Thursday, June 16, 2011

Tingginya Angka Buta Aksara Di Indonesia, Adalah Bukti Kegagalan Sistem Pendidikan Nasional


(Catatan Peringatan Hari Aksara Internasional Ke – 44)

Setiap tanggal 8 September, oleh dunia internasional diperingati sebagai Hari Aksara Internasional, sebuah hari yang dicanangkan secara khusus sebagai peringatan pemberantasan buta aksara di dunia. Peringatan Hari Aksara Internasional ini lahir di Taheran  Iran pada tahun 1965 dalam Kongres antar menteri pendidikan sedunia yang pada saat itu di deklarasikanlah sebuah kesepakatan untuk memberantas buta aksara sedunia. Prakarsa tersebut tercetus atas dasar kenyataan bahwa 40% penduduk dewasa di seluruh dunia pada saat itu, menyandang status buta aksara. Deklarasi tersebut mengharuskan komitmen dunia untuk melawan buta aksara dengan meratifikasi hasil kesepakatan tersebut didalam negeri, oleh seluruh delegasi yang hadir dan menandatangani kesepakatan tersebut. Setiap negara diharuskan menciptakan syarat-syarat, baik anggaran maupun infrastruktur yang mendukung dalam pemberantasan buta aksara.


Di Indonesia sendiri, berbagai program diklaim telah dijalankan pemerintah dalam memberantasi buta aksara, mulai dari program wajib belajar 9 tahun, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembentukkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sampai merealisasikan anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan, dan berbagai program lainnya. Akan tetapi, setelah 44 tahun pemberantasan buta aksara dicanangkan oleh dunia internasional, ironisnya di Indonesia masih terdapat lebih dari 15 juta penduduknya yang menyandang status buta aksara. Dari total jumlah penduduk yang buta aksara, 64% nya adalah kaum perempuan dan masyarakat yang tinggal di pedesaan. 5 propinsi yang menduduki posisi tertinggi penyandang status buta aksara di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Di tengah klaim pemerintah yang telah menjalankan berbagai program pemberantasan buta aksara, mengapa angka buta aksara di Indonesia masih saja tinggi?

Prespektif Yang Keliru Dalam Menyediakan Akses Pendidikan Bagi Rakyat
Pendidikan, baik formal maupun non formal memegang peranan penting dalam upaya pemberatasan buta dengan memajukan taraf berpikir dan kebudayaan rakyat, dan negara bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh rakyatnya. Hal ini telah tertuang jelas dan tegas dalam pasal 13 Konvenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, demikian pula dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 49 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Menurut Dirjen Pendidikan Non Formal Dan Informal Depdiknas, Hammid Muhammad, ada beberapa faktor penyebab tingginya buta aksara di Indonesia, antara lain tingginya angka putus sekolah dasar, beratnya geografis Indonesia, munculnya buta aksara baru, dan kembalinya seseorang menjadi buta aksara. Jika kita mengacu pada soal-soal diatas, sebagian besar penyebab tingginya angka buta aksara di Indonesia, adalah terkait dengan persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat. Akan tetapi, pemerintah mengklaim bahwa terkait dengan ketersedian akses pendidikan bagi rakyat, telah dijawab pemerintah melalui berbagai program, seperti wajib belajar 9 tahun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, sampai penganggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, mengapa angka buta aksara di Indonesia masih saja tinggi?

Soalnya terletak pada masalah prespektif pemerintah yang keliru dalam menyediakan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Terkait dengan realisasi anggaran 20% APBN dan APBD, dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), menyatakan bahwa besarnya dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, adalah diluar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Sementara itu, dari total APBN 2009 yang akan dialokasikan untuk pendidikan, untuk Departemen Pendidikan Nasional Rp. 52,0 trilliun, Rp. 46,1 trilliun untuk meningkatkan penghasilan guru dan peneliti, serta untuk Departemen Agama sebesar Rp. 20,7 trilliun. Sehingga, berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, anggaran pendidikan untuk tahun 2009 sesungguhnya hanya mencapai 4,63% dari total rencana anggaran belanja negara. Itu sebabnya mengapa sekalipun presentase anggaran pendidikan dalam APBN 2009 telah mencapai 20%, belum dapat menjawab persoalan penyediaan akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat.

Terkait dengan penyediaan akses pendidikan bagi seluruh rakyat, ada 2 konsep, yang pertama adalah pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara, dan yang kedua adalah pemilahan terhadap penerimaan hak. Perbedaan kedua konsep ini terletak pada prespektif tentang pendidikan sebagai hak rakyat, apakah seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan atau tidak.

Pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara didasarkan pada kesanggupan rakyat dalam menjalankan kewajibannya terhadap negara. Konsep ini yang sering diwacanakan sebagai “pajak progressif”. Artinya bahwa, kewajiban rakyat yang mampu haruslah lebih besar dibandingkan dengan rakyat yang tidak mampu. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan pemilahan atas hak dasar rakyat, pendidikan menjadi hak dari seluruh rakyat tanpa dibedakan kaya atau miskin.

Sementara pemilahan terhadap penerimaan hak didasarkan pada status sosial seseorang secara ekonomi, terkait dengan masalah pendidikan, pendidikan gratis hanya menjadi hak bagi rakyat yang miskin, sedangkan bagi rakyat yang dinilai mampu (kaya), tetap dikenakan biaya pendidikan yang tinggi. Konsep inilah yang digunakan oleh pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, dalam menyediakan akses pendidikan bagi rakyatnya. Penyediaan akses pendidikan bagi rakyat miskin dijawab dengan subsidi silang atau dengan bantuan berupa beasiswa.

Dengan demikian, secara umum, biaya pendidikan tetap mengalami peningkatan. Masalahnya adalah berapa jumlah rakyat yang mampu dalam menanggung biaya pendidikan bagi rakyat miskin, sementara jumlah rakyat miskin terus saja bertambah, apalagi akibat krisis finansial yang sedang melanda dunia internasional saat ini yang berdampak pada melambung tingginya harga-harga kebutuhan pokok, PHK massal yang menambah jumlah pengangguran yang tentunya semakin meningkatkan jumlah rakyat miskin.

Konsep yang dijalankan oleh pemerintah ini, kerap melahirkan masalah yang justeru semakin mempersempit ketersediaan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Salah satunya adalah pendataan jumlah masyarakat miskin yang masih sangat jauh dari kenyataan, akibatnya banyak rakyat miskin yang justeru tidak mendapatkan haknya untuk mengakses pendidikan. Ini sama halnya ketika pemerintah menjalankan program BLT setelah menaikan harga BBM, kenyataannya banyak rakyat yang seharusnya berhak, justeru tidak mendapatkan dana BLT hanya karena persoalan pendataan. Selain itu, konsep ini juga membuka ruang bagi terjadinya korupsi di dunia pendidikan yang terus meningkat. Artinya, persoalan korupsi di dunia pendidikan, bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan sebagai akibat yang lahir dari sistem pendidikan yang keliru.

UU BHP ; Upaya Pemerintah Untuk Melepaskan Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan.
Selain itu, pemerintah memang tidak pernah serius dalam memenuhi hak dasar rakyat terhadap pendidikan. Justeru sebaliknya, pemerintah terus saja berupaya melepaskan tanggungjawab terhadap sektor pendidikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya. Salah satunya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Secara yuridis, ketentuan tentang BHP diatur dalam pasal 53 UU Sisdiknas. Akan tetapi, tentu bukan hanya ketentuan tersebut yang menjadi latar belakang dilahirkannya UU BHP tersebut. Kelahiran UU BHP tidak terlepas dari kepentingan negeri-negeri imperialis untuk mengkomersialkan pendidikan di Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi imperialisme. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kesepakatan internasional antara pemerintah Indonesia dengan lembaga-lemabaga dan negara-negara donor yang mempengaruhi kelahiran berbagai kebijakan sektor pendidikan di Indonesia.

Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran utang sebesar US$ 400 juta dari IMF (Dana Moneter Internasional), yang kemudian melahirkan penandatangan kesepakatan Letter of Intent/LoI. Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melakukan pencabutan subsidi publik, termasuk pendidikan dan kesehatan. Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN  Perguruan Tinggi (menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara) yang kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP.

Tahun 2001 Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada Juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Orientasi Pendidikan Yang Tidak Mengabdi Kepada Kepentingan Rakyat.
Selain persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat, soal kebudayaan--orientasi pendidikan yang tidak mengabdi pada kepentingan rakyat, juga menjadi persoalan pokok masih tingginya angka buta aksara di Indonesia.

Jika kita menganalisis dari prespektif hubungan produksi, kepentingan negara-negara PBB dalam mengatasi masalah buta aksara di dunia, tidak terlepas dari kepentingan negara-negara kapitalis monopoli atas ketersediaan tenaga produktif bagi industri-industri yang didirikannya. Artinya bahwa, jika negara-negara kapitalis monopoli menginginkan industrinya bisa berjalan dan mampu menghasilkan keuntungan yang sangat besar, maka mereka harus mempekerjakan buruh yang terdidik, bisa membaca dan menulis sehingga mampu mengoperasikan mesin-mesin canggih dalam menggerakkan industri mereka. Itu sebabnya mengapa dahulu ketika Belanda menjajah Indonesia, setelah seratusan tahun Belanda menjajah, baru menjalankan “politik etis” di Indonesia yang salah satunya adalah program edukasi/pendidikan. Hal ini bukan karena keinginan Belanda untuk membalas budi orang Indonesia, melainkan karena kebutuhan Belanda terhadap pekerja terdidik yang akan menjalankan industri-industri yang didirikannya. Dari situlah kemudian rakyat Indonesia diijinkan untuk bersekolah.

Berbeda dengan negara-negara kapitalis dan kapitalis monopoli, akses pendidikan rakyat dan kualitas pendidikannya sangat diperhatikan karena terkait dengan perkembangan industri yang sudah maju, menggunakan teknologi yang canggih, sehingga membutuhkan pekerja dengan kualitas yang maju pula, sekalipun penghisapan terhadap buruh masih saja terjadi. Sementara Indonesia yang corak produksinya masih setengah kolonial dan setengah feodal, dimana alat produksi pertanian yang sangat sederhana masih mendominasi, pabrik-pabrik yang hanya berorientasi menghasilkan barang-barang mentah dalam menyediakan kebutuhan bahan baku bagi industri negara-negara kapitalis monopoli, dan penggunaan mesin-mesin canggih yang terbatas pada industri perakitan, memposisikan pendidikan Indonesia sangatlah tidak diperhatikan.

Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia hanya di orientasikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kapitalisme monopoli akan ketersediaan buruh murah. Keuntungan industri milik negara-negara kapitalisme monopoli yang ada di Indonesia, tidak didapatkan dari mengoperasikan mesin-mesin canggih yang mampu meningkatkan kapasitas produksi, melainkan dengan cara memperhebat penindasan terhadap buruh melalui penambahan jam kerja dengan upah yang tetap saja minim, sehingga mampu terus meningkatkan kapasitas produksi, sementara biaya produksi yang dikeluarkan bisa seminim mungkin.

Itu sebabnya, pemerintah semakin gencar mempropagandakan tentang sekolah-sekolah kejuruan (SMK) untuk memenuhi kebutuhan tenga kerja siap pakai bagi industri milik negeri-negeri kapitalis monopoli. Sementara capaian tertinggi dari SMK tersebut hanya sebatas mampu merakit, disatu sisi melalui berbagai kebijakan Hak Kekayaan Intelektual (Hak Paten, Lisensi, Merek Dagang, dan sebagainya), negeri-negeri kapitalisme monopoli tidak akan membiarkan industri nasional berkembang dan mampu menghasilkan kebutuhan dalam negeri sehingga mampu melepaskan ketergantungan terhadap komoditas dari industri-industri milik negeri-negeri kapitalis monopoli, dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dengan demikian, kualitas sistem pendidikan kita hanya diukur secara formal dengan ijazah, tetapi tidak mampu menjawab soal-soal rakyat, termasuk membebaskan rakyat dari buta aksara. Bisa buktikan secara sederhana, dari kita yang berkuliah, ternyata masih ada masyarakat di sekitar lingkungan kita, keluarga, bahkan bapak dan ibu kita yang masih buta aksara. Demikian halnya dengan kampus yang seharusnya menjadi lembaga yang ilmiah, tidak pernah menunjukkan perannya dalam menjawab persoalan rakyat. Justeru sebaliknya, kampus hadir sebagai corong propagandanya musuh-musuh rakyat, tempat dilahirkan dan dikembangkannya teori-teori yang membela kepentingan imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat.

Disinilah peran kita sebagai organisasi massa pemuda-mahasiswa demokratik nasional, harus tampil mempropagandakan secara luas tentang sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Kampus harus kita jadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, tempat untuk mengkaji dan memperdebatkan, serta mencarikan solusi atas persoalan-persoalan rakyat. Serve the people.

(Bulletin Sebar Demokrasi, edisi April 2009)

0 comments:

Post a Comment