan bahwa PT NNT telah berhasil memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat KSB dengan tingginya upah buruh, yang harus dipahami, tingkat upah buruh di atas ketentuan Upah Minimun Propinsi (UMP) hanya berlaku bagi buruh PT NNT saja, sementara perusahaan sub kontrak PT NNT belum tentu menerapkan standar upah yang sama. Belum lagi, keberadaan PT NNT juga berdampak pada tingginya biaya hidup di KSB. Sehingga sekalipun terjadi peningkatan pendapatan masyarakat KSB, biaya kebutuhan hidup juga meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di NTB.

Belum lagi jika dibandingkan antara kewajiban keuangan PT NNT terhadap Pemerintah Pusat dengan propinsi NTB. Seperti beberapa fakta yang di kemukakan Pemda KSB, dari data tahun 2010, dana yang diterima kas daerah dari konstribusi langsung PT NNT, misalnya PBB, PPH, Land Rend (pajak tanah), royalti serta pendapatan lain-lain pemerintah daerah (LLPD) seperti scrap (masuk dalam komponen perhitungan  dana perimbangan), ternyata totalnya hanya berjumlah, Rp 117.777 miliar. Sementara dana yang diterima pemerintah pusat dari konstribusi yang sama ditahun yang sama pula, berjumlah lebih dari Rp 4,344 trilliiun atau 1 berbanding 4.000. Bahkan sejak tahun 2005 hingga 2010, ternyata total penerimaan negara dari operasi tambang batu hijau khusus dari komponen tadi berjumlah Rp 14,784 trilliun sementara total yang diterima daerah selama ini hanya Rp 610,273 miliar atau kurang dari 1% total penerimaan negara. (Gaung, 11/4/2011).

Sementara itu, dari perhitungan nilai produksi (revenue) PT NNT sejak beroperasi tahun 1999 hingga 2005 saja, keuntungan yang di raih PT NNT berjumlah US$ 5,408 miliar atau tiga kali lipat dari nilai investasi yang sudah dikeluarkan PT NNT dalam membuka operasi Batu hijau yang hanya berjumlah US$ 1,9  Miliar. Dengan demikian, dalam kurun waktu hanya 7 tahun, PT. NNT sudah untung tiga kali lipat.

Belum lagi jika berbicara tentang dampak kerusakan lingkungan akibat aktifitas pertambangan PT NNT. Seperti diketahui, limbah tailing yang dibuang PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) diteluk Senunu kecamatan Sekongkang mencapai 120 ribu – 140 ribu ton per harinya. Jumlah ini merupakan 40 kali lipat lebih banyak dari jumlah tailing yang dibuang PT Newmont Minahasa Raya telah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta telah menimbulkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat disekitar Teluk Buyat.

Dengan demikian, terkait dengan perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat KSB selama ini terkait dengan akses lapangan pekerjaan yang layak, maka sudah seharusnya keberadaan PT NNT di NTB, harusnya bisa memberikan manfaat yang lebih besar bagi perbaikan kesejahteraan hidup masyarakyat Indonesia, khususnya yang ada di NTB dan lebih khusus lagi di Kabupaten Sumbawa Barat.

Maka atas dasar ini, Front Mahasiswa Nasional Cabang Mataram dengan tegas menyatakan sikap :
  1. Mendukung sepenuhnya terhadap perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat KSB untuk menuntut pemenuhan hak atas lapangan pekerjaan yang layak.
  2. Mendesak PT NNT untuk memenuhi tuntutan perjuangan rakyat KSB dan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat KSB, dan NTB pada umumnya.
  3. Mengecam segala bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap aksi-aksi rakyat KSB dalam menuntut hak atas lapangan pekerjaan yang layak.

Mataram, 25 Agustus 2011

Pimpinan Cabang Mataram
Front Mahasiswa Nasional


Ilham, S.pd
Sekretaris Jenderal

2 comments:

Selamat Berjuang semoga kesuksesan mengiringi perjuangan hak-hak yang dikebiri oleh sang penguasa negeri ini

Sudah sudah menjadi keharusan dari gerakan massa demokratis untuk terus memperjuangkan hak-hak demokratisnya..jayalah perjuangan massa!

Post a Comment