Thursday, June 16, 2011

Perempuan Indonesia Dalam Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal


“Sering kali kita lupa bahwa setiap perempuan mempunyai hak. Ia berkontribusi 2/3 dari seluruh jam kerja namun hanya memperoleh 1/10 dari pendapatan dunia. Walaupun ia menyediakan 1/2 dari pangan dunia, hanya memiliki 1/100 dari jumlah lahan yang ada. Dan untuk pekerjaan yang serupa yang dengan laki-laki, ia hanya di bayar 3/4-nya saja”.
(Integrating Women Issues Into Education, 1992 UNESCO)


Sejarah Peringatan Hari Perempuan Internasional.
Setiap tanggal 8 Maret, dunia internasional memperingati Hari Perempuan Internasional. Gagasan HPI dilatarbelakangi oleh perkembangan indusrialisasi memasuki abad ke-19, pasca dijalankannya revolusi industri di Inggris pada abad ke-17. Pada tahun 1857 di New York, kaum buruh tekstil yang kebanyakan perempuan mengadakan demonstrasi menuntut perbaikan jam kerja. Pada tahun 1874, dibentuk The Women's Trade Union League dan The Women's Temperance Union (WTCU). Mereka merupakan gerakan anti minuman keras. Kemudian pada tahun 1894, berdiri sebuah kelompok, General Federation of Women's (GFW) berdiri di Amerika. GFW memperjuangkan berbagai permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Tidak terbatas hanya pada permasalahan diskriminasi terhadap perempuan saja, tetapi juga kehidupan remaja dan masalah perburuhan serta berbagai permasalahan sosial lainnya.

Tahun 1908 di New York - AS, terjadi lagi demonstrasi yang diikuti ribuan buruh-perempuan yang menuntut perbaikan nasib, menuntut hak-pilih, memilih dan dipilih dan melarang menggunakan tenaga kerja anak-anak. Untuk pertama kalinya pada tahun 1911 Hari Perempuan Internasional dirayakan di negara-negara industri, seperti Jerman, Austria, Denmark, Finlandia, Swiss dan Amerika Serikat dengan tuntutan 8 jam kerja. Pada tahun 1914 di Jerman, ribuan orang terutama kaum perempuan ikut aktif berdemonstrasi menentang ancaman Perang Dunia I.

Minggu terakhir Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demontrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian demonstrasi ini meluas ke seluruh Eropa, jatuh pada minggu pertama Maret. Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demonstrasi besar pada minggu terakhir Februari dengan mengusung tuntutan “Bread and Peace!” (Roti dan Perdamaian). Empat hari kemudian, tepat tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh. Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. Sejak saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.

Usaha perjuangan kaum perempuan secara internasional untuk mendapatkan hak-hak sosial ekonominya sehingga mendapatkan momentum hari jadinya yang ditetapkan pada 8 Maret tiap tahunnya ternyata belum mampu menghentikan penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia. Jika awal abad 19 kaum perempuan berjuang melawan penindasan yang dialami akibat kejamnya sistem kapitalisme, maka pada masa sekarang kaum perempuan harus berhadapan dengan sistem yang jauh lebih kejam dan barbar, yaitu kapitalisme monopoli atau imperialisme.

Setengah Jajahan dan Setengah Feodal Serta Pengaruhnya Terhadap Kaum Perempuan Indonesia.
Indonesia merupakan Negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF). Dikatakan sebagai Negara SJSF karena adanya dominasi imperialisme terhadap hubungan produksi lama, yakni feodalisme. Dengan kata lain, feodalisme menjadi basis sosial bagi imperialisme dalam melakukan penindasan terhadap rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia ditindas dalam dua bentuk penindasan sekaligus.

Indonesia resmi menjadi negara SJSF setelah ditandatangainya Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 yang memberikan berbagai keuntungan bagi imperialisme. Dominasi imperialisme terhadap Indonesia telah melahirkan klas borjuis komparador yang menjadi kaki tangannya. Sementara sisa-sisa feodalisme, tetap mempertahankan kekuasaan tuan-tuan tanah besar. Persekutuan jahat antara imperialisme dan feodalisme telah membentuk pemerintahan diktator bersama klas borjuis besar komparador dan tuan tanah yang senantiasa menindasa rakyat Indonesia demi melayani kepentingan majikannya, imperialisme.

Sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal telah menempatkan kaum perempuan Indonesia dalam yang terdiskriminasikan, yakni ada perbedaan hak dibandingkan dengan laki-laki. Misalnya dalam hal partisipasi kerja, menurut data BPS tingkat partisipasi kerja hingga periode Februari 2008, kaum perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yakni 51,3% untuk kaum perempuan dan 83,6% untuk laki-laki. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah pengangguran, dari total penduduk Indonesia yang menganggur, 9,7% adalah kaum perempuan, sementara laki-laki hanya mencapai 7,6%. Demikian halnya dengan partisipasi dalam sektor pendidikan, jumlah kaum perempuan Indonesia yang masih terjerat buta aksara adalah sebesar 6,39%, sementara laki-laki hanya 3,64%.

Selain itu, persoalan lainnya adalah kesetaraan dalam soal upah dengan kaum laki-laki. Konvensi ILO No. 100 (yang diratifikasi dalam UU No.80 tahun 1957), Declaration of Human Right pasal 2, UU No.39 tahun 1999 pasal 38 tentang HAM dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 telah menjamin kesetaraan upah bagi buruh perempuan dan laki-laki. Namun di lapangan ditemukan penyimpangan. Sebagian besar buruh perempuan hanya mendapatkan upah 2/3 dari buruh laki-laki. Kenyataan yang diskriminatif ini dikuatkan dengan adanya peraturan menteri tenaga kerja No. 04 tahun 1988 yang berisi bahwa perempuan tidak mendapatkan tunjangan kesehatan bila suami sudah mendapatkan hak yang serupa. Gaji minim yang diterimanya telah memaksa 44% buruh pabrik perempuan untuk bekerja lebih panjang, lebih dari 75 jam/minggu. Sedangkan buruh perempuan yang bekerja penuh waktu (35-74 jam/minggu) hanya sebesar 48%. Bandingkan dengan persentase buruh laki-laki yang bekerja penuh waktu yang mencapai 71,6%.

Begitupun dengan tingkat pendapatan di sektor non agrikultur, pendapatapan rata-rata kaum perempuan hanya mencapai Rp. 355,136, sedangkan laki-laki mencapai Rp. 715, 344. (Sakernas, 2008).

Dan masih banyak lagi perlakuan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan Indonesia akibat sistem penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal.

Krisis Imperialisme Yang Semakin Memuncak = Penindasan Yang Semakin Berlipat Ganda Bagi Kaum Perempuan.
Seperti yang kita ketahui, saat ini Negara kapitalisme monopoli/imperialisme sedang mengalami kiris yang sangat akut akibat over produksi yang lahir dari produksi secara besar-besaran (anarchy production), disatu sisi pendapatan rakyat tidak meningkat, sebaliknya penghidupan rakyat terus merosot akibat pemangkasan subsidi publik dan kenaikan beban pajak. Krisis ini telah berdampak pada hancurnya perekonomian Negara-negara imperialis, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan sebagainya. Berbagai perusahaan-perusahaan besar yang menjadi fondasi ekonomi imperialis, telah mengalami kebangkrutan akibat krisis ini. Misalnya saja General Motors milik Amerika Serikat. Untuk mencegah kebangkrutan yang beruntun, Negara-negara imperialis mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus ekonomi. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat, pada masa akhir pemerintahan George W. Bush, pemerintah mengeluarkan dana talangan sebesar US$ 700 milliar. Demikian halnya dengan Barack H. Obama yang juga mengucurkan bantuan sebesar US$ 700 milliar untuk mencegah kebangkrutan akibat krisis tersebut. Krisis ini diakui sebagai krisis terbesar setelah krisis hebat (great depression) yang terjadi pada 1930an.

Lalu apa hubungan antara krisis umum imperialisme dengan kehidupan kaum perempuan Indonesia?

Sebagai Negara yang sangat bergantung terhadap Amerika Serikat, Indonesia mengalami dampak yang berlipat ganda akibat krisis ini. Ketika perekonomian Amerika Serikat dilaporkan mulai membaik pada akhir Desember 2009, tidak ada gejala sedikitpun yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia juga semakin membaik, bahkan sebaliknya, penghidupan rakyat Indonesia justeru semakin merosot. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan, sementara pendapatan rakyat tidak pernah mengalami peningkatan, bahkan pemerintah terus melakukan pemangkasan subsidi publik dan menaikan beban pajak, seperti kenaikan biaya rumah sakit dan rencana kenaikan tarif dasar listrik.

Saat ini lebih dari 32,53 juta atau 14,2% penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 182.636/bulan. Bahkan jika mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia/World Bank sebesar US$ 2 perhari maka lebih dari 50% rakyat Indonesia berada dalam kategori miskin (Kompas, 20/10/2009).

Klas buruh Indonesia adalah salah satu klas dalam masyarakat Indonesia yang paling merasakan pukulan akibat krisis ini. Jumlah klas buruh di Indonesia mencapai kurang lebih 20%, dan dari jumlah tersebut, 70%nya merupakan kaum perempuan. Dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi jam kerja yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hal ini ditujukan untuk menghindari PHK massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 240,000 orang buruh harus terkena PHK, bahkan jumlah PHK yang dirilis oleh KADIN mencapai angka lebih dari 500.000 orang, bahkan KADIN memperkirakan angka ini akan bergerak hingga 1,6 juta pekerja sampai akhir tahun 2009. Dengan demikian, semakin banyak kaum perempuan yang kehilangan haknya atas upah dan lapangan pekerjaan.

Sementara itu, klas buruh Indonesia juga masih harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan jaminan perlindungan atas pekerjaannya. Selain itu, kondisi penghidupan buruh perempuan Indonesia juga semakin diperparah dengan tidak adanya jaminan terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan dalam bekerja. Hasil penelitian ILO menyebutkan bahwa buruh perempuan Indonesia rentan terserang penyakit kanker payudara akibat tidak adanya jaminan cuti yang layak selama masa meyusui.

Banyaknya PHK yang terjadi serta tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan yang layak telah berdampak pada ledakan angka pengangguran terbuka yang telah mencapai 8,1 % atau 9,25 Juta dari angkatan kerja dengan distribusi pekerja 60,5 % adalah pekerja Informal seperti tukang ojek, asongan, buruh lepas dan pedagang kecil. Hal ini membuat pemerintah mengintensifkan ekspor tenaga kerja keluar negeri. Tujuannya adalah mengeruk pundi-pundi pendapatan negara melalui devisa dari proses distribusi dan transaksi BMI keluar negeri dan bonusnya pemerintah mendapatkan citra baik karena mengurangi angka pengangguran yang meluas di Indonesia. Nasib BMI tak sebaik devisa yang disumbangkan kepada negara, mereka terancam kekerasan dan intimidasi karena belum dijaminnya perlindungan pekerjaan oleh pemerintah. Dari total BMI, 89,7 % adalah kaum perempuan belum mendapatkan hak-haknya. (Kompas,20/10/2009).

Kasus terakhir adalah soal Surat Edaran KJRI Hongkong No.2258 yang semakin menguatkan posisi agen. Padahal dalam prakteknya agen menjadi pemeras keringat para buruh migran melalui praktek ilegal yang dilakukan. Seperti underpayment, pelecehan seksual, penahanan paspor dan visa, mahalnya biaya penempatan, dan pemotongan gaji ilegal. Kasus trafficking yang berkedok PJTKI pun terjadi. Catatan tahun 2007 saja, jumlah korban trafficking yang terkatung-katung di Malaysia sejumlah 1.987 orang, 1.165 adalah perempuan.

Demikian halnya yang dirasakan oleh kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia. Lebih dari 50% kaum tani menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya. Dari total angka partisipasi kerja, hanya 26% yang bekerja di luar sektor pertanian. Artinya bahwa, penindasan yang dirasakan oleh kaum tani, mayoritasnya juga dirasakan oleh kaum perempuan. Di NTB sendiri, setiap tahunnya jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan ke sektor lain mencapai 10% dari jumlah total lahan produktif di NTB.

Kerakusan dan keserakahan imperialisme juga telah menjadikan sektor pendidikan sebagai barang langka untuk diakses oleh rakyat Indonesia. Dan budaya patriarki ala feodalisme yang menempatkan kaum perempuan sebagai “the second sex” yang sebatas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, telah berdampak pada minimnya akses pendidikan kaum perempuan. Dari total angka buta aksara di Indonesia, kaum perempuan usia produktif menderita buta huruf mencapai 11,71%, angka ini jauh lebih besar dibanding dengan angka buta huruf yang dialami laki-laki sebesar 2,92%.

Disektor kesehatan, akses kaum perempuan terhadap layanan kesehatan yang layak, juga masih sangat memprihatinkan. Di desa-desa yang terpencil, perempuan harus menempuh jarak berkilo-kilo tanpa kemudahan transportasi untuk mendapatkan layanan kesehatan. Itupun masih dikenakan biaya tinggi. Tingginya angka kematian ibu melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup. Kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini membuat perempuan, sebagai pengatur keuangan keluarga, bingung memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Kesulitan ini mengakibatkan tingginya angka malnutrisi anak sebesar 26% dan angka ketidak cukupan konsumsi kalori saat ini mencapai 64%. Jadi tidak heran jika di tanah yang subur dan kaya raya ini ditemukan kasus anak menderita busung lapar. Dan kondisi hidup dibawah gasis kemiskinan inilah yang akhir-akhir melahirkan banyak praktek kaum perempuan yang terpaksa menjual anaknya hanya untuk sekedar membayar utang dan membiayai hidup dalam waktu yang sangat singkat.

Perempuan Indonesia Bangkit Melawan Penindasan.
Jelaslah bahwa dari kondisi di atas, kaum perempuan Indonesia ditempatkan dalam penindasan yang berlipat ganda. Maka sudah menjadi keharusan bagi kaum perempuan untuk berorganisasi dan berjuangan untuk memenuhi hak-hak dasarnya. Disatu sisi, isu-isu pembebasan kaum perempuan selalu dibiaskan dalam soal-soal yang mengaburkan akar persoalan kaum perempuan Indonesia seperti bias gender, misalnya soal kuoto 30% kaum perempuan di Parlemen saat Pemilu 2009 kemarin. Padahal hal ini tidak diperuntukkan untuk membebaskan kaum perempuan dari akar persoalan sebenarnya.

Oleh karena itu, kaum perempuan Indonesia harus mengorganiasikan diri dalam garis perjuangan yang tepat, yakni garis perjuangan demokratis nasional yang bersatu dengan seluruh gerakan rakyat Indonesia dibawah kepemipinan klas buruh dan kaum tani untuk membebaskan diri dari dominasi penindasan imperialisme, feodalisme, dan seluruh pemerintahan kaki tangannya.

Perempuan Indonesia, bangkit melawan penindasan!!!

(Newsletter Sebar Demokrasi edisi Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2010)

0 comments:

Post a Comment