Thursday, June 16, 2011

Pemerintah Harus Bertanggung Jawab Atas Krisis Listrik Yang Terjadi !


Beberapa bulan terakhir ini, rakyat Indonesia bagaikan hidup dalam jaman kegelapan yang dikarenakan oleh seringnya pemadaman bergilir yang dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang diakibatkan oleh adanya krisis listrik. Hampir di setiap daerah di luar Pulau Jawa, seperti Papua, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), selalu mengalami pemadaman bergilir. Bahkan di wilayah NTB, durasinya pemadaman bergilir terjadi rata-rata hanya berselang dua hari.


Krisis listrik diakibatkan oleh rendahnya subsidi pemerintah.
Krisis listrik yang terjadi tersebut disebabkan oleh tingkat konsumsi listrik yang tidak sebanding dengan kemampuan produksi listrik oleh PLN. Misalnya yang terjadi di NTB, saat ini konsumsi listrik di NTB mencapai 154,5 MW, dengan rincian Lombok sebesar 110 MW, Sumbawa : 22 MW, dan Bima : 22,5 MW. Sementara daya yang mampu dihasilkan oleh PLN hanya mencapai 104 MW, dengan rincian ; Lombok sebesar 65 MW, Sumbawa : 18,5 MW, dan Bima : 20,5 MW. Dengan demikian NTB masih kekurangan pasokan listrik sebesar 50,5 MW. Sementara daftar tunggu pelanggan PLN NTB hingga tahun 2009 adalah sebesar 155.400 pelanggan. Jika diasumsikan satu pelanggan akan memasang daya sebesar 450 Watt, maka total daya yang dibutuhkan adalah sebesar 69,93 MW. Jika dihitung kekurangan daya saat ini dengan daftar tunggu pelanggan tersebut, maka di NTB masih kekurangan daya sebesar 120,43 MW.

Untuk menjawab masalah kekurangan daya tersebut, pemerintah bersama PLN dan perusahaan listrik swasta lainnya, menambah pasokan daya melalui pembangunan berbagai pembangkit tenaga listrik. Untuk sistem Lombok, pembangunan pembangkit tenaga listrik yang sedang berjalan adalah : PLTU Jeranjang yang dibangun dengan pendanaan dari biaya APBN dengan kapasitas sebesar 25 MW, PLTU Jerangjang dua berkapasitas 2 X 25 MW yang merupakan sewa mesin dari anggaran PLN, PLTMH Santong berkapasitas 0,85 MW yang merupakan pinjaman dari Bank Pembangunan Asia/Asean Development Bank (ADB), PLTM Kokok Putih berkapasitas 3,8 MW yang merupakan perusahaan listrik swasta atau IPP (Independent Power Production), dan PLTM Segara Anak berkapasitas 5,6 MW yang juga merupakan perusahaan listrik swasta. Dengan demikian, total yang akan dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik yang sedang berjalan untuk sistem Lombok adalah sebesar 85,25 MW.

Sementara pembangunan pembangkit tenaga listrik yang akan berjalan, di sistem Lombok adalah PLTU berkapasitas 2 x 25 MW yang dibiayai dari pinjaman utang luar negeri (loan) dari Korea Selatan, PLTU IPP berkapasitas 2 X 25 MW, dan PLTP Sembalun berkapasitas 20 MW. Maka total kapasitas yang akan dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik yang akan berjalan di sistem Lombok adalah 120 MW.

Sedangkan untuk sistem Bima yang sedang berjalan adalah PLTU NTB 1 Bonto berkapasitas 2 x 10 MW (APLN). Dan yang akan berjalan adalah PLTP Hu’u berkapasitas 2 x 10 MW (IPP). Dan untuk sistem Sumbawa yang akan berjalan adalah PLTU Sumbawa berkapasitas 2 x 10 MW (IPP), PLTU Sumbawa Barat berkapasitas 2 x 7 MW.

Pembangunan berbagai pembangkit tenaga listrik tersebut, diagendakan akan selesai di antara tahun 2011 hingga tahun 2013. Dan jika mengacu pada besaran daya yang mampu dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik yang sedang dan akan berjalan tersebut, maka masalah kekurangan pasokan listrik di NTB, akan teratasi ditahun 2011 hingga tahun 2013. Dan dengan tingkat pertumbuhan konsumsi listrik sebesar 10% atau 15,45 MW di setiap tahunnya, maka stok listrik NTB diperkirakan akan aman hingga tahun 2022. Namun hal ini belum terhitung dengan kapasitas daya yang dibutuhkan oleh Bandara Internasional Lombok Baru jika beroperasi nanti yang tentunya akan menggunakan daya dalam jumlah yang sangat besar, demikian halnya dengan rencana pembangunan Islamic Centre, NTB Convention Centre, serta migrasi pelanggan dari KLP Rinjani yang mencakup pemenuhan listrik di 3 kecamatan besar di Lombok Timur.

Apakah dengan adanya pembangunan berbagai pembangkit listrik tersebut, krisis listrik di NTB akan berakhir? Yang harus dipahami, krisis listrik yang terjadi tersebut tidak hanya sebatas persoalan kekurangan daya, melainkan juga kekurangan anggaran yang menyebabkan tidak sebandingnya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh PLN dengan subsidi yang ditanggung oleh pemerintah. Berdasarkan APBN-P 2010, subsidi TDL mencapai Rp 54,5 triliun dari APBN 2010 yang sebelumnya hanya Rp 37,8 triliun, atau mengalami kenaikan sebesar Rp 16,7 triliun. Jumlah ini jauh berkurang dari subsidi listrik tahun 2008 sebesar Rp. 78,58 triliun, dan di tahun 2009 sebesar Rp. 57,42 triliun. Alokasi anggaran APBN-P 2010 untuk listrik ini hanya mampu menahan agar TDL tidak naik pada semester pertama 2010 saja. Sementara itu, sudah semenjak tahun 2003, TDL belum pernah mengalami kenaikan, padahal sejak tahun 2003 pula, sudah beberapa kali terjadi kenaikan BBM yang tentunya juga berdampak pada kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh PLN.

Dari realisasi anggara tahun 2009 Biaya Pokok Produksi (BPP) yang harus dikeluarkan oleh PLN adalah sebesar Rp. 2.098/kwh, sementara subsidi yang diberikan pemerintah hanya mampu menanggung Rp. 1.446,52/kwh, atau ada selisih harga sebesar Rp. 651,48/kwh yang harus ditanggung oleh PLN yang kemudian dibebankan kepada masyarakat. Atas dasar inilah, maka pemerintah berencana menaikan TDL per tanggal 1 Juli nanti. Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian ESDM bersama-sama dengan komisi VII DPR telah menyetujui kenaikan TDL yang berlaku per 1 Juli mendatang. Berikut adalah rincian kenaikan TDL per 1 Juli Mendatang.

I.         Pelanggan Rumah Tangga (R)
1.       Pelanggan R1 daya 1.300VA, rata-rata pemakaian listrik 200 kWh/bln, biaya pokok produksinya Rp1.163 per kWh, TDL sebelum naik rata-rata Rp672 per kWh, rata-rata kenaikan TDL ditetapkan sebesar 18%. Dengan demikian tarif baru yang mulai berlaku per 1 Juli mendatang rata-rata mencapai Rp793 per kwh.
2.       Pelanggan Rumah Tangga R1, daya 2.200 VA, pemakaian listrik rata-rata 355 kwh per bulan, besaran biaya pokok produksi (BPP) Rp1.163 per kwh, TDL rata-rata sebelum naik Rp675 per kwh. Rata-rata kenaikan 18%, sehingga tarif baru sesudah naik rata-rata jadi Rp797 per kwh.
3.       Pelanggan Rumah Tangga R2, daya 3.500 VA sampai dengan 5.500VA, rata-rata pemakaian listrik 636 kwh/bln, BPP mencapai Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp755 per kwh, dengan kenaikan sebesar 18%, maka tarif baru menjadi Rp891/kwh.

II.       Kelompok Pelanggan Kelas Bisnis (B)
1.       Untuk B1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 198kwh/bln, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp685/kwh, naik sebesar 16%, sehingga harga tarif baru menjadi Rp795/kwh.
2.       Untuk B2, daya 2.200 VA-5.500VA. Rata-rata pemakaian 307 kwh/bulan, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp782/kwh, naik 16%, tarif sesudah naik menjadi Rp907/kwh.
3.       Untuk B3, di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian 212,249, BPP 839/kwh, harga sebelum Rp811/kwh, naik 12%, tarif sesudah naik menjadi Rp908/kwh.

III.     Kelompok Pelanggan Industri (I)
1.       Pelanggan I1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 178kwh/bln, BPP 1.163/kwh, tarif sebelum Rp724/kwh, dengan kenaikan 6%, maka tarif baru menjadi Rp767/kwh.
2.       Pelanggan I2, daya 2.200 VA, rata-rata pemakaian 273 kwh per bulan, BPP Rp1.163/kwh, tarif sebelum naik Rp746/kwh, kenaikan 6%, maka tarif sesudah naik menjadi Rp790/kwh.
3.       Pelanggan I3, daya 2.200VA sampai dengan 14 KVA, rata-rata pemakaian 872/kwh/bln, BPP Rp1.163, tarif sebelum naik Rp872/kwh, kenaikan 9%, maka tarif baru menjadi Rp916/kwh.
4.       Pelanggan 14 KVA sampai dengan 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 11.342, BPP Rp839/kwh, tarif sebelum naik Rp805/kwh, kenaikan 9%, tarif baru Rp878/kwh.
5.       Pelanggan di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 314.435, BPP Rp 839/kwh, TDL sebelum naik Rp641/kwh, kenaikan 15%, tariff baru menjadi Rp737/kwh.
6.       Pelanggan di atas 30.000, rata-rata pemakaian 16.592.651, BPP Rp718/kwh, tarif sebelum naik 529/kwh, kenaikan 15%, tarif baru menjadi Rp608/kwh.

Lalu apakah dengan adanhya kenaikan TDL tersebut, krisis listrik akan berakhir? Yang harus dipahami adalah, kenaikan TDL tidak diperuntukkan untuk mengurangi beban biaya produksi yang harus ditanggung oleh PLN, melainkan untuk mengurangi beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan oleh beban subsidi yang terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsumsi listrik di Indonesia. Ketika beban produksi terus mengalami peningkatan, sementara alokasi subsidi semakin berkurang, maka PLN akan terus mengalami kesulitan dalam menanggung biaya produksi yang harus dikeluarkan. Dengan demikian, dengan adanya kenaikan TDL sekalipun, krisis listrik di Indonesia tidak akan pernah terjawab.

Rakyat selalu menjadi korban.
Ketika pemerintah merencanakan kenaikan TDL sebesar 10%, diperkirakan laju inflasi akan naik hingga 5,3%, apalagi jika kenaikannya sesuai dengan presentase di atas. Sementara kebijakan kenaikan TDL yang ditetapkan mulai 1 Juli nanti, bertepatan dengan tahun ajaran baru masuk sekolah dan kuliah, serta mendekati bulan Ramadhan. Demikian halnya dengan kenaikan TDL sebesar 10% saja, diperkirakan akan berdampak pada kenaikan biaya produksi sebesar 2% yang akan juga akan berdampak pada terjadi PHK akibat membengkaknya biaya produksi. Dan tentu saja hal ini akan berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang akan semakin membebani kehidupan rakyat Indonesia. Demikian halnya dengan kenaikan TDL berdasarkan presentase diatas, diperkirakan harga makanan akan mengalami kenaikan sebesar 20%. Akan tetapi, pemerintah beramsumsi bahwa kenaikan TDL yang akan berdampak pada meningkatnya inflasi tersebut, tidak akan terlalu berpengaruh pada menurunnya taraf kehidupan rakyat. Hal ini didasarkan pada asumsi pemerintah bahwa tingkat pendapatan perkapita tahun 2010 telah mengalami kenaikan dengan rata-rata sebesar Rp. 10.000,-/orang. Yang harus diingat, rumus pendapatan perkapita tersebut menggunakan rumus umum yakni total pendapatan dibagi dengan total penduduk. Dengan demikian, belum tentu bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki pendapatan rata-rata sebesar Rp. 10.000,-.

Pemerintah harus bertanggungjawab.
Apakah krisis listrik yang terjadi saat ini adalah tanggungjawab sepenuhnya dari PLN? Berdasarkan paparan diatas, krisis listrik yang terjadi ada akibat dari rendahnya tanggungjawab dari pemerintah, misalnya dalam soal alokasi subsidi yang tidak cukup untuk sekedar menutupi biaya produksi yang harus ditanggung oleh PLN. Demikian halnya dengan biaya investasi seperti pembangunan pembangkit tenaga listrik. Misalnya dari sekian pembangkit tenaga listrik yang sedang dan akan di bangun di NTB, di dominasi oleh perusahaan listrik swasta. Padahal pemerintah NTB sendiri mendapatkan dana hibah dari PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) sebesar US$ 38 juta atau sekitar Rp 350 miliar lebih. Lalu mengapa dana ini tidak digunakan oleh Pemprop NTB untuk mendanai biaya produksi yang harus dikeluarkan PLN NTB untuk memenuhi kebutuhan listrik di NTB?

Selain itu, krisis listrik yang terjadi juga berhubungan langsung dengan politik pemanfaatan engergi seperti minyak, gas, dan batubara. Besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk memproduksi listrik, juga dikarenakan oleh penggunanan bahan bakar minyak sebagai bahan bakar produksi untuk menghasilkan listrik. Akan tetapi hal ini bukan dikarenakan Indonesia tidak memiliki pasokkan minyak yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar produksi listrik dalam negeri, melainkan karena pemerintah sepenuhnya menggunakan mekanisme pasar dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak sebagai bahan bakar produksi listrik. Harga jual BBM yang diberikan kepada PLN adalah harga jual bahan bakar industri pada umumnya (komersil). Sementara perhitungan harga jual bahan bakar didalam negeri, juga mengikuti perhitungan harga jual yang berlaku di pasar internasional, sementara yang kita ketahui, harga minyak internasional selalu mengalami kenaikan. Dan saat ini, 70% dari mesin penghasil listrik, masih menggunakan bahan bakar minyak, sehingga berdampak pada membengkaknya subsidi listrik sebagai akibat dari pengadaan bahan bakar minyak bagi PLN yang sepenuhnya menggunakan mekanisme pasar.

Dengan demikian, krisis listrik tidak akan terjadi jika pemerintah mampu melepaskan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak sebagai bahan bakar produksi listrik dengan memaksimalkan penggunaan gas dan batubara. Akan tetapi, hal ini kembali terbentur dengan kebijakan pemerintah yang tidak diorientasikan untuk menjawab krisis listrik dalam negeri. Misalnya soal pemanfaatan gas, dari segi regulasi, mengacu pada UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan beberapa peraturan pelaksanaan UU tersebut, salah satunya adalah Peraturan Menteri ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Pada Pasal 6 ayat (3) tertulis : "Penetapan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi dilaksanakan dengan prioritas pemanfaatan gas bumi untuk : (a) peningkatan produksi minyak dan gas bumi; (b) industri pupuk; (c) penyediaan tenaga listrik; (d) industri lainnya."

Jadi memang pasokan gas bukan diprioritaskan oleh pemerintah untuk ketenagalistrikan dan industri, tetapi untuk penyedotan minyak mentah (lifting), termasuk pada sumur minyak yang sudah tua dengan tujuan agar produksi minyak meningkat. Jadi memang secara umum kebutuhan domestik lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pupuk (menyangkut kepentingan petani), listrik (menyangkut kepentingan publik), barang produksi (menyangkut tenaga kerja) diabaikan oleh pemerintah.

Akibatnya, saat ini PT PLN dan IPP kekurangan pasokan gas di bawah kontrak sekitar 340 MMSCFD. Jumlah ini berpotensi menghilangkan penghematan subsidi APBN untuk listrik sekitar Rp 7 – Rp 14 triliun per tahun. Karena dalam APBN 2010, PT PLN tidak menganggarkan biaya BBM, maka akan terjadi pemborosan biaya BBM sekitar Rp 42 triliun per tahun. Kondisi ini membuat PT PLN kehilangan listrik sekitar 6.000 MW atau setara dengan tenaga listrik untuk sekitar 6.600 konsumen rumah tangga katagori 900 KVA. Di sisi industri, mereka kekurangan pasokan gas sekitar 350 MMSCFD. Ini merupakan kebutuhan gas dari sekitar 650 industri. Artinya akan ada potensi hilangnya Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 73 triliun per tahun dan yang lebih membuat kita miris adalah hilangnya sekitar 650.000 kesempatan kerja. Jika 350 MMSCFD itu digunakan untuk produksi minyak bumi diperkirakan akan menghasilkan  minyak sekitar 300.000 barel per hari atau hanya setara dengan pendapatan negara sekitar Rp 68 triliun per tahun atau lebih kecil daripada potensi hilangnya PDB.

Demikian halnya dengan batubara yang saat ini kapasitas produksinya mencapai 230 juta ton, dari jumlah tersebut, yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan domestik hanya sebesar 68,5 juta ton dan sekitar 45-46 juta ton diantaranya dialokasikan untuk kebutuhan pembangkit listrik. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa pemerintah tidak memiliki orientasi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Alasan yang selalu digunakan pemerintah adalah, jika di ekspor maka keuntungan yang didapatkan akan lebih besar karena harga jual diluar negeri lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual dalam negeri. Selain itu, kita ketahui bahwa, perdagangan internasional menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat, sementara nilai tukar rupiah sangat lemah terhadap dollar sehingga harga jual pun akan rendah. Akan tetapi yang terpenting adalah, bukankah pemerintah harusnya bertanggungjawab memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan akan energi dan listrik?

Selain itu, produksi minyak dan gas di Indonesia juga telah di dominasi oleh persuhaan-perusahaan asing seperti exxon mobil oil, cevron, shell, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kedudukan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara, lebih sebagai distributor, bukan produsen BBM dan gas. Maka ketika menerapkan mekanisme pasar dalam pengadaan bahan bakar untuk memproduksi listrik, maka PLN harus mengeluarkan biaya produksi yang sangat besar.

Kenyataan diatas menunjukkan bahwa PLN sebagai perusahaan milik negara, tidak diberikan kewenangan yang cukup untuk menjadi produsen listrik. Dengan kata lain, PLN tidak dibentuk sebagai perusahaan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat Indonesia. Melainkan pemerintah telah mendorong PLN sebagai perusahaan komersil yang sepenuhnya menerapkan mekanisme pasar. Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Dahlan Iskan ketika PLN akan membangun terminal penerima atau receiving terminal di PLTGU Tanjung Priok dan PLTGU Muara Karang di Jakarta, kemudian di PLTGU Muara Tawar Bekasi, serta di PLTG Medan, untuk mendapatkan gas satu juta MMBtud sebagai bahan bakar produksi listrik, sebelumnya telah ada kesepakatan atara PLN, Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk membangun perusahaan yang akan membangun receiving terminal gas di tiga tempat, namun karena lama tidak terealisasi akibat kesulitan membuat join venture company, maka PLN kemudian mengundurkan diri. Menurut dia, PLN memilih untuk mempersilakan Pertamina dan PGN membuat receiving terminal gas, sedangkan PLN lebih baik menjadi pembeli, yang penting gas tersedia.

Kenyataannya lain yang menunjukkan hal itu adalah dengan pembentukkan kelompok kerja (pokja) III dalam menjawab persoalan krisis listrik. Pokja ini diketuai oleh Menteri ESDM; Darwin Zahedy Saleh dan Wakil Ketua Gubernur Riau; HM Rusli Zainal. Sementara para anggota pokja terdiri dari Menristek, Meneg BUMN, Wakil Menteri Perindustrian, serta para Gubernur dari Bengkulu, NTB, Kalsel, serta Kaltim. Sementara PLN, juga Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai perusahaan negara yang berhubungan secara langsung dengan penyediaan listrik di Indonesia, sama sekali tidak dilibatkan. Maka jelaslah bahwa tanggungjawab atas persoalan krisis listrik yang terjadi, berada pada tangan pemerintah, sementara PLN hanya bertanggungjawab dalam soal-soal teknis semata, misalnya terkait dengan pelayanan yang buruk.

Krisis listrik adalah akibat nyata dari penindasan setengah jajahan dan setengah feodal.
Krisis listrik yang terjadi saat ini adalah bukti nyata dari bentuk penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF) yang lahir dari dominasi imperialisme secara politik (khususnya imperialisme Amerika Serikat) terhadap hubungan produksi feodalisme. Sebagai negara SJSF, Indonesia memiliki kedudukan : 1). Penyedia kebutuhan bahan baku yang murah bagi industri imperialisme, 2). Sebagai penyedia tenaga kerja murah, 3). Sebagai sasaran investasi dan pasar yang luas bagi hasil produksi imperialisme.

Dalam persoalan krisis listrik ini, maka krisis listrik ini lahir akibat politik produksi energi (minyak, gas, dan batu bara) yang tidak diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (khususnya untuk bahan bakar produksi listrik), melainkan di eksport untuk memenuhi kebutuhan imperialis akan bahan bakar sebagai salah satu unsur penting dalam aktifitas produksinya. Selain itu, presentase perusahaan listrik yang didominasi oleh perusahaan swasta milik asing, serta pengadaan bahan bakar untuk produksi listrik yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan sasaran investasi dan pasar bagi hasil produksi listrik dari perusahaan milik imperialisme. Maka jelaslah bahwa, rejim SBY-Boediono merupakan rejim yang paling setia dalam melayani nafsu serakah dari imperialis. Dan krisis listrik di Indonesia, tidak akan pernah teratasi.

(Newsletter Sebar Demokrasi, edisi khusus, tolak kenaikan TDL)

1 comments:

Casino de Slot-777 | TrickTactoe
Casino de Slot-777 in Solingen 스포츠 토토 확률 벳피스트 is a collection 스포츠 토토 축구 승무패 벳피스트 놀검소 of slot games that are considered by many to be of 토 찾사 the most important batman 토토 넷마블 of the nba매니아 Casino de Slot-777.

Post a Comment