Thursday, June 16, 2011

Pencabutan Undang-Undang BHP Oleh Mahkamah Konstitusi, Tidak Serta Merta Menghentikan Praktek Komersialisasi Pendidikan Di Indonesia !


Setelah kurang lebih 2 tahun selalu mendapatkan kecaman dari gerakan massa demokratis, tanggal 30 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan pencabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) Karena bertentantang dengan Konstitusi (UUD 1945). Akan tetapi, hal ini tidak serta merta menghentikan praktek komersialisasi pendidikan di Indonesia.


Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, Sudah Sepantasnya Di Cabut !
Tepat tanggal 30 Maret, Mahkamah Konstitsi telah menetapkan pencabutan terhadap Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena bertentangan dengan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebelum keputusan tersebut, sejak kelahiran rancangan sampai dengan pengesahannya, UU BHP telah mendapatkan kecaman melalui gelora perjuagan massa di seluruh penjuru tanah air karena penuh dengan muatan komersialisasi pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang sangat mahal sehingga akan berdampak pada semakin rendahnya akses rakyat terhadap pendidikan. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa UU BHP harus dicabut.

1).     BHP tidak terlepas dari kepentingan Negara-negara imperialis untuk menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi mereka.
Landasan hukum dari dilahirkan UU BHP di atur dalam pasal 53 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dari pengaturan ini saja, UU BHP sudah tidak sesuai dengan sistematika hukum yang berlaku, yang mana kedudukan UU BHP setara dengan kedudukan landasan hukum yang melahirkannya. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan sistematika hukum tersebut, sesunguhnya UU BHP dirancang tidak terlepas dari kepentingan negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran utang sebesar USD 400 juta dari IMF (Dana Moneter Internasional), yang kemudian melahirkan penandatangan kesepakatan Letter of Intent/LoI. Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melakukan pencabutan subsidi publik, termasuk pendidikan dan kesehatan.

Kesepakatan itulah yang kemudian melandasi lahirnya PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN  Perguruan Tinggi (menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara) yang kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP. Tidak ada hasil positif dari pelaksanaan BHMN di 8 Perguruan Tinggi tersebut, bahkan kampus terkemuka seperti UI, ITB, UGM, mutu pendidikannya tidak pernah keluar dari posisi 100-an di Asia Pasifik. Yang tersisa dari pelaksanaan BHMN tersebut, hanyalah SPP yang sangat mahal dan fasilitas yang sangat minim.

Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional pada tahun 2001, yakni Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang sebesar USD 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada Juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya.

2).     BHP berdampak pada semakin mahalnya biaya pendidikan.
Dalam pasal 41 ayat (4) diatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”. Dengan adanya ketentuan ini, maka tidak ada jaminan hukum tentang kewajiban Negara yang seharusnya mengratiskan Pendidikan Menengah.

Sementara dalam ketentuan pasal 41 ayat (6), tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk pendidikan tinggi, paling sedikit adalah 1/2 (seperdua). Dan pasal 41 ayat (9) menyebutkan bahwa tanggungjawab peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. Jika berdasarkan pasal tersebut dan jika dibandingkan dengan pernyataan mantan Rektor Univ. Mataram, Prof. DR. Mansyur Mahsun pada saat seminar terbuka 100 (17/1/09) bahwa total biaya operasional Univ. Mataram adalah Rp. 100 Milliyar/tahun, maka dengan jumlah mahasiswa mencapai kurang lebih 14.000 orang, maka jika di rata-ratakan, dalam satu tahun 1 orang mahasiswa harus menanggung biaya pendidikan sebesar kurang lebih Rp. 2.400.000,- atau Rp. 1.200.000/semester. Dengan demikian, dampak dari pelaksanaan BHP tersebut akan menyebabkan kenaikan biaya pendidikan mencapai hampir 100%.

Sementara bagi peserta didik yang tidak mampu, berdasarkan ketentuan pasal 40 ayat (3), badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk: beasiswa; bantuan biaya pendidikan; kredit mahasiswa; dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Selanjutnya dalam pasal 46 ayat (2) dijelaskan bahwa, beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik. Sementara kita mengetahui bahwa pemerintah selalu memiliki masalah dengan pendataan jumlah rakyat miskin, sehingga lebih banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkan bantuan, misalnya saja kasus Bantuan Langsung Tunai ketika dinaikannya harga BBM, Jaminan Kesehatan Rakyat Miskin (JAMKESMAS) yang pada kenyataannya, sangat banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkan layanan kesehatan, dan sebagainya. Demikian halnya dengan pengurusan beasiswa bagi siswa miskin, belum lagi siswa yang miskin telah terseleksi dengan sendirinya (tidak bisa sekolah) pada saat pendaftaran karena mahalnya biaya pendaftaran/biaya masuk.

3).     Mahal tapi tidak berkualitas
Apakah dengan mahalnya pendidikan akan menjamin meningkatnya kualitas pendidikan? Belajar dari pengalaman pelaksanaan 10 Perguruan Tinggi yang dijadikan sebagai Badan Hukum Milik Negara melalui PP No. 61 Tahun 1999; UI, ITB, IPB, UGM, Undip, USU, Unair dan UPI Bandung, mahalnya pendidikan tidak memberikan jaminan meningkatnya mutu pendidikan. Biaya kuliah reguler di UI per tahun mencapai Rp 5 juta hingga Rp 25 juta. Di UGM, mahasiswa dikenakan sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), baik jalur SPMB dan non SPMB yang mencapai Rp 20 juta. Bahkan di UNPAD, biaya masuknya bisa mencapai Rp. 10 juta hingga Rp. 175 juta.

Apalagi sejak trend “jalur khusus” dibuka mulai tahun akademik 2003/2004. Rata-rata kampus seperti UI, ITB, Undip dan UGM mempu mengutip dana dari jalur khusus antara Rp 15 juta hingga Rp 150 juta per mahasiswa. Bahkan di satu departemen di ITB, ketika itu mereka menyediakan 10 bangku dengan “harga” 25.000 dollar AS per bangku. Di tahun akademik 2006/2007, ITB tetap membuka jalur khusus melalui USM-ITB sebesar 30 persen dari total bangku kuliah. Lulusan USM-ITB akan dikenakan Sumbangan Dana Pembangunan Akademik (SDPA) antara Rp 45 juta hingga Rp 60 juta. Sementara bagi mahasiswa reguler dikenakan biaya kuliah Rp 2 juta per semester.

Mutu yang diharapkan pun tidak pernah terjadi. Meskipun UGM membuka program kelas internasional dan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan asing, mereka tetap berada di peringkat 77 dari 77 perguruan tinggi di kawasan Asia-Pasifik. Mutu pendidikan Indonesia pun berada di urutan 12 dari seluruh negara di ASEAN, termasuk di bawah Vietnam, Sebuah negara yang baru membangun dalam 20 tahun terakhir. Time Higher Education Supplement (THES) adalah lembaga swasta dari Inggris yang memeringkat perguruan tinggi tingkat dunia dengan kriteria jumlah publikasi penelitian atau karya ilmiah yang dihasilkan dosen maupun mahasiswa dan rasio dosen dan mahasiswa. Menurut THES, tahun 2008, UNDIP, UNAIR, maupun IPB gagal masuk 500 besar. Sementara UI hanya mampu menembus peringkat 287, ITB dan UGM pun hanya menempati peringkat ke-315 dan ke-316. Sedangkan penilaian versi Webometrics yang menilai berdasar tampilan website dan seberapa banyak orang mengakses web PT yang dinilai, pada 2005, belum satu pun PTN maupun PTS di Indonesia berhasil menembus 1.000 besar. UI baru masuk ke-3.024 pada 2006, 1.966 (2007), 1.998 (2008), dan melejit pada 2009 dengan masuk 1.000 besar bersama dengan ITB dan UGM yaitu dengan peringkat ke-906.

Kualitas pendidikan juga berbicara tentang ketersediaan fasilitas yang layak dan memadai. Dengan kondisi BOS yang tidak terserap sesuai ketentuan, gedung sekolah yang menjadi tempat belajar sebagian besar rusak, terutama di daerah-daerah terpencil. Dari total ruang kelas di SD hampir 50% dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.  Demikian halnya dengan persoalan fasilitas yang masih sangat minim, pada 2008, menurut Depdiknas, baru 32% SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP baru 63,3%.

4).     Mahal, tapi menganggur.
Mahalnya biaya pendidikan tidak juga diimbangi dengan jaminan penyediaan lapangan pekerjaan yang layak bagi lulusan pendidikan. Sebanyak 52,65 % tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD dan hingga Agustus 2008, pengangguran terdidik di Indonesia berjumlah  961.000 yang terbagi atas 598.000 penganggur Sarjana dan 362.000 penganggur Diploma.

5).     Tidak berpihak kepada pendidikan dan tenaga pendidik.
BHP tidak hanya akan berdampak buruk bagi peserta didik, melainkan juga bagi pedidikan dan tenaga pendidik. Dalam pasal 55 dijelaskan bahwa, hak dan tanggung jawab antara dari pendidik dan tenaga pendidikan diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Hal ini tentu akan berdampak pada jaminan hukum terhadap hak-hak dasar dari pendidik dan tenaga pendidikan. Dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi. Program sertifikasi yang ditetapkan pemerintah telah menjadi praktek komersialisasi baru yang dilegalkan dalam sektor pendidikan. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, total dosen yang ada di Indonesia adalah 240.000 orang, 120.000 orang merupakan dosen tetap di Indonesia, 50,65 % atau lebih dari 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2.

6).     Tidak memberikan jaminan kebebasan berekspresi dan berorganisasi.
Dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang adanya jaminan kebebasan berorganisasi dan berekspresi bagi peserta didik, khususnya bagi pemuda mahasiswa. Sementara kita mengetahui bahwa, setelah dikeluarkannya kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) sebagai buntut dari protes besar-besaran mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974 dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto pada tahun 1978 yang melahirkan tragedi berdarah di ITB, gerakan-pemuda-mahasiswa dipaksa tiarap selama hampir sepuluh tahun (akhir 70an-akhir 80an) dari aktifitas politik di kampus dan pentas politik nasional. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) melalui SK Mendikbud No. 0457/U/1990 yang menggantikan posisi dari Dewan Mahasiswa (DEMA). Setelah itu dilanjutkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi, dan dilanutkan dengan SK Dirjend Dikti No. 26 tahun 2002 tentang Pelarangan Organisasi Massa atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus, maka organisasi-organisasi mahasiswa kembali masuk dalam dikotomi ekstra dan intra. Organisasi-organisasi yang selalu mengkritisi kebijakan kampus dan pemerintah yang tidak mengabdi kepada rakyat, tidak di ijinkan berkegiatan di kampus, padahal dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadi kebebasan berorganisasi dan berekspresi sebagai salah satu hak dasar rakyat.

Dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan diatas, maka jelaslah bahwa sudah sepantasnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dicabut karena bertentangan dengan konstitusi.

Pencabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Adalah Buah dari perjuangan massa.
Pencabutan UU BHP yang dilakukan oleh Mahkamah Knstitusi karena bertentangan dengan Konstitusi, tidak terlepas dari besarnya gelora perjuagan massa yang mengecam pengesahan UU BHP tersebut. Sejak dikeluarkan rancangannya sejak 2 tahun yang lalu, dan sejak disahkannya pada 17 Desember 2008, UU BHP selalu mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai gerakan massa demokratis di seluruh penjuru tanah air. Artinya bahwa, MK tidak akan menetapkan pencabutan UU BHP jika tidak ada desakan dari perjuangan rakyat. Hal ini membuktikan bahwa sekali lagi perjuangan massa mampu melahirkan perubahan.

Pencabutan UU BHP, Tidak Serta Merta Menghentikan Komersialisasi Pendidikan Di Indonesia.
Dengan dicabutkan UU BHP oleh MK, apakah pemuda mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia harus berpuas diri dan tidak waspada dengan berjalannya komersialisasi pendidikan di Indonesia?

Komersialisasi pendidikan sudah berjalan lama melalui berbagai perangkat peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN Perguruan Tinggi, atau Badan Layanan Umum yang merupakan turunan dari UU BHP yang sudah seharusnya juga dicabut sebagai konsekuensi hukum dari pencabutan UU BHP. Sebelum disahkannya UU BHP sekalipun, biaya pendidikan tinggi dari tahun ke tahun, terus mengalami peningkatan. Dengan berbagai upaya, kampus di paksa untuk mencari sumber keuangannya sendiri, misalnya dengan dibukanya jalur masuk diluar SNMPTN, dimana presentasenya jauh melebihi jumlah mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN. Misalnya yang terjadi di Kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), yang mana presentase penerimaan mahasisiwa diluar jalur SNMPTN, jauh lebih besar dari jumlah mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN yakni 65%, atau hanya 35% mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN. Sementara biaya yang harus dikeluarkan melalui jalur diluar SNMPN, jauh lebih besar dibandingkan dengan jalur SNMPTN. Misalnya di Fak. Kedoketeran Unsoed, untuk jalur SNMPTN, biaya masuknya berkisar Rp. 40 juta hingga Rp. 50 juta, sementara untuk jalur diluar SNMPTN, biayanya mencapai Rp. 50 juta hingga Rp. 200 juta per mahasiswa. Maka sudah menjadi keharusan bagi gerakan massa demokratis untuk terus menggelorakan perjuangan massa untuk menghentikan segala bentuk komersialisasi pendidikan, guna mewujudkan sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.#

(Newsletter Sebar Demokrasi, edisi khusus Pencabuatan UU BHP, 01 April 2010)

0 comments:

Post a Comment