Thursday, June 16, 2011

Imperialisme AS ; Teroris No. 1, Musuh Rakyat Seluruh Dunia


( Peringatan 7 Tahun Invasi Militer Amerika Serikat ke Irak )


Tanggal 20 Maret 2003, imperialis Amerika Serikat (AS) mulai melancarkan agresi militer ke “Negeri 1001 Malam”, Iraq. Babad kolosal berjudul Perang Untuk Minyak tersebut telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan rakyat Iraq dalam 7 tahun terkahir ini


Perang Invasi, Hakikatnya Adalah Upaya Perampokkan Sumber Daya Alam dan Perluasan Pasar AS.
Tanggal 20 Maret 2010, tepat sudah 7 tahun invasi yang dilancarkan oleh militer Amerika Serikat ke Irak yang telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan rakyat Irak. Puluhan ribu nyawa telah menjadi korban dan kerugian yang bersifat materiil, berupa kerusakan sarana dan prasarana publik sudah tidak terhitung lagi. Itu-pun belum termasuk kerugian yang bersifat psikologis, trauma akibat perang yang tidak akan dapat disembuhkan dengan obat apapun.

Perang agresi dengan alasan bahwa Irak telah mengembangkan senjata pemusnah massal yang akan sangat berbahaya bagi berlangsungnya perdamaian dunia, tidak dapat dibuktikan kebenarannya hingga sekarang. Bahkan ketua komite angkatan bersenjata senat AS sendiri dengan tegas menyatakan adanya manipulasi data untuk memperkuat dukungan serangan AS ke Irak.

Kenyataannya adalah perang yang dilancarkan AS tak lebih dari usaha untuk mendapatkan pasokan minyak untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar industri AS. Hal ini dikarenakan 70% bahan bakar industri dunia menggunakan bahan bakar minyak, dan Irak memiliki cadangan minyak yang sangat besar. Terbukti kemudian, Haliburton Group, Chevron, perusahaan milik Bush dan beberapa perusahaan pejabat teras pemerintahan AS, menuai keuntungan yang sangat besar dari invasi militer AS ke Irak tersebut. Itulah sebabnya juga kenapa Amerika Serikat selalu mendesak Negara-negara dunia untuk melakukan penghematan bahan bakar minyak dan upaya melakukan konversi pengunaan bahan bakar minyak ke bahan bakar lain seperti gas, batu bara, dan bio fuell dari pengelolaan jarak, jagung, singkong, dan sebagainya. Sementara AS sendiri tidak pernah berniat mengurangi konsumsi minyak melalui pengurangan kapasitas produksinya. Demikian halnya dengan program konversi minyak ke gas, batu bara, dan bio fuell yang telah berdampak pada kelangkaan minyak sehingga menyebabkan melambung tingginya harga minyak tanah dan meradangnya petani seperti yang dialami oleh petani tembakau. Dan proyek pengembangan energi alternatif seperti bio fuell telah berdampak pada terjadinya perampasan lahan petani secara besar-besaran.

Selain itu, krisis persenjataan juga menjadi alasan utama terjadinya invasi AS ke Irak. Tidak kurang dari 10 perusahaan produksi senjata AS turut membiayai perang di Irak, diantaranya : Lockheed Martin (USD 6,62 juta), Boeing Co (USD 5,31 juta), Raytheon (USD 3,23), Northrop Grumman (USD 3,71), General Dynamics (USD 4,34), United Technologies (USD 2,24), General Electrics (USD 4,885), Science Applications International Coporation (USD 2,12), Carlyle Group (USD 1,64) dan Newport News Shipbuilding (USD 1,60). Mereka berinvestasi sejak tahun 1998-2003. Logikanya kemudian adalah, tidak ada perang maka senjata tidak akan laku terjual.

Fakta lain menunjukkan tentang adanya kontrak perjanjian yang telah dibuat pemerintah AS dengan beberapa perusahaan yang akan menangani proyek rekonstruksi pasca perang usai. Di lapangan, tahap pelaksanaan rekontruksi ini juga menuai masalah karena perusahaan-perusahaan yang memenangkan tender rekonstruksi juga menempatkan pasukan swasta bersenjata untuk melindungi aset-aset perusahaan di Irak. Semua ini menunjukkan bahwa perang terhadap Irak memang sudah disusun dengan sebuah skenario matang hingga apa yang harus dilakukan pasca invasi berakhir.

Pasca keberhasilannya menggulingkan rejim Saddam Hussein, AS kemudian mendorong penyelenggaraan Pemilu di Irak, seolah-olah AS memang peduli dengan proses demokrasi di Irak. Hal ini sesungguhnya untuk membentuk pemerintahan kaki tangan di Irak yang siap mengabdi dengan setia melayani nafsu dari AS untuk menguasi sumber daya, khususnya minyak yang sangat kaya. Pemerintahan yang dibentuk melalui Pemilu di Irak pada kenyataannya kemudian tidak mampu menjawab semua persoalan yang di hadapi oleh rakyat Irak. Ditambah lagi eksekusi terhadap mantan presiden Saddam Hussein dan anak buahnya hanya semakin memicu berkembangnya kekerasan di Irak. Rentetan serangan bom bunuh diri yang terjadi dengan intensitas tinggi belakangan ini menebar ancaman dan membuat ketakutan rakyat. Serangan bom bunuh diri menyerang hampir seluruh fasilitas publik seperti pasar, pertokoan, gedung perkantoran, tempat ibadah hingga kampus, semuanya tidak luput dari serangan bom.

Krisis Sebagai Faktor Utama Penyebab Agresi AS ke berbagai Penjuru Dunia.
Agresi militer AS ke Irak, Afganistan, dan negara-negara lainnya, termasuk dukungan penuhnya terhadap Israel yang menyerang Palestina tidak terlepas dari krisis yang dialami oleh Amerikan Serikat dan Negara-negara imperialis lainnya akibat over produksi seperti kredit macet perumahan, komoditas berteknologi canggih seperti industri persenjataan, industri kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Selain itu AS juga mengalami krisis energi sebagai salah satu unsur terpenting dalam aktifitas produksinya. Sementara agresi militer yang dilancarkannya juga telah berdampak pada semakin membengkaknya utang AS. Agresi AS ke Irak sendiri telah menghabiskan anggaran sebesar USD 3 trilliun atau lebih dari Rp 27.000 triliun.

Krisis ini sesungguhnya telah terjadi sejak tahun 2000 lalu, dan oleh AS sendiri diakui sebagai krisis terparah semenjak krisis hebat yang pernah terjadi pada tahun 1930-an yang telah melahirkan Perang Dunia (PD) II. Krisis ini telah berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi AS, bahkan di bulan Juni 2009, pertumbuhan ekonomi AS sempat minus 1,4% dengan defisit anggaran terbesar dalam sejarah AS yakni USD 1,09 T.

Seperti yang diketahui, krisis ini diawali oleh kredit macet perumahan (subprime mortgage) untuk rakyat AS. Kredit macet perumahan di AS terjadi saat rakyat AS begitu mudah mendapatkan pinjaman dari bank untuk pembelian rumah, dengan jaminan rumah itu sendiri. Krisis ini telah terjadi sejak akhir tahun 2000. Pada periode tersebut di AS sedang terjadi periode penurunan tingkat suku bunga, misalnya Maret 2000 adalah periode runtuhnya saham-saham teknologi ; burst of internet bubble. Tetapi di satu sisi proprosi aset mortgage di bank komersial terus meningkat, sehingga mendorong tingginya tingkat pembangunan perumahan di AS.

Diawali dengan penurunan suku bunga oleh The Fed (bank sentral) secara agresif untuk mengurangi resiko terjadinya resesi, mendorong terjadinya pembangunan perumahan secara besar-besaran. Dengan suku bunga yang begitu rendah sementara harga rumah terus naik, pemberi kredit seolah melupakan resiko gagal bayar dari para peminjam. Dengan ketatnya persaingan, maka strategi pemasaran pun dilakukan, salah satunya adalah dengan bunga yang dibayar begitu rendah selama dua tahun, tetapi setelah itu bunganya akan dinaikan secara signifikan. Dengan harga rumah yang terus merangkak naik, sementara bunga baru akan direset setelah dua tahun, banyak orang yang mengambil kredit dengan harapan sebelum tahun kedua rumah bisa dijual untuk membayar sisa kredit.

Tetapi harus dipahami, bahwa subprime mortgage adalah kredit berisiko tinggi, karena kebanyakan yang mengambil kredit adalah kelas pekerja rendahan, termasuk buruh yang tidak memiliki jaminan pengembalian kredit serta kapabilitas yang memadai untuk membayar kredit. Akibatnya adalah terjadi gagal bayar atau kredit macet, karena yang terjadi adalah kenaikan suku bunga yang secara otomatis mendorong kenaikan suku bunga kredit yang merupakan investasi tinggi tanpa jaminan keamanan keuangan yang memadai, dan anjloknya harga rumah yang membuat para pengambil kredit tidak bisa menjual rumahnya untuk melunasi hutang atau pun untuk mengambil hutang baru. Akibatnya, resiko gagal bayar atau kredit macet semakin besar. Hal ini mulai terlihat periode sekitar tahun 2004.

Tahun 2004, The Fed telah menaikan target tingkat suku bunga : tightening credit atau pengencangan kredit, secara perlahan tingkat bunga naik hingga mencapai 5.25%. Ketika terjadi kenaikan target tingkat suku bunga, maka secara otomatis bunga untuk hutang pun ikut naik. Sehingga mulai tahun 2004 tercatat bahwa tingkat kegagalan kredit subprime mortgage mulai naik dengan tajam. Puncaknya terjadi tahun 2007 ketika pengambil kredit sudah sama sekali tidak mampu mengembalikan pinjamannya karena terhimpit oleh hutang bank yang bunganya terus naik, dan angsuran pembayaran rumah yang harus di bayar menjadi berkali lipat. Akibatnya adalah terjadi kemacetan total pada kredit perumahan rakyat.

Krisis subprime mortgage kemudian efeknya dengan cepat menjalar ke berbagai sektor, memakan korban berbagai lembaga keuangan dan bank-bank investasi yang kemudian merambat cepat bak wabah keseluruh dunia dalam berbagai sektor.

Dimulai pada Maret 2008 ketika bank investasi, Bear Stearns yang dibeli JP Morgan Chase dengan nilai USD 263 juta, akuisisi ini di motori Bank Fed AS. Kasus ini kemudian berlanjut pada tanggal 7 September ketika perusahaan pembiayaan rumah terbesar di AS Freddie Mac dan Fannie Mae diambil alih Departemen Keuangan AS, sekaligus menjamin utang masing-masing perusahaan sebesar USD 100 miliar. Tanggal 15 september Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, Merrill Lynch menyatakan diri diakuisisi oleh Bank of America dengan nilai sebesar USD 50 miliar. Masih diwaktu yang sama AIG mengalami kemerosotan saham hingga 60,8%. Selain itu The Fed juga menyuntikan dana ke pasar sebesar USD 70 miliar. Sehari berikutnya The Fed dipaksa menyuntikan dana sebesar USD 50 miliar kepasar, selain itu pemerintah AS juga harus menyelamatkan AIG dengan imbalan 79,9% untuk menyuntikan dana sebesar USD 85 miliar untuk perusahaan asuransi raksasa tersebut. Kemudian 26 September 2008 bank terbesar di AS yaitu Washington Mutual (WaMu) bangkrut, dan sebagian sahamnya kemudian di beli JP Morgan Chase dengan nilai USD 1,9 miliar.

Krisis ini kemudian mendorong pemerintah AS mengeluarkan UU Penyelamatan Ekonomi Darurat melalui program bailout dengan dana mencapai USD 700 miliar, rekor “semacam BLBI” terbesar dalam sejarah, selain itu pemerintah AS juga melakukan pengurangan pajak dan menaikan jaminan simpanan bank dari USD 100.000 menjadi USD 450.000. Keadaan ini kemudian menjalar dengan cepat ke penjuru dunia, bank-bank di Eropa bertumbangan, UBS AG bank investasi di Swiss menderita kerugian sebesar USD 13,7 miliar, HSBC Inggris USD 3,4 miliar bahkan Citi Group di AS merugi hingga USD 24,1 miliar. Penurunan tingkat suku bunga berlangsung sangat cepat, hal yang sama terjadi di Asia, dimulai dengan tumbangnya Yamato Bank di jepang.

Hal ini yang kemudian melahirkan berbagai tindakan oleh pemerintah di berbagai negara untuk mengatasi krisis yang semakin kronis. Amerika Serikat menyiapkan anggaran sebesar USD 700 miliar pada pemerintahan George W. Bush, dan USD 700 miliar pada pemerintahan Barack H. Obama. Paket ini termasuk didalamnya dana talangan untuk institusi keuangan yang mencapai USD 250 miliar, jaminan deposito USD 250 ribu, dan dana likuiditas mencapai USD 900 miliar. Inggris mengeluarkan USD 691 miliar, menyuntikan dana hingga USD 64 miliar untuk tiga bank terbesar, dan akan menjamin USD 439 miliar untuk menopang proses peminjaman antar bank, jaminan deposito mencapai USD 87.857 dan dana likuiditas mencapai USD 351 miliar melalui cara lelang. Jerman menyiapkan anggaran sebesar USD 680 miliar, menyuntikan dana sampai USD 109.79 miliar untuk rekapitalisasi, USD 27.4 miliar untuk bank-bank yang mengambil jaminan pinjaman, jaminan deposito tanpa batas dan dana cadangan likuiditas mencapai USD 548.9 miliar. Irlandia menyiapkan anggaran sebesar USD 544 miliar, pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan 6 bank yang terproteksi. Jaminan deposito tanpa batas dan enam bank di jamin. Perancis menyiapkan USD 492 miliar, dapat menyuntikan dana sampai USD 54.89 miliar untuk rekapitalisasi, pemerintah dapat mengambil kepemilikan saham dan jaminan deposito mencapai USD 95.179 serta dana cadangan likuiditas mencapai USD 439 miliar. Rusia; USD 200 miliar, berjanji meminjamkan USD 35 miliar kepada perbankan lokal, perusahaan swasta dapat meminjam mulai USD 100 juta sampai USD 2.5 miliar, serta menjamin penuh deposito. Asia; USD 80 miliar. (Kompas,26 Oktober 2008)

Akibat krisis ini, terjadi PHK secara besar-besaran terhadap klas buruh di AS. Countrywide Financial Corporation, pemberi kredit hipotik perumahan terbesar di AS, merumahkan 12 ribu buruhnya. Keputusan yang sama juga diambil oleh Citi Group Inc, Merril Lynch, Lehman Brothers Holding Inc, First National Bank Holding Co, HSBC, Home Lender Holding Co, Scottdale, dan IndyMac Bancorp Inc. (Tempo, 3 Februari 2008). Bahkan analisis dari Third World Network, Kanag Raja memperkirakan korban PHK akibat krisis ini mencapai 5 juta orang, sementara menurut ILO, akibat krisis sekitar 20 juta buruh akan kehilangan pekerjaan.

Situasi ini menunjukkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara imperialis, sangat parah. Hal ini juga menepis pandangan berbagai ekonom borjuis yang menyatakan bahwa negara imperialis seperti AS tidak akan pernah mengalami krisis lagi. Untuk menyelamatakan diri dari krisis yang sedang dialaminya, berbagai cara dilakukan oleh AS dan negara-negara imperialisme lainnya. Mulai dari dikte kebijakan terhadap negara-negara setengah jajahan yang dimpimpin oleh pemerintahan kaki tangan yang dengan setia melayani kepentingannya, sampai pada cara yang paling barbar yakni dengan perang agresi untuk menguasai sumber daya dan pasar bagi hasil produksinya. Berbagai pertemuan internasional, seperti pertemuan G-7, G-8, G-20, KTT menteri keuangan dunia, dan sebagainya, gencar dilakukan untuk menyusun berbagai kebijakan yang akan dipaksakan kepada negara-negara kaki tangan yang setia melayaninya, seperti Indonesia. Sementara bagi negara-negara yang tidak tunduk terhadapnya, berlaku hukum “libas dan tumpas” seperti yang dialami oleh Irak, Afganistan, Palestina, dan juga Pakistan yang mana pada akhir Desember 2009, Gedung Putih telah mengeluarkan ijin untuk melakukan serangan udara tanpa awak.

Krisis Imperialisme = Semakin Terpuruknya Kehidupan Rakyat Indonesia.
Krisis yang dialami oleh AS dan negara-negara imperialis lainnya, juga berdampak pada Indonesia, bahkan dengan tingkatan yang berlipat ganda. Ketika perekonomian AS dilaporkan mulai membaik pada akhir Desember 2009, tidak ada gejala sedikitpun yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia juga semakin membaik, bahkan sebaliknya, penghidupan rakyat Indonesia justeru semakin merosot. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan, sementara pendapatan rakyat tidak pernah mengalami peningkatan, justeru sebaliknya subsidi publik terus di pangkas dan beban pajak semakin naik. Saat ini jumlah rakyat miskin di Indonesia telah mencapai 14,2% atau 32,5 juta. Bahkan jika mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar USD 2 per hari, maka lebih dari 50% rakyat Indonesia berada dalam kategori miskin.

Menghadapi situasi krisis tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai paket kebijakan, seperti menaikan nilai jaminan tabungan dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 2 miliar per nasabah yang ditujukan untuk mencegah terjadinya rush (penarikkan uang nasabah secara besar-besaran dalam waktu yang bersamaan) seperti yang terjadi ketika krisis 1997 yang menyebabkan bangkrut dan diakusisinya sejumlah bank swasta di Indonesia. Sementara imperialisme sangat bergantung kepada bank sebagai penjamin modal bagi kegiatan investasinya.

Selain itu pemerintah juga menyiapkan program buy back yang ditujukan untuk melakukan pembelian kembali saham-saham aset negara, ini bertujuan untuk menyehatkan kembali keuangan dari BUMN yang nilai sahamnya terus merosot. Program buy back hakekatnya hanya menyelamatkan Imperialisme dan memperpanjang nafas para borjuasi komprador, karena buy back nantinya akan membeli kembali saham-saham kepada perusahaan imperialis yang memegang gadai saham perusahan-perusahaan Indonesia.

Misalnya ketika terjadi pada PT Bumi Resources Tbk milik PT Bakrie & Brothers Tbk yang sempat di suspen karena harganya menurun drastis, saat ini saham Bumi Resources dengan dua anak perusahaannya yaitu Arutmin dan Kaltim Prima Coal (KPC) sebanyak 5.017 sedang di gadaikan ke lembaga keuangan asing dan domestik, yang terbesar yaitu Oddickson finance, JP Morgan Chase, ICICI, Rekapital Securities, dan PNM Investement Management. Ini artinya negara yang yang harus membayar, sementara Bakrie Group sebagai komprador akan menikmati hasilnya, karena pasca pembayaran Repo (repurchase agreement) atau gadai, sebanyak 35 % saham Bumi Resources rencananya akan di jual kepada Northstar Pasific Ltd, yang didukung perusahaan private equity terbesar didunia dengan cadangan dana mencapai USD 27-28 miliar, yaitu Texas Pasific Group (TPG).

Selain kebijakan buy back, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan bail out, yakni pemberian bantuan langsung kepada pemilik atau perusahaan yang terlilit masalah finansial. Seperti yang terjadi pada kasus bail out Bank Century yang menghabiskan anggaran sebesar 6,7 trilliun. Kondisi ini sama ketika krisis yang dihadapi pada tahun 1997 yang mana BLBI kemudian dikorup oleh para borjuis komparador dan kapitalis birokrat dan hingga sekarang kasus ini belum tuntas.

Dana program kenaikan nilai jaminan nasabah, buy back, dan bail out, sebagian besar berasal dari rakyat yang di himpun lewat berbagai sumber, mulai dari pajak, dana BUMN, dana BLBI dan APBN. Terbukti bahwa APBN 2009 berkurang sebesar Rp. 16, 7 triliun untuk menjalankan program-program tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya rakyatlah yang menjadi tumbal dari krisis ini.

Klas buruh Indonesia merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang paling merasakan dampak akibat krisis imperialisme yang terjadi. Dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri (Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Dalam Negeri, Perindustrian Dan Menteri Perdagangan) No. 16 tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dikatakan oleh pemerintah, hal ini ditujukan untuk menghindari PHK massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Bahkan jumlah PHK yang dirilis oleh KADIN mencapai angka lebih dari 500.000 orang. Sementara itu, klas buruh Indonesia juga masih harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan jaminan perlindungan atas pekerjaannya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia. Lebih dari 50% kaum tani menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan saja, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya. Di NTB, jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan ke sektor lain, setiap tahun mencapai 10% dari jumlah total lahan pertanian.

Sementara tingkat perampasan tanah petani yang disertai dengan kekerasan, semakin meningkat. Misalnya saja, tragedi 18 September 2005 di Tanak Awu-Lombok Tengah, Rumpin-Bogor pada Januari 2007 dan Karang sari-Garut, Penangkapan terhadap sekitar 27 kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di Kalijajar-Wonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani, perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan 9 lainnya di tangkap, juga konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat Tapanuli Tengah.

Semakin meningkatnya perampasan tanah dan PHK yang terjadi serta tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan yang layak telah berdampak pada ledakan angka pengangguran terbuka yang telah mencapai 8,1 % atau 9,25 Juta dari angkatan kerja dengan distribusi pekerja 60,5 % adalah pekerja informal seperti tukang ojek, asongan, buruh lepas dan pedagang kecil. Hal ini membuat pemerintah mengintensifkan ekspor tenaga kerja keluar negeri. Tujuannya adalah mengeruk pundi-pundi pendapatan negara melalui devisa dari proses distribusi dan transaksi buruh migran keluar negeri. Bonusnya, pemerintah mendapatkan citra baik karena mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Sumbangan devisa yang sangat besar bagi kas negara oleh buruh migran, dijawab dengan biaya berlebih penempatan tenaga kerja (overcharging). Kasus terakhir adalah Surat Edaran KJRI Hongkong No. 2258 yang semakin menguatkan posisi agen. Sementara tidak adanya jaminan perlindungan hukum dari pemerintah kepada buruh migran, menjadikan buruh migran sebagai korban penganiayaan, bahkan hingga meninggal dunia.

Disektor pendidikan, pemerintah semakin melegalkan terjadinya komersialisasi pendidikan dengan disahkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan semakin melambung tinggi sehingga rakyat semakin kehilangan haknya atas pendidikan. Akibatnya 9,7 juta rakyat Indonesia yang masih terbelenggu buta huruf. Disatu sisi, tidak ada jaminan pemerintah bagi lulusan pendidikan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak sehingga berdampak pada semakin meningkatnya angka pengangguran. Sebanyak 52,65 % tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD dan hingga Agustus 2008, pengangguran terdidik di Indonesia berjumlah  961.000 yang terbagi atas 598.000 penganggur Sarjana dan 362.000 penganggur Diploma.

Dengan kondisi BOS yang tidak terserap sesuai ketentuan, gedung sekolah yang menjadi tempat belajar sebagian besar rusak, terutama di daerah-daerah terpencil. Dari total ruang kelas di SD hampir 50% dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.  Demikian halnya dengan persoalan fasilitas yang masih sangat minim, pada 2008, menurut Depdiknas, baru 32% SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP baru 63,3%.

Dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi. Program sertifikasi yang ditetapkan pemerintah telah menjadi praktek komersialisasi baru yang dilegalkan dalam sektor pendidikan. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, total dosen yang ada di Indonesia adalah 240.000 orang. 120.000 orang merupakan dosen tetap di Indonesia, 50,65 % atau lebih dari 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2.

Di sektor kesehatan, dari APBN 2009 yang mencapai lebih dari 1,000 trilliun, sektor kesehatan hanya mendapatkan jatah sekitar 2,8 %. Angka ini jauh dari standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang seharusnya mencapai angka 15 %. Akibatnya rakyat semakin kehilangan akses untuk mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu. Program kesehatan gratis bagi rakyat miskin yang selama ini dikampanyekan pemerintah, dalam kenyataannya banyak rakyat mendapatkannya. Karena pemerintah sendiri tidak memiliki data yang pasti terhadap jumlah rakyat miskin di Indonesia, belum lagi untuk mendapatkan layanan tersebut, harus melalui proses administrasi yang sangat berbelit-belit.

Tidak cukup dengan itu, seperti tidak peduli sama sekali dengan penderitaan rakyat, pada bulan Desember 2009 para menteri dan pejabat tinggi menerima bonus mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar, jika pejabat yang menerima sebanyak 150 orang maka uang yang dikeluarkan untuk membeli mobil dinas tersebut lebih dari Rp 195 miliar.

Sebagai negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF), Indonesia berkedudukan sebagai pemasok kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja murah, sasaran investasi, dan pasar yang luas bagi hasil produksi industri imperialisme. Maka sebagai pemerintahan kaki tangan yang setia melayani imperialisme, yang dilakukan oleh pemerintahan SBY adalah membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi masuknya investasi, menyediakan infrastruktur bagi kelancaran investasi, dan dengan segala upaya mengamankan investasi tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam 15 program 100 hari pemerintahan SBY - Boediono. Program 100 hari tersebut merupakan turunan dari hasil kesepakatan antara SBY dan Barak H. Obama pada Desember 2008 lalu.

Dari paparan diatas, maka jelaslah sudah, bahwa krisis imperialisme yang terjadi hanya akan berdampak pada semakin bertambahnya penderitaan rakyat sebab imperialisme dengan berbagai cara, termasuk dengan perang agresi, akan terus memeras keringat dan darah rakyat Indonesia serta negeri jajahan dan setengah jajahan lainnya untuk menyelamatkan dirinya dari krisis yang dialaminya. Dan SBY-Boediono merupakan rejim kaki tangan imperialis yang akan selalu mengorbankan rakyat Indonesia demi menyelamatkan majikannya dari krisis yang dialaminya.

Imperialis AS Adalah Musuh Rakyat Seluruh Dunia.
Dominasi penindasan yang dilakukan oleh imperialis AS telah menjadikan AS sebagai musuh rakyat seluruh dunia. Terus berkobarnya perlawanan rakyat Irak terhadap pasukan AS yang masih menduduki wilayahnya tidak terlepas dari kebencian yang memuncak akibat tindakan yang dilakukan oleh AS. Perlawanan terhadap imperialisme AS inipun tidak hanya terjadi di Irak, tetapi juga terjadi di Nepal, Filipina, Thailand, Amerika Latin, dan berbagai penjuru dunia lainnya yang ditujukan kepada pemerintahan kaki tangan imperialisme. Pertemuan-pertemuan tingkat internasional yang melibatkan imperialis AS, seperti WTO, WEF, G-7, G-8, KTT Amerika, dan kunjungan Barack H. Obama atau utusan AS diberbagai negara selalu diwarnai protes rakyat. Demikian hal dengan gerakan protes rakyat AS yang semakin menyadari bahwa Barack H. Obama tidak ada bedanya dengan George W. Bush yang akan selalu melakukan penindasan, baik terhadap rakyat AS sendiri, maupun rakyat seluruh dunia.

Gerakan perlawanan terhadap penindasan imperialisme telah menyatukan seluruh gerakan pembebasan di seluruh dunia. Gerakan pembebasan di negara-negara setengah jajahan dan setengah feodal haruslah menjadi pusat grafitasi yang bertujuan untuk memutuskan sokongan bagi imperialisme dalam mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan penindasannya.

Long live people struggle !!!

(Newsletter Sebar Demokrasi edisi khusus, Peringatan 7 Tahun Agresi AS ke Irak, 20 Maret 2010)

0 comments:

Post a Comment