Thursday, June 16, 2011

Krisis Imperialisme Dan Semakin Terpuruknya Kehidupan Klas Buruh Indonesia


Setiap tanggal 1 Mei, dunia internasional memperingati hari buruh internasional (may day). Namun seperti apakah kehidupan klas buruh, khususnya klas buruh Indonesia?


Sekilas Tentang Sejarah May Day
Peringatan hari Buruh Internasional (May Day) diawali dengan adanya demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan ini lahir atas keadaan kongkrit kaum buruh yang pada saat itu dipaksa bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Demonstrasi besar yang berlangsung sejak April 1886 pada awalnya didukung oleh sekitar 250 ribu buruh yang selama dua minggu membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh. Kota Chicago adalah jantung kebangkitan gerakan buruh pada waktu itu yang diikuti oleh sekitar 90 ribu buruh. Di New York, demonstrasi serupa diikuti sekitar 10 ribu buruh, di Detroit diikuti 11 ribu buruh. Demonstrasi pun menjalar ke berbagai kota seperti Louisville dan di Baltimore. Hingga kemudian pada tanggal 1 Mei 1886, demonstrasi yang menjalar dari Maine ke Texas, dan dari New Jersey ke Alabama yang diikuti setengah juta buruh di negeri tersebut.

Perkembangan dan meluasnya demonstrasi tersebut memancing reaksi yang juga besar dari kalangan pengusaha dan pemerintahan setempat pada saat itu. Chicago's Commercial Club, mengeluarkan dana sekitar USD 2.000 untuk membeli peralatan senjata mesin guna menghadapi demonstrasi. Demonstrasi damai menuntut pengurangan jam kerja itu pun berakhir dengan kerusuhan dan menelan korban. Dimana ketika sekitar 180 polisi melakukan penghadangan terhadap para demonstran dan memerintahkan agar membubarkan diri. Akibatnya pada tanggal 3 Mei 1886, empat orang buruh tewas dan puluhan lainnya terluka, delapan orang aktivis buruh ditangkap dan dipenjarakan.

Setelah kejadian berdarah tersebut polisi pun menerapkan larangan terhadap buruh untuk melakukan demonstrasi. Namun kaum buruh menyerah tidak begitu saja, pada tahun 1888 para buruh kembali melakukan aksi dengan mengusung tututan sama. Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di Eropa. Bahkan menurut Rosa Luxemburg (1894), demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut sebenarnya diinsipirasi oleh demonstrasi yang terjadi sebelumnya di Australia pada tahun 1856.

Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional tahun 1889 yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negeri yang kemudian memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi tuntutan utama kaum buruh seluruh dunia. Selain itu, Kongres juga menyambut usulan delegasi buruh dari Amerika Serikat yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei 1890 guna menuntut pengurangan jam kerja dan menjadikan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh sedunia.

Delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO No. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935.

Di Indonesia, kaum buruh lahir sejak diberlakukannya agarische weet pada tahun 1870 sebagai akibat dari adanya perampasan tanah secara besar-besaran (yang sesungguhnya sudah terjadi sejak Sistem Tanam Paksa tahun 1830) untuk kepentingan industri perkebunan dan pendirian industry transportasi (seperti industry pelayaran dan kereta api) sebagai upaya dari pemerintahan kolonial Belanda untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari kekayaan alam Indonesia yang diperjual belikan di pasar dunia pada saat itu. Sementara peringatan May Day di Indonesia, sudah dilaksanakan sejak disahkannya UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun 1948, yang mana dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan, "Pada tanggal 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja". Namun karena alasan politik, rejim Orde Baru kemudian melakukan larangan terhadap peringatan Hari Buruh Internasional. Sejak saat itupula, peringatan 1 Mei tidak pernah diakui oleh pemerintah Indonesia. Barulah pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru melalui perjuangan massa yang di lancarkan oleh pemuda mahasiswa pada tahun 1998, may day kembali marak di peringati di Indonesia.

Krisis Imperialisme dan Semakin Terpuruknya Kehidupan Rakyat Indonesia.
Saat ini imperialisme Amerika Serikat dan Negara-negara imperialis lainnya sedang mengalami krisis yang sangat akut akibat over produksi seperti kredit macet perumahan, komoditas berteknologi canggih seperti industri persenjataan, industri kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Selain itu AS juga mengalami krisis energi sebagai salah satu unsur terpenting dalam aktifitas produksinya. Sementara agresi militer yang dilancarkan AS terhadap Irak dan Afganistan telah berdampak pada semakin membengkaknya utang AS. Agresi AS ke Irak sendiri telah menghabiskan anggaran sebesar USD 3 trilliun atau lebih dari Rp 27.000 triliun. Krisis ini sesungguhnya telah terjadi sejak akhir tahun 2000 lalu, dan oleh pemerintahan AS sendiri diakui sebagai krisis terparah semenjak krisis hebat (great depression) yang pernah terjadi pada tahun 1930-an yang telah melahirkan Perang Dunia (PD) II. Krisis ini telah berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi AS, bahkan di bulan Juni 2009, pertumbuhan ekonomi AS sempat minus 1,4% dengan defisit anggaran terbesar dalam sejarah AS yakni USD 1,09 T.

Seperti yang telah sedikit diulas, krisis yang meledak dan menjalar begitu cepat ini diawali oleh kredit macet perumahan (krisis subprime mortgage) untuk rakyat di AS, tetapi apakah itu sebab pokok bagi krisis saat ini? Tentu hal ini harus kita periksa lebih dalam, bagaimana dampak kasus kredit properti dalam hal ini soal perumahan yang macet di AS dapat menjalar, bahkan dampaknya terasa sampai ke Indonesia, apa hubungannya krisis ini dengan kejatuhan saham hingga mendorong penutupan sementara bursa saham di berbagai negara serta kepanikan pemerintah di banyak negara?

Kredit macet properti perumahan di AS terjadi saat rakyat di AS begitu mudah mendapatkan pinjaman dari bank untuk pembelian rumah, dengan jaminan properti itu sendiri sebagai jaminan, kalau di Indonesia disebut dengan kredit pemilikan rumah (KPR), yang terjadi sejak akhir tahun 2000. Pada periode tersebut di AS sendiri sedang terjadi periode penurunan tingkat suku bunga di AS, misalnya maret 2000 adalah periode runtuhnya saham-saham teknologi ; burst of internet bubble. Tetapi di satu sisi proprosi aset mortgage di bank komersial terus meningkat, sehingga mendorong tingginya tingkat pembangunan perumahan di AS.

Diawali dengan penurunan suku bunga oleh the fed (bank sentral) secara agresif untuk mengurangi resiko terjadinya resesi, mendorong terjadinya pembangunan perumahan secara besar-besaran. Dengan suku bunga yang begitu rendah sementara harga rumah terus merangkak naik, pemberi mortgage seolah melupakan resiko gagal bayar dari para peminjam. Dengan ketatnya persaingan, maka strategi pemasaran pun dilakukan, salah satunya adalah dengan bunga yang dibayar begitu rendah selama dua tahun, tetapi setelah itu bunganya akan dinaikan secara signifikan, jadi bunga baru akan di- reset setelah dua tahun. Dengan harga rumah yang terus merangkak naik, sementara bunga baru akan direset setelah dua tahun banyak orang yang mengambil kredit dengan harapan sebelum tahun kedua rumah bisa dijual untuk membayar sisa mortgage.

Tetapi yang harus dilihat subprime mortgage adalah kredit berisiko tinggi, karena kebanyakan yang mengambil kredit mortgage adalah kelas pekerja rendahan, termasuk buruh karena tidak adanya jaminan soal pengembalian kredit serta kapabilitas yang memadai untuk membayar kredit. Sehingga yang terjadi kemudian adalah terjadinya gagal bayar atau yang kita sebut kredit macet, karena paling tidak ada dua hal yang terjadi yaitu, terjadinya tingkat kenaikan suku bunga yang secara otomatis mendorong kenaikan suku bunga mortgage yang merupakan investasi tinggi tanpa jaminan keamanan keuangan yang memadai, yang kedua adalah anjoknya harga rumah, turunnya harga rumah telah membuat para pengambil kredit tidak bisa menjual rumahnya untuk melunasi hutang atau pun untuk mengambil hutang baru, hal ini sebenarnya mulai terlihat periode sekitar tahun 2004. Akibatnya, resiko gagal bayar atau kredit macet semakin besar. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga mortgage akibat adanya tingkat kenaikan suku bunga bank dan anjloknya harga rumah.

Apalagi sejak tahun 2004, bank Fed telah menaikan target tingkat suku bunga : tightening credit atau pengetatan/ pengencangan kredit, secara perlahan tingkat bunga naik hingga mencapai 5.25 %, ketika terjadi kenaikan target tingkat suku bunga, maka secara otomatis bunga untuk hutang pun ikut naik. Sehingga mulai tahun 2004 tercatat bahwa tingkat kegagalan kredit subprime mortgage mulai naik dengan tajam. Puncaknya terjadi tahun 2007 ketika pengambil kredit sudah sama sekali tidak mampu mengembalikan pinjamannya akibat suku bunga atas mortgage yang melambung tinggi, sehingga yang terjadi adalah ketika mereka harus terhimpit oleh dua hal sekaligus, yang pertama terhimpit oleh hutang bank yang bunganya terus naik, yang kedua adalah angsuran pembayaran rumah yang harus di bayar menjadi berkali lipat. Akibatnya adalah mudah di tebak terjadi kemacetan total pada kredit perumahan rakyat. Kemudian krisis subprime mortgage efeknya dengan cepat menjalar keberbagai sektor, memakan korban berbagai lembaga keuangan dan bank-bank investasi yang kemudian merambat cepat bak wabah keseluruh dunia dalam berbagai sektor.

Dimulai Maret 2008 ketika bank investasi, Bear Stearns yang dibeli JP Morgan Chase dengan nilai US$ 263 Juta, akuisisi ini di motori Bank Fed AS. Kasus ini kemudian berlanjut pada tanggal 7 September ketika perusahaan pembiayaan rumah terbesar di AS Freddie Mac dan Fannie Mae diambil alih departemen keuangan AS sekaligus menjamin utang masing-masing perusahaan sebesar US$ 100 Miliar. Tanggal 15 september Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, Merrill Lynch menyatakan diri diakuisisi oleh bank of America dengan nilai sebesar US$ 50 Miliar, masih diwaktu yang sama AIG mengalami kemerosotan saham hingga 60,8%. Selain itu Bank Fed juga menyuntikan dana kepasar sebesar US$ 70 Milliar. Sehari berikutnya bank Fed dipaksa menyuntikan dana sebesar US$ 50 miliar kepasar, selain itu pemerintah AS juga harus menyelamatkan AIG dengan imbalan 79,9% untuk menyuntikan dana sebesar US$ 85 Miliar untuk perusahaan asuransi raksasa tersebut. Kemudian 26 September 2008 bank terbesar di AS yaitu Washington Mutual (WaMu) kolaps, dan sebagian sahamnya kemudian di beli JP Morgan Chase dengan nilai US$ 1,9 Miliar.

Untuk mengatasi krisis yang semakin kronis tersebut, pemeritahan di negeri-negeri imperialisme mengeluarkan berbagai paket kebijakan. Misalnya Amerika Serikat menyiapkan anggaran sebesar USD 700 miliar pada pemerintahan George W. Bush, dan USD 700 miliar pada pemerintahan Barack H. Obama. Paket ini termasuk didalamnya dana talangan untuk institusi keuangan yang mencapai USD 250 miliar, jaminan deposito USD 250 ribu, dan dana likuiditas mencapai USD 900 miliar. Selain itu pemerintah AS juga menaikkan pungutan pajak dan menaikan jaminan simpanan bank dari USD 100.000 menjadi USD 450.000. Demikian halnya yang terjadi di Uni Eropa, Inggris mengeluarkan USD 691 miliar, menyuntikan dana hingga USD 64 miliar untuk tiga bank terbesar, dan akan menjamin USD 439 miliar untuk menopang proses peminjaman antar bank, jaminan deposito mencapai USD 87.857 dan dana likuiditas mencapai USD 351 miliar melalui cara lelang. Jerman menyiapkan anggaran sebesar USD 680 miliar, menyuntikan dana sampai USD 109.79 miliar untuk rekapitalisasi, USD 27.4 miliar untuk bank-bank yang mengambil jaminan pinjaman, jaminan deposito tanpa batas dan dana cadangan likuiditas mencapai USD 548.9 miliar. Irlandia menyiapkan anggaran sebesar USD 544 miliar, pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan 6 bank yang terproteksi. Jaminan deposito tanpa batas dan enam bank di jamin. Perancis menyiapkan USD 492 miliar, dapat menyuntikan dana sampai USD 54.89 miliar untuk rekapitalisasi, pemerintah dapat mengambil kepemilikan saham dan jaminan deposito mencapai USD 95.179 serta dana cadangan likuiditas mencapai USD 439 miliar. Rusia; USD 200 miliar, berjanji meminjamkan USD 35 miliar kepada perbankan lokal, perusahaan swasta dapat meminjam mulai USD 100 juta sampai USD 2.5 miliar, serta menjamin penuh deposito. Asia; USD 80 miliar. (Kompas, 26 Oktober 2008)

Akibat krisis ini, terjadi PHK secara besar-besaran terhadap klas buruh di AS. Countrywide Financial Corporation, pemberi kredit hipotik perumahan terbesar di AS, merumahkan 12 ribu buruhnya. Keputusan yang sama juga diambil oleh Citi Group Inc, Merril Lynch, Lehman Brothers Holding Inc, First National Bank Holding Co, HSBC, Home Lender Holding Co, Scottdale, dan Indy Mac Bancorp Inc. (Tempo, 3 Februari 2008). Bahkan analisis dari Third World Network, Kanag Raja memperkirakan korban PHK akibat krisis ini mencapai 5 juta orang, sementara menurut ILO, akibat krisis sekitar 20 juta buruh akan kehilangan pekerjaan. Situasi ini menunjukkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara imperialis, sangat parah dan sekaligus menunjukkan bahwa hakikat dari imperialisme akan selalu melahirkan krisis.

Krisis over produksi yang terjadi di negera-negara imperialisme, khususnya Amerika Serikat, mengharuskan Amerika Serikat untuk melipatgandakan penindasan, misalnya dengan cara-cara dikte kebijakan ekonomi melalui berbagai pertemuan internasional seperti pertemuan G-7, G-8, G-20, KTT menteri keuangan dunia, dan sebagainya yang kemudian gencar dipaksakan kepada seluruh negara yang tunduk kepadanya , termasuk Indonesia. Demikianpun dengan cara yang paling bar-bar, melalui poltik “libas dan tumpas” bagi negara-negara yang tidak mau tunduk terhadap Amerika Serikat, seperti yang dialami oleh Irak, Afganistan, Palestina, dan juga Pakistan yang mana pada akhir Desember 2009, Gedung Putih telah mengeluarkan ijin bagi CIA untuk melakukan serangan udara tanpa pilot. Hal ini dilakukan sebagai upaya Amerika Serikat untuk menguasai kekayaan alam (khususnya minyak bumi) dan pasar baru terhadap hasil produksinya untuk mencegah terjadinya over produksi.

Krisis yang dialami oleh AS dan negara-negara imperialis lainnya, juga berdampak pada Indonesia, bahkan dengan tingkatan yang berlipat ganda. Ketika perekonomian AS dilaporkan mulai membaik pada akhir Desember 2009, tidak ada gejala sedikitpun yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia juga semakin membaik, bahkan sebaliknya, penghidupan rakyat Indonesia justeru semakin merosot. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan, sementara pendapatan rakyat tidak pernah mengalami peningkatan, justeru sebaliknya subsidi publik terus di pangkas dan beban pajak semakin naik. Saat ini jumlah rakyat miskin di Indonesia telah mencapai 14,2% atau 32,5 juta. Bahkan jika mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar USD 2 per hari, maka lebih dari 50% rakyat Indonesia berada dalam kategori miskin.

Menghadapi situasi krisis tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai paket kebijakan, seperti menaikan nilai jaminan tabungan dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 2 miliar per nasabah yang ditujukan untuk mencegah terjadinya “rush” (penarikkan uang nasabah secara besar-besaran dalam waktu yang bersamaan) seperti yang pernah terjadi pada krisis 1997 yang menyebabkan bangkrut dan diakusisinya sejumlah bank swasta di Indonesia. Sementara imperialisme sangat bergantung kepada bank sebagai penjamin modal bagi kegiatan investasinya.

Selain itu pemerintah juga menyiapkan program buy back yang ditujukan untuk melakukan pembelian kembali saham-saham aset negara, ini bertujuan untuk menyehatkan kembali keuangan dari BUMN yang nilai sahamnya terus merosot. Program buy back hakekatnya hanya menyelamatkan Imperialisme dan memperpanjang nafas para borjuasi komprador, karena buy back nantinya akan membeli kembali saham-saham kepada perusahaan imperialis yang memegang gadai saham perusahan-perusahaan Indonesia. Misalnya ketika PT Bumi Resources Tbk milik PT Bakrie & Brothers Tbk yang sempat di suspen karena harganya menurun drastis, saat ini saham Bumi Resources dengan dua anak perusahaannya yaitu Arutmin dan Kaltim Prima Coal (KPC) sebanyak 5.017 sedang di gadaikan ke lembaga keuangan asing dan domestik, yang terbesar yaitu Oddickson finance, JP Morgan Chase, ICICI, Rekapital Securities, dan PNM Investement Management. Ini artinya negara yang harus membayar, sementara Bakrie Group sebagai komprador akan menikmati hasilnya, karena pasca pembayaran Repo (repurchase agreement) atau gadai, sebanyak 35 % saham Bumi Resources rencananya akan di jual kepada Northstar Pasific Ltd, yang didukung perusahaan private equity terbesar didunia dengan cadangan dana mencapai USD 27-28 milliar, yaitu Texas Pasific Group (TPG).

Selain kebijakan buy back, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan bail out, yakni pemberian bantuan langsung kepada pemilik atau perusahaan yang terlilit masalah finansial. Seperti yang terjadi pada kasus bail out Bank Century yang menghabiskan anggaran sebesar 6,7trilliun. Kondisi ini sama ketika krisis yang dihadapi pada tahun 1997 yang mana BLBI kemudian dikorup oleh para borjuis komparador dan kapitalis birokrat dan hingga sekarang kasus ini belum tuntas.

Dana program kenaikan nilai jaminan nasabah, buy back, dan bail out, sebagian besar berasal dari rakyat yang di himpun lewat berbagai sumber, mulai dari pajak, dana BUMN, dana BLBI serta APBN. Terbukti bahwa APBN 2009 berkurang sebesar Rp. 16,7 triliun untuk menjalankan program-program tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya rakyatlah yang menjadi tumbal dari krisis ini. Tidak cukup dengan itu, seperti tidak peduli sama sekali dengan penderitaan rakyat, pada bulan Desember 2009 para menteri dan pejabat tinggi menerima bonus mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar, jika pejabat yang menerima sebanyak 150 orang maka uang yang dikeluarkan untuk membeli mobil dinas tersebut mencapai lebih dari Rp 195 miliar.

Klas buruh Indonesia merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang paling merasakan dampak akibat krisis imperialisme yang terjadi. Dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri (Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Dalam Negeri, Perindustrian Dan Menteri Perdagangan) No. 16 tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dikatakan oleh pemerintah, hal ini ditujukan untuk menghindari PHK massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Bahkan jumlah PHK yang dirilis oleh KADIN mencapai angka lebih dari 500.000 orang, bahkan hingga Desember 2009, jumlah buruh yang di PHK mencapai 1,6 juta. Jumlah dipastikan akan terus meningkat dengan diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dengan Cina (CAFTA). Karena sebelum kesepakatan ini saja, industri Indonesia sudah terpuruk akibat banyaknya hasil produksi yang masuk ke Indonesia dan dijual dengan harga yang sangat murah.

Sementara itu, klas buruh Indonesia juga masih harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan jaminan perlindungan atas pekerjaannya. Melalui sistem kerja kontrak, pengusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara tidak memberikan hak-hak buruh sebagai upaya untuk mengurangi biaya operasional yang harus dikeluarkan. Dengan alasan kerja dalam masa percobaan, pengusaha tidak memberikan upah secara penuh kepada buruh. Dan rata-rata buruh yang bekerja hanya mencapai tiga bulan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberian pesangon ketika buruh di PHK. Sementara dengan sistem outsourching, pengusaha menghindari pemberian hak-hak buruh dengan cara melemparkan tanggungjawab kepada perusahaan yang menyalurkan pekerjaan terjadap buruh.

Persoalan lainnya adalah soal jaminan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam bekerja. Misalnya dari hasil penelitian ILO, buruh perempuan Indonesia sangat rentan terkena kanker payudara karena tidak adanya waktu yang cukup untuk menyusui bayinya karena jam kerja yang terlampu lama. Dari paparan di atas, klas buruh adalah sektor yang paling tertindas akibat krisis imperialisme yang terjadi dan kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan imperialisme dari krisis yang dialaminya.

Kebangkitan Perjuangan Klas Buruh Adalah Kehancuran Bagi Imperialisme.
Seperti yang kita ketahui bahwa imperialisme merupakan perkembangan tertinggi dari kapitalisme karena terkonsentrasinya modal dan produksi pada segelintir kapitalis yang melahirkan monopoli. Imperialisme selalu berupaya untuk meningkatkan akumulasi kapitalnya dengan cara melakukan perampasan nilai lebih yang dihasilkan oleh klas buruh. Sementara klas buruh adalah klas yang lahir dari hubungan produksi kapitalisme. Akibat monopoli alat produksi yang dilakukan oleh para kapitalis, klas buruh tidak memiliki alat produksi sama sekali sehingga harus menggadaikan tenaganya kepada kapitalis untuk mendapatkan upah dalam membiayai hidupnya. Hal ini melahirkan watak militan dari klas buruh untuk berjuang mendapatkan kesejahteraan. Alat prouksi yang hanya mampu dijalankan secara kolektif, turut membentuk wataknya yang kolektif dengan tingkat solidaritas yang tinggi. Demikian halnya dengan kerja produksi yang dilakukannya, telah membentuk wataknya yang disiplin.

Kepentingan klas dari kapitalis untuk selalu meningkatkan akumulasi modalnya melalui perampasan nilai lebih yang dihasilkan oleh klas buruh merupakan kepentingan yang benar-benar bertentangan dengan kepentingan klas buruh yang ingin meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian, kepentingan klas antara kapitalis dan klas buruh, merupakan kepentingan klas yang tidak terdamaikan. Maka, dengan demikian, imperialisme merupakan corak produksi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tenaga produktifnya, yakni klas buruh yang mengharuskan kepemilikkan alat produksi secara kolektif sebagai syarat utama untuk menghancurkan penindasan. Maka kebangkitan perjuangan klas buruh merupakan syarat-syarat bagi kehancuran corak produksi imperialisme yang monopolistik untuk digantikan dengan corak produksi baru yang sesuai dengan watak dari klas buruh, yakni hubungan produksi yang bersifat kolektif.

Dengan demikian, klas buruh merupakan kekuatan yang memimpin dalam perjuangan membebaskan diri dari dominasi penindasan imperialisme. Itu sebabnya seluruh sektor dan golongan rakyat lainnya harus terlibat aktif mendukung perjuangan klas buruh.

Perkuat Persatuan Seluruh Rakyat Dibawah Pimpinan Aliansi Dasar Klas Buruh Dan Kaum Tani.
Penidasan akibat dominasi imperialisme tidak hanya dirasakan oleh klas buruh, melainkan juga dirasakan oleh seluruh sektor dan golongan rakyat lainnya. Yang harus dipahami adalah, Indonesia merupakan negeri Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF). Sistem SJSF lahir sebagai akibat dari adanya dominasi imperialisme secara politik terhadap hubungan produksi feodalisme. Berbeda dengan fase perkembangan masyarakat Eropa yang mana masyarakat kapitalisme/imperialisme lahir dan berkembang setelah berhasil menghancurkan struktur politik, corak produksi, dan kebudayaan feodalisme, sementara di Indonesia, imperialisme berdominasi tidak dengan menghancurkan feodalisme melainkan dengan menjadikannya sebagai basis sosial dalam mempertahankan syarat-syarat penindasannya di Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak sistem tanam paksa yang dijalankan oleh kolonial Belanda pada tahun 1830.

Sebagai negara SJSF, kedudukan Indonesia adalah sebagai penyedia kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja yang murah serta pasar, dan sasaran investasi bagi industri imperialisme. Hal ini menyebabkan bentuk penindasan di negeri SJSF dipertahankan dalam bentuk yang primitif, yakni monopoli atas tanah. Itu sebabnya di negara SJSF, tidak ada industri dasar yang mampu memproduksi mesin atau industri yang mampu melahirkan industri, hanya sebatas industri manufaktur yang memproduksi barang jadi dengan orientasi eksport, sementara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri didapatkan dari import hasil-hasil produksi imperialisme. Itu sebabnya juga, komposisi klas yang terbesar dalam negeri SJSF adalah kaum tani, bukan klas buruh.

Dengan demikian, tingkat perampasan dan ketimpangan kepemilikan tanah sangat tinggi di negeri SJSF seperti Indonesia. Dari jumlah kaum tani Indonesia yang mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, lebih dari 50% kaum tani menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan saja, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya.

Untuk menyediakan tanah dan kekayaan alam Indonesia bagi kepentingan imperialisme, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, misalnya Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang memberikan akses yang seluas-luasnya kepada perusahaan-perusahaan milik imperialisme dan kaki tangannya selama 95 tahun pertama dan bisa di perpanjang lagi. Dan yang terakhir adalah melakukan pendataan terhadap tanah-tanah yang dianggap terlantar diseluruh penjuru tanah air. Dengan demikian tingkat perampasan tanah petani yang disertai dengan kekerasan, akan semakin meningkat. Misalnya saja, tragedi 18 September 2005 di Tanak Awu-Lombok Tengah, Rumpin-Bogor pada Januari 2007 dan Karang Sari-Garut, Penangkapan terhadap sekitar 27 kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di Kalijajar-Wonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani, perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan lainnya di tangkap, juga konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat Tapanuli Tengah.

Karena hubungan produksinya adalah feodalisme, maka solusi yang harus dijalankan oleh rakyat Indonesia, adalah pertama-tama menjalankan land reform sejati. Karena pelaksanaan land reform lah yang mampu menghancurkan hubungan produksi feodalisme. Menghancurkan feodalisme sama artinya dengan memotong syarat-syarat kehidupan dan penghisapan imperialisme, karena feodalisme merupakan basis sosialnya imperialisme. Dengan demikian, kaum tani merupakan kekuatan pokok dalam perjuangan pembebasan di negeri-negeri SJSF .

Semakin meningkatnya perampasan tanah dan PHK yang terjadi serta tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan yang layak telah berdampak pada ledakan angka pengangguran terbuka yang telah mencapai 8,1 % atau 9,25 Juta dari angkatan kerja dengan distribusi pekerja 60,5 % adalah pekerja informal seperti tukang ojek, pedagang asongan, buruh lepas dan pedagang kecil. Hal ini membuat pemerintah mengintensifkan ekspor tenaga kerja keluar negeri. Tujuannya adalah mengeruk pundi-pundi pendapatan negara melalui devisa dari proses distribusi dan transaksi buruh migran keluar negeri. Bonusnya, pemerintah mendapatkan citra baik karena seolah-olah telah mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Sumbangan devisa yang mencapai Rp. 100 triliun setiap tahunnya bagi kas negara oleh buruh migran, justeru dijawab dengan berbagai bentuk penindasan terhadap buruh migran Indonesia, misalnya saja biaya berlebih penempatan tenaga kerja (overcharging). Kasus terakhir adalah Surat Edaran KJRI Hongkong No. 2258 yang semakin menguatkan posisi agen. Sementara tidak adanya jaminan perlindungan hukum dari pemerintah kepada buruh migran, menjadikan buruh migran sebagai korban penganiayaan, bahkan hingga meninggal dunia.

Disektor pendidikan, saat ini terdapat sekitar 9,7 juta jiwa rakyat Indonesia yang menyandang status buta aksara. Dari jumlah tersebut, 82 juta adalah usia sekolah, dengan rincian 29 juta di antaranya golongan anak yang seharusnya masuk pendidikan anak usia dini (PAUD), 41 juta anak masuk golongan usia wajib belajar sembilan tahun SD dan SMP. Sedangkan 12 juta lainnya usia SMA. Hal ini disebabkan oleh semakin sempitnya akses rakyat terhadap pendidikan sebagai akibat semakin mahalnya biaya pendidikan yang lahir dari berbagai kebijakan pemerintah. Misalnya adalah dengan disahkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang menyebabkan biaya pendidikan semakin melambung tinggi. Sekalipun pada telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010, namun bukan berarti bahwa komersialisasi pendidikan akan berhenti bergulir di Indonesia.

Kenyataannya adalah, sebelum disahkannya UU BHP tersebut, biaya pendidikan juga terus mengalami kenaikan. Disatu sisi, berbagai satuan pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi telah menjalankan konsep Badan Layanan Umum (BLU) yang pada hakikatnya merupakan persiapan menuju status BHP, dan dengan dicabutnya BHP pada kenyataannya status BLU tetap dijalankan oleh berbagai satuan pendidikan. Bahkan saat ini pemerintah sedang mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan Tentang Penyelenggara Dan Tata Kelolah Satuan Pendidikan Tinggi untuk menggantikan pelaksanaan BHP. Artinya bahwa, pemerintah akan terus berupaya untuk mengkomersialkan pendidikan Indonesia.

Rendahnya tanggungjawab pemerintah terhadap sektor pendidikan, juga dapat dilihat dari sangat minimnya fasilitas pendidikan. Dari total ruang kelas di SD hampir 50% dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat. Dan hingga tahun 2008, menurut Depdiknas, baru 32% SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP baru 63,3%. Demikian halnya dengan persoalan yang terkait dengan tenaga pendidik, yakni guru dan dosen. Dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi. Program sertifikasi yang ditetapkan pemerintah telah menjadi praktek komersialisasi baru yang dilegalkan dalam sektor pendidikan yang menindas para guru. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, total dosen yang ada di Indonesia adalah 240.000 orang dan dari jumlah tersebut, 120.000 orang merupakan dosen tetap di Indonesia, 50,65 % atau lebih dari 60.000 diantaranya belum berpendidikan S2.

Mahalnya biaya pendidikan, juga masih tidak dijamin dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang layak sehingga berdampak pada semakin meningkatnya angka pengangguran. Sebanyak 52,65 % tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD dan hingga Agustus 2008, pengangguran terdidik di Indonesia berjumlah 961.000 yang terbagi atas 598.000 penganggur Sarjana dan 362.000 penganggur Diploma.

Di sektor kesehatan, dari APBN 2009 yang mencapai lebih dari 1,000 trilliun, sektor kesehatan hanya mendapatkan jatah sekitar 2,8 %. Angka ini jauh dari standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang seharusnya mencapai angka 15 %. Akibatnya rakyat semakin kehilangan akses untuk mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu. Program kesehatan gratis bagi rakyat miskin yang selama ini dikampanyekan pemerintah, dalam kenyataannya banyak rakyat mendapatkannya. Karena pemerintah sendiri tidak memiliki data yang pasti terhadap jumlah rakyat miskin di Indonesia, belum lagi untuk mendapatkan layanan tersebut, harus melalui proses administrasi yang sangat berbelit-belit.

Bangun Solidaritas Internasional Dengan Garis Anti Imperialisme.
Seperti yang kita ketahui bahwa imperialisme merupakan suatu sistem penindasan yang mendominasi dunia, menindas tanpa mengenal batasan suku, ras, agama, dan batasan negara. Dominasi penindasan tidak hanya dialami oleh rakyat Indonesia, melainkan di seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, imperialisme (khususnya imperialisme Amerika Serikat) telah menjadi musuh bagi seluruh rakyat dunia. Terus berkobarnya perlawanan rakyat Irak terhadap pasukan AS yang masih menduduki wilayahnya tidak terlepas dari kebencian yang memuncak akibat tindakan yang dilakukan oleh AS. Perlawanan terhadap imperialisme AS inipun tidak hanya terjadi di Irak, tetapi juga terjadi di Nepal, Filipina, Thailand, Amerika Latin, dan berbagai penjuru dunia lainnya yang ditujukan kepada pemerintahan kaki tangan imperialisme. Pertemuan-pertemuan tingkat internasional yang melibatkan imperialis AS, seperti WTO, WEF, G-7, G-8, KTT Amerika, dan kunjungan Barack H. Obama ataupun utusan AS lainnya ke berbagai negara mendapatkan aksi protes rakyat. Demikian hal dengan gerakan protes rakyat AS yang semakin menyadari bahwa Barack H. Obama tidak ada bedanya dengan George W. Bush yang akan selalu melakukan penindasan, baik terhadap rakyat AS sendiri, maupun rakyat seluruh dunia.

Dengan demikian, gerakan perlawanan terhadap penindasan imperialisme telah menyatukan seluruh gerakan pembebasan di seluruh dunia. Dan gerakan pembebasan di negara-negara setengah jajahan dan setengah feodal haruslah menjadi pusat grafitasi untuk memutuskan sokongan hidup bagi imperialisme dalam mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan penindasannya.

Maka jelaslah bahwa, moment peringatan hari buruh internasional merupakan moment yang sangat penting bagi klas buruh untuk mengorganisasikan diri dan berjuang untuk mendapatkan kesejahteraanya. Demikian halnya, moment may day merupakan moment persatuan antara klas buruh dan kaum serta seluruh sektor dan golongan rakyat lainnya untuk menuntut hak-hak dasarnya yang dirampas oleh imperialisme, feodalisme, dan rejim kaki tangannya. Serta menjadi moment bagi rakyat tertindas diseluruh dunia untuk membebaskan diri dari dominasi penindasan imperialisme dan kaki tangannya, karena perjuangan melawan dominasi imperialisme, merupakan perjuangan yang tak mengenal batasan negara. Dengan demikian, perjuangan yang dipimpin oleh kesadaran klas buruh, merupakan perjuangan yang memiliki hari depan yang cerah-gilang gemilang, yang mampu membebaskan rakyat dari segala bentuk penindasan.

Long live people struggle !!!

(Newletter Sebar Mayday, 1 May 2010)

0 comments:

Post a Comment