Thursday, June 16, 2011

Pemerintah Tidak Pernah Menjalankan Reforma Agraria Sejati


(Catatan Peringatan 49 Tahun Hari Tani Nasional)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Pembaharuan Agraria atau yang sering dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disusun dengan tujuan untuk menghancurkan monopoli atas sumber-sumber agrarian yang terjadi akibat penindasan feodalisme dan kolonialisme. Namun sejak disahkannya, hingga hari ini pemerintah Indonesia tidak pernah menjalankannya secara konsisten, bahkan dengan berbagai upaya terus meningkatkan upaya monopoli atas sumber-sumber agrarian di Indonesia yang menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan rakyat Indonesia, khususnya kaum tani.


Sejarah Ketimpangan Penguasaan Sumber Agraria di Indonesia.
Penindasan dan penghisapan kolonialisme Belanda yang berlangsung di Indonesia selama lebih dari 350 tahun, telah melahirkan penderitaan yang sangat berat bagi rakyat Indonesia akibat kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan kepemilikan sumber agraria.

Kolonialisme Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1602 melalui kongsi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang bertujuan untuk memonopoli jalur perdagangan rempah-rempah yang sedang marak dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa pada saat itu. Demi memonopoli perdagangan, VOC meminta dukungan militer dari kerajaan Belanda dengan tujuan untuk menghancurkan kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal di tanah air saat itu. Berbagai upaya, termasuk melalui politik devide at impera (politik pecah belah), Belanda terus melakukan penaklukan terhadap kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal.

Beberapa perang yang terjadi sebagai perlawanan terhadap upaya monopoli Belanda, antara lain; perang Jayakarta melawan politik bumi hangus J.P Coen tahun 1619, tragedi Van Bandanaira tahun 1621, perang Sultan Agung (1628-1629), perang Ambon (1635) yang menghancurkan pertahanan Banda dan Ternate, hingga berhasil memaksa Banda dan Ternate untuk menyerang Makasar, serta penaklukan Portugis di Malaka (1640) untuk membuat Sultan Agung tergantung dalam penjualan beras pada Batavia. Melemahnya kekuasaan Mataram pada masa Amangkurat I (1645-1678), sangat penting dalam mengkonsolidasikan politik dan ekonomi di P. Jawa. Pertengahan abad 17 VOC telah menguasai dua pelabuhan penting di Semarang dan Surabaya. Di Sumatera VOC berhasil membangun kedudukan di Padang sebagai ganti Aceh karena mendapatkan perlawanan yang cukup keras.

Tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut akibat beban hutang karena perang dan korupsi. Akan tetapi VOC telah berhasil menjadikan Batavia sebagai pusat konsolidasi secara politik dan ekonomi yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh kerajaan Majapahit dan Mataram sekalipun.

Kekuasaan kolonial Belanda semakin kuat oleh Gubernur Hindia Belanda pasca VOC ; Daendles (1808-1811) dan Raffles (1811-1816) dibawah kekuasaan Perancis dan Inggris. Mereka menjalankan program moderniasasi birokrasi pemerintahan jajahan, menerapkan penarikan pajak seperti fase feodal di Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti diganti dengan pajak tanah yang dibayar dengan penyerahan wajib hasil panen; 2/5 untuk panen yang bagus dan 1/4 untuk panen yang buruk. Sistem pemerintahan jajahan dirombak hingga menjangkau desa dengan menggunakan tenaga bangsawan lokal dengan jabatan Asisten Residen, Wedana, dan Asisten Wedana, hingga Demang. Sebagai birokrat tanah jajahan, mereka di bayar dengan sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapatkan 15.000 gulden/tahun dan Wedana mendapatkan 1.500 gulden/tahun. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya mendapatkan 15.000 gulden/tahun.

Dengan demikian, hubungan produksi feodalisme dan struktur kekuasaannya tidak dihancurkan sepenuhnya, justeru ditempatkan dibawah kontrol penuh dari kolonialisme Belanda dan dilibatkan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini membuat rakyat Indonesia sangat menderita akibat ditindas oleh 2 bentuk penindasan sekaligus; pajak tanah ke kolonial serta upeti dan kerja pengabdian ke bangsawan lokal.

Pasca berakhirnya perang Diponegoro (1825-1830), dapat dikatakan bahwa kekuasaan kolonial Belanda tidak tertandingi lagi oleh feodalisme. Belanda sepenuhnya menguasai Jawa dan mengambil daerah Kesultanan Yogja, Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegara. Terkecuali di beberapa tempat di luar P. Jawa, seperti Bali, Lombok, dan Tapanuli, peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Akan tetapi perang Diponegoro membawa kerugian yang sangat besar bagi pemerintahan kolonial, terlebih saat itu Belanda baru lepas dari penjajahan Perancis. Hal ini mendorong pemerintahan kolonial Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa/cultuur stetsel untuk mengisi kekosongan kas negara akibat biaya perang tersebut.

Cultuur Stetsel atau Sistem Tanam Paksa (STP) yang dijalankan pemerintahan kolonial Belanda dibawah pimpinan Van De Bosch, bertujuan untuk membangun perkebunan dan pertanian yang menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern. Akan tetapi STP tidak bertujuan untuk membangun industri di Indonesia, hanya sebatas menyediakan bahan mentah untuk diperdagangkan di pasar internasional. Hal ini bisa dilihat dengan didirikannya NHM (Nederlandsche Handel Maatschppij) pada tahun 1824, sebagai pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di P. Jawa ke pasar dunia yang menjadikan pelabuhan Amsterdam sebagai salah satu pelabuhan teramai di dunia pada saat itu. Hal ini dikarenakan fase perkembangan ekonomi di negeri Belanda yang masih pada tahap perkembangan kapitalisme merkantilis (perdagangan). Berbeda dengan Inggris ketika telah mencapai perkembangan kapitalisme penuh, berkepentingan untuk membangun industri di negara-negara jajahannya, serta mendirikan sekolah untuk memajukan tenaga produktifnya.

Dalam menjalankan sistem tanam paksa tersebut, pemerintah kolonial Belanda melibatkan bangsawan-bangsawan lokal untuk menyediakan tanah dan tenaga kerja.

Melalui beberapa kebijakan resminya, pemerintah kolonial Belanda mewajibkan rakyat Indonesia untuk menyerahkan 1/5 luas tanah yang dimiliki petani untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka. Sebagai gantinya, petani dibebaskan dari pajak tanah. Akan tetapi kenyataannya, 2/3 bahkan semua tanah petani yang dirampas, sementara pajak tanah tetap diberlakukan. Rakyat juga diwajibkan bekerja selama 66 hari dengan mendapat upah tanam. Kenyataannya, kerja wajib berlangsung selama minimal 3 bulan dengan tidak mendapatkan upah. Dalam sistem perkebunan, rakyat dikenakan poenale sanctie, yang mengharuskan para pekerja untuk tidak meningggalkan pekerjaan sebelum masa kontrak berakhir.

Akibatnya, kaum tani terpaksa menjual persediaan beras untuk membayar pajak. Penduduk Kab. Demak dari 336 ribu menjadi 120 ribu dalam waktu 2 tahun, di Grobongan dari 98 ribu penduduk menjadi 9 ribu, karena mati akibat kelaparan. Tahun 1840 karena beban kerja paksa yang berat membuat petani tidak menggarap lahannya sendiri sehingga terjadi gagal panen. Kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah dan harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, kerja wajib yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah diluar 1/5 luas tanah, beban kerja yang semakin bertambah-selain mengolah tanah juga menjadi buruh angkut yang tidak dibayar, dan penyakit menular, membuat banyak petani meninggal dunia hingga mencapai 7%.

Tahun 1870 dominasi klas borjuis di perlemen Belanda mengambil alih pengelolahan STP dengan menggunakan isu-isu hak asasi rakyat di negeri jajahan yang kemudian menjalankan politik etis atau “politik balas budi”. Hal ini didasarkan keuntungan yang sangat besar dari STP, yang pada tahun 1870 tercatat sebesar 725 juta gulden yang masuk kas Belanda dari hasil sistem tanam paksa di Indonesia. STP kemudian digantikan dengan undang-undang agraria kolonial; Agrarische Wet de Waal (de Waal adalah menteri urusan jajahan saat itu).

Hukum kolonial ini menerapkan asas Domeinverklaring yang pada hakikatnya memberikan pengakuan terhadap hak milik perseorangan atas tanah dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. sementara, tanah-tanah yang tidak digarap dan tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah-tanah yang inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan mereka juga dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk, sekaligus dapat menjadi buruhnya. Kondisi ini telah menyebabkan banyak rakyat yang kehilangan tanahnya sehingga mendorong proletarasasi (lahirnya klas buruh) secara besar-besaran di Indonesia.

Kondisi ini telah menempatkan bangsa Indonesia sebagai negeri yang berfungsi sebagai penyedia bahan baku, pasar penjualan hasil industri, sasaran investasi raksasa, dan penyedia tenaga kerja murah bagi industri-industri milik imperialis.

UUPA Sebagai Upaya Penghapusan Monopoli Atas Sumber-Sumber Agraria.
Sejarah panjang penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya oleh kolonial Belanda dan sisa-sisa feodalisme, telah melahirkan ketimpangan yang berujung pada rendahnya taraf hidup rakyat Indonesia. Dan pasca revolusi 17 Agustus 1945, persoalan ketimpangan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, merupakan persoalan pokok yang harus dijawab oleh pemerintah Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi dasar dirumuskan dan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Pembaharuan Agraria atau UUPA.

Berbeda dengan semangat dan prespektif asas Domeinverklaring dalam Agrarische Wet tahun 1870 sebagai produk hukum kolonial Belanda yang bertujuan memobilisir tanah bagi kepentingan pembangunan industri perkebunan dan pertanian kolonial Belanda, asas Domeinverklaring tetap diberlakukan dalam produk hukum Indonesia, akan tetapi dengan prespektif penguasaan, pemanfaatan, dan peruntukkan bagi kepentingan rakyat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Reforma Agraria sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUPA, tidak sebatas pada persoalan tanah, melainkan mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan seluruh kekayaan alam yang terkandug didalamnya. Akan tetapi, melihat ketimpangan pengusaan tanah, land reform atau redistribusi tanah, menjadi sandaran pokok dalam pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Agraria saat itu--Mr. Sadjarwo--pada tanggal 12 September 1960 di depan Sidang Pleno DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), landa reform sebagai bagian dari pelaksanaan refroma agraria di Indonesia, bertujuan untuk :
1.      Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang  berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
2.      Melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek (maksudnya alat) pemerasan.
3.      Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan, dan turun menurun tetapi yang berfungsi sosial.
4.      Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian, mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah, serta memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
5.      Mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan petani

Maka jelaslah, UUPA No.5/1960 memiliki semangat untuk menghancurkan hubungan produksi kolonialisme dan feodalisme dengan menempatkan tanah sebagai alat produksi yang bernilai sosial sehingga tidak boleh dimonopoli. UUPA juga sekaligus memberikan kepastian hukum atas dualisme hukum yang berlaku di Indonesia dalam pengaturan penguasaan sumber-sumber agraria, yakni hukum kolonialisme Belanda dan hukum adat.

Selain UUPA No. 5 Tahun 1960, salah satu undang-undang yang cukup populis dan berpihak pada kaum tani Indonesia adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Bagi Hasil yang mengatur bagi hasil yang adil dalam hubungan produksi pertanian.

Ketimpangan Penguasaan Tanah Sebagai Akar Kemerosotan Hidup Kaum Tani Indonesia.
49 tahun setelah UUPA disahkan, ketimpangan pengusaan sumber-sumber agraria masih menjadi persoalaan pokok yang belum di jawab oleh pemerintah Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 telah menggagalkan cita-cita mulia kemerdekaan rakyat Indonesia. KMB telah mempertemukan imperialisme pimpinan Amerika Serikat dengan sisa-sisa feodalisme sebagai klik reaksioner dalam negeri (kaki tangan) yang menindas rakyat Indonesia. Dari perselingkuhan jahat inilah, lahir kapitalis birokrat sebagai rezim penguasa yang dengan setia melayani kepentingan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme yang menempatkan rakyat Indonesia dalam situasi penindasan setengah kolonial dan setengah feodal.

Sejak berkuasanya rejim fasis--boneka imperialis AS--Soeharto, reforma agraria tidak pernah dijalankan di Indonesia, justru sebaliknya Soeharto memberikan akses kepada perusahaan asing dalam menguasai tanah seluas-luasnya demi kelancaran investasi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan hak penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengusaan Hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahan perkebunan seperti PTPN dan perusahaan perkebunan lainnya. Sejak saat itu, tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, tidak lebih dari sekedar komoditas dan salah satu infrastruktur penting bagi imperialisme dalam menanamkan investasinya di Indonesia.

Rezim berganti rezim, persoalan ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria di Indonesia, justeru terus mengalami peningkatan. Rezim dibawah pimpinan SBY semakin menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi dalam melayani kepentingan imperialisme terhadap penguasaan tanah di Indonesia. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkannya, misalnya saja Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang memberikan hak penguasaan tanah kepada pihak asing hingga 95 tahun, UU No.18 Th 2004 Tentang Perkebunan dan UU No.41 Th. 1999 Tentang Kehutanan, Perpres No.36 Th 2006 Jo. Perpres No 65 Th. 2006, dan berbagai peraturan perundang-perundangan lainnya yang menggunakan topeng pembangunan demi kepentingan umum dalam melakukan perampasan tanah petani.

Dari era kekuasaan Orde Baru hingga Pemerintahan SBY, usaha monopoli atas sumber-sumber agraria semakin tinggi dan mendesak kehidupan kaum tani tanpa belas kasihan. Produksi pertanian skala besar untuk kepentingan pasar terus digencarkan dan dikembangkan, sementara produksi pertanian skala kecil semakin terpinggir dan tidak mendapatkan tempat untuk tumbuh dan berkembang.

Sebagai contoh, melalui data Badan Pusat Statistik (BPS), selama kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan secara significant perluasan areal perkebunan kelapa sawit. Dimana, pada tahun 1996 luas areal pengusahaan hanya 1.146.300 Ha dengan kapasitas produksi 2.569.500 ton, namun pada Tahun 2006 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi 3.682.900 Ha dengan kapasitas produksi 10.869.365 ton. Dengan demikian selama 10 tahun, telah terjadi peningkatan sekitar 1.423.200 Ha atau sekitar hampir 100 persen. Tentu saja, data luas areal perkebunan kelapa sawit ini belum mencerminkan luasan yang sesungguhnya, realitas di lapangan jauh lebih besar dari data yang mampu dihimpun.

Di NTB sendiri, seperti yang dirilis oleh Dinas Pertanian NTB, jumlah luas lahan pertanian produktif yang dialih fungsikan mencapai 10% setiap tahunnya dari jumlah total luas lahan pertanian di NTB. Jumlah ini akan semakin bertambah seiring dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur terkait pembangunan Bandara Internasional Lombok Baru di Kabupaten Lombok Tengah, yang telah memakan lahan seluas 850 Ha dan merampas kehidupan ribuan kaum tani. Belum lagi rencana pemerintah propinsi NTB untuk merevisi Peraturan Daerah yang menjadikan P. Lombok sebagai kawasan tambang emas, padahal P. Lombok termasuk kategori pulau kecil yang tidak diperbolehkan sebagai kawasan tambang emas.

Tingginya perampasan dan alih fungsi lahan pertanian di NTB inilah yang menjadikan NTB sebagai salah satu daerah penyedia tenaga kerja keluar negeri terbesar di Indonesia. Dan rendahnya taraf hidup kaum tani di NTB akibat minimnya lahan pertanian yang dikuasai, menjadikan NTB sebagai salah satu daerah penderita busung lapar terbesar di Indonesia.

Akibat ketimpangan kepemilikan lahan tersebut, terjadi peningkatan terhadap jumlah petani gurem. Menurut sensus pertanian tahun 2003, jumlah rumah tangga petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, mengalami peningkatan sebesar 2,6 persen per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani. Pada tahun 1996/1997, jumlah orang miskin, paralel dengan angka petani gurem, sudah mencapai 17 juta jiwa. Namun, tahun 2006/2007 naik jadi 39 juta jiwa. Sementara tingkat pendapatan kaum tani Indonesia hanya Rp 1,527 juta/kapita/tahun (Rp 4.365/hari).

Akibatnya, jumlah penduduk miskin di desa juga mengalami peningkatan. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63.41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan. Angka pengangguran telah meningkat dari 9.86 persen pada tahun 2004 menjadi 10.28 persen pada tahun 2006. Dari angka tersebut, pengangguran di pedesaan mencapai 5.4 persen—artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia, lebih dari setengahnya berada di wilayah pedesaan.

Selain persoalan monopoli atas tanah, persoalan lain yang menempatkan taraf hidup kaum tani Indoensia menjadi sangat rendah adalah tingginya biaya produksi seperti bibit dan pupuk yang sangat mahal. Setiap musim tanam, kelangkaan pupuk adalah persoalaan yang selalu dihadapi petani, dan sampai hari ini pemerintah belum dapat menjawabnya. Sementara ketika panen tiba, kaum tani harus dihadapkan dengan rendahnya harga jual hasil pertanian akibat banyaknya komoditas pangan impor yang masuk ke Indonesia sebagai dampak dari kebijakan impor pangan yang dijalankan oleh pemerintah. Akibatnya, kaum tani Indonesia sering dijerat oleh praktek tengkulakisme.

Berbagai program dijalankan oleh rezim kaki tangan guna mengaburkan prinsip reforma agraria yang sejati. Misalnya saja dengan program transmigrasi yang dijalankan sejak jaman Soeharto. Sesungguhnya program ini tidak berbeda dengan program trasmigirasi ala politik etis yang dijalankan kolonial Belanda yang bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pertanian dan perkebunan yang sekaligus memobilisir tenaga kerjanya. Sama halnya dengan program reforma agraria ala SBY, yakni program pembagian tanah seluas 4 juta Hektar. Kenyataanya, tanah-tanah yang dibagi tersebut adalah tanah-tanah yang tidak produktif, membutuhkan tangan-tangan dingin untuk mengolahnya, sementara pemerintah tidak menyediakan infrastruktur seperti sistem irigasi yang modern sehingga mampu meningkatkan produktifitas pertanian. Hal ini bisa dilihat dari stok penyedian pangan nasional yang lebih dari 50% nya masih disediakan oleh hasil pertanian di P. Jawa. Artinya bahwa produktifitas pertanian diluar P. Jawa lebih rendah karena tidak adanya  sistem irigasi yang modern. Itupun, sebagian besar hasil pertanian di P. Jawa, masih ditopang oleh sistem irigasi peninggalan kolonial Belanda.

Dengan demikian, program reforma agraria ala SBY tersebut adalah reforma agraria palsu, karena tidak diperuntukkan pada penghapusan konsentrasi/monopoli kepemilikan tanah, tanah-tanah yang dibagikan tersebut bukanlah tanah hasil monopoli dari para tuan tanah. Dengan demikian, hubungan produksi feodalisme yang menjadi basis imperialisme di Indonesia, tidak akan pernah hancur dan akan terus melahirkan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria yang semakin tajam. Disatu sisi, SBY juga tidak berupaya dalam meningkatan kesejahteraan kaum tani dengan meningkatan produktifitas pertanian melalui penyediaan infrastruktur seperti irigasi, serta tidak melindungi harga pertanian nasional dari ancaman pangan impor.

Negara Selalu Menggunakan Cara-Cara Kekerasan Dalam Menyelesaikan Sengketa Agraria.
Cara-cara kekerasan selalu ditempuh oleh rejim kaki tangan imperialis AS dalam melakukan perampasan terhadap tanah-tanah petani dan menghadapi gerakan perjuangan kaum tani Indonesia dan seluruh kekuatan penyokongnya dalam mempertahankan tanah garapannya.

Misalnya saja, tragedi berdarah 18 September 2005 di Tanak Awu-Lombok Tengah. Tragedi Rumpin-Bogor pada Bulan Januari 2007 dan Karang sari-Garut, dimana akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, PTPN serta pemerintah daerah setempat yang menyebabkan rusaknya lahan garapan warga serta korban penembakan, intimidasi dan penculikan terhadap beberapa tokoh masyarakat dan aktivis tani. Penangkapan terhadap sekitar 27 kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di Kalijajar-Wonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani. Dan yang baru-baru terjadi adalah perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan 9 lainnya di tangkap. Juga konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat Tapanuli Tengah.

Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga saat ini, terdapat 2.810 kasus sekala besar (nasional), 1.065 diantaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa, dimana sekitar 322 kasus berpotensi memicu konflik kekerasan.

Posisi Kampus Dalam Pelaksanaan Reforma Agraria Di Indonesia.
Kampus harusnya menjadi lembaga yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat, lembaga yang dipenuhi dengan aktifitas-aktitas ilmiah yang bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan mengembangkan teori-teori maju dalam menyelesaikan berbagai persoalan rakyat. Akan tetapi, ketika struktur kekuasaan (negara) dikuasai oleh rezim kaki tangan--hasil perselingkuhan antara imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, maka kampus dijadikan sebagai pusat konsolidasi ideologi/corong propaganda bagi kepentingan imperialisme dan kaki tanganya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai keterlibatan kampus dalam berbagai proyek besar dari imperialisme, berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, selalu didahului dengan mengkonsolidasikan kampus-kampus untuk mendukung kebijakan-kebijakan tersebut.

Demikian halnya terkait dengan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, kampus-kampus sering memposisikan diri kontra terhadap pelaksanaan reforma agraria, berbagai penelitian kampus justeru cenderung merekomendasikan tetap terjadinya monopoli tanah secara besar-besaran ataupun alih fungsi lahan pertanian produktif ke sektor lain yang merampas kehidupan kaum tani. Misalnya saja seperti yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada yang merekomendasikan kawasan pertanian di Kulon Progo menjadi kawasan tambang pasir besi.

Kurikulum di kampus-kampus pun tidak mengajarkan kepada mahasiswa tentang reforma agraria yang sejatinya, justeru sebaliknya selalu mengalihkan dengan berbagai pandangan palsu. Persoalan agraria yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara terhadap rakyat, dijadikan sebagai persoalan privat. Misalnya saja di Fakultas Hukum Universitas Mataram, hukum agraria yang harusnya menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri, dijadikan sebagai bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan hukum secara privat. Artinya, persoalan agraria tidak dipandang lagi sebagai persoalaan tanggungjawab negara terhadap rakyat, melainkan sebagai hubungan hukum yang bersifat privat. Demikian pun di Fakultas Pertanian yang tidak pernah mengajarkan tentang prespektif reforma agraria yang sejatinya. Hampir tidak ada kegiatan ilmiah yang diselenggarakan kampus dalam menjawab persoalan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Demikian halnya ketika tanah-tanah kaum tani Indonesia dirampas secara paksa/diluar prosedur hukum sekalipun, kampus-kampus tidak memposisikan diri untuk membela kepentingan kaum tani.

Dan tidak jarang ditemukan praktek kampus yang menguasai tanah dalam jumlah yang sangat luas, misalnya Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguasai tanah hingga 2.000 ha. Demikian halnya, kampus juga tidak segan-segan menindak mahasiswanya yang terlibat dalam perjuangan menyokong gerakan rakyat, misalnya saja kebijakan skorsing dan DO yang dikeluarkan oleh rektorat ITS terhadap mahasiswanya yang terlibatnya dalam perjuangan mendukung korban lumpur panas LAPINDO. Dengan demikian, dalam sistem setengah kolonial dan setengah feodal, kampus juga sebagai tuan tanah baru dan merupakan pusat kosolidasi teori yang menggagalkan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

Maka dari itu, tugas pokok gerakan pemuda mahasiswa Indonesia adalah sebagai penyokong penuh bagi perjuangan rakyat dibawah pimpinan klas buruh dan kaum tani. Kampus harus dijadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, lembaga yang ilmiah dan demokratis, tempat mengkaji dan mengembangkan teori-teori maju dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat, termasuk persoalaan pelaksanaan reforma agraria yang menjadi kebutuhan pokok kaum tani Indonesia.

Bersatulah Kaum Tani Indonesia !

(Bulletin Sebar Demokrasi, edisi April 2009)

0 comments:

Post a Comment