Thursday, June 16, 2011

Menggugat Tanggungjawab Negara Atas Hak Pendidikan Dan Lapangan Pekerjaan Yang Layak Bagi Seluruh Rakyat !


“Gantunglah cita-cita mu setinggi langit !” pribahasa ini sering kita dengarkan diucapkan oleh guru-guru kita di sekolah untuk memotivasi kita agar lebih giat belajar hingga mampu menggapai cita-cita yang kita inginkan. Namun melihat tanggungjawab Negara dalam memenuhi hak atas pendidikan dan lapangan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat, sepertinya kita tidak bisa lagi mengantungkannya terlalu tinggi, karena hanya akan menjadi mimpi yang tak terbeli.


Dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga Negara, dan Negara bertanggungjawab untuk menyelenggarakannya. Namun hingga akhir tahun 2009 jumlah buta aksara di Indonesia masih sekitar 5,3% dari jumlah penduduk atau sekitar 8,7 juta jiwa. Dan dari data yang dirilis UNESCO-PBB pada tahun 2011, dari 31,05 juta siswa Sekolah Dasar (SD) di Indonesia, tercatat sebanyak 527.850 orang atau 1,7% yang putus sekolah setiap tahunnya. Dan dari total jumlah penduduk Indonesia usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa, hanya 4,6 juta jiwa yang berkuliah. Jumlah ini hanya meningkat 3.000 orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4,3 juta jiwa. Sementara angka putus kuliah mencapai 150.000 orang setiap tahun.

Di NTB sendiri, sampai akhir tahun 2010, jumlah buta aksara masih sebanyak 225.478 orang. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD, selama tahun 2010 mencapai 5.578 orang dari total 600 ribu orang. Dan rata-rata lama sekolah di wilayah NTB hanya mencapai 7,2 tahun. Angka putus sekolah di tingkat SLTP mencapai 2.415 orang dari total 170.560 siswa. Sementara angka putus sekolah di tingkat SMA mencapai 1.966 dari total 92.445 orang siswa. Untuk SMK angka putus sekolah mencapai 955 orangdari total 35.990 orang siswa. Data angka putus sekolah ini baru dari sekolah dibawah pengawasan langsung Dikpora provinsi dan kabupaten/kota, belum termasuk sekolah dibawah Kanwil Agama yang juga ada yang putus sekolah (Penjelasan Kadis DIKPORA NTB-H. Lalu Safi’i, Antaranews.com, 23 Februari 2011).

Menurut penelitian UNESCO, seseorang akan kembali menjadi buta huruf jika selama 4 tahun tidak menggunakan kemampuan baca tulisnya. Dalam hal ini jika putus sekolah terjadi saat di sekolah dasar (SD), terutama yang duduk di kelas 1 sampai 11 pendidikan dasar. Apalagi ditambah dengan ancaman DO terhadap 1 Juta anak akibat harus membantu orang tuanya bekerja di tengah himpitan beban akibat krisis yang kian hebat.

Kebijakan anggaran yang inkonstitusional
Sejak tahun 2009, pemerintah telah mengkampanyekan program pendidikan gratis untuk jenjang SD dan SMP atau yang dikenal dengan program Wajib Belajar (wajar) 9 tahun. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar 9 Tahun dan, pemerintah wajib membiayainya, serta pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyatakan bahwa “pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai 15 tahun”.

Sekalipun masih terbatas bagi sekolah negeri, namun hal ini tidak pernah dijalankan secara konsisten. Selain masih banyaknya sekolah yang memungut Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), juga pungutan lain seperti uang pembangunan, uang seragam, uang buku, uang les tambahan, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) selama tahun 2006-2008, masih ada berbagai pungutan mulai dari proses penerimaan murid hingga kelulusan. Pada tahun 2005, total rata-rata biaya sekolah pada tingkat SD sebesar Rp 3,5 juta per tahun, dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4,7 juta per tahun.

Mahalnya biaya pendidikan tersebut, tidak terlepas dari rendahnya alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah. Dalam berbagai pernyataan resminya, presiden SBY mengatakan bahwa sejak tahun 2009, anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN. Bahkan untuk APBN 2011, mencapai 20,2% yakni sebesar Rp 243,276 triliun. Namun apakah anggaran pendidikan yang dimaksudkan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945, dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, dijelaskan bahwa besaran dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD adalah diluar dari gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Sementara dalam APBN 2011, terdapat beberapa alokasi anggaran yang seharusnya tidak termasuk dalam anggaran pendidikan, diantaranya; Dana Alokasi Umum (DAU) untuk non gaji sebesar Rp 11,093 triliun, untuk gaji sebesar Rp 93,013 triliun, tambahan penghasilan untuk guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah sebesar Rp 3,696 trilun, dan tambahan DAU untuk tunjangan profesi guru sebesar Rp 17,148 triliun. Celakanya lagi, jumlah tersebut menjadi tampak lebih besar karena termasuk anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 16,812 triliun yang diakumulasikan dengan anggaran tahun 2010. Jika dihitung riilnya, hanya mencapai 10%. Jumlah ini bahkan turun dari anggaran tahun 2010 yang mencapai 11,06%. Dengan demikian, kebijakan anggaran pendidikan yang di tetapkan SBY, telah bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.

Demikian halnya dengan Propinsi NTB, yang mana sebagian besar belanja urusan pendidikan dihabiskan untuk membiayai gaji dan tunjangan pegawai daerah baik provinsi maupun kabupaten. Setiap Kabupaten rata-rata membelanjakan alokasi dana pendidikannya untuk membiayai belanja pegawai (gaji, tunjangan, honor dan lain-lainnya) diatas 70 %.  Sedangkan Provinsi rata-rata masih dibawah 70 %. Sejauh ini secara nominal, jumlah belanja pegawai urusan pendidikan kabupaten paling besar dialokasikan oleh kabupaten Dompu dengan alokasi sebesar Rp 378 miliar dari total belanja pendidikan sebesar Rp 415 miliar. Sementara, Kabupaten Lombok Barat pada tahun anggaran 2008 adalah alokasi belanja pegawai pendidikan paling sedikit yakni hanya Rp 213 miliar dari total belanja pendidikannya yang mencapai Rp 351,94 miliar. Pemerintah Provinsi NTB juga mengalokasikan belanja tidak langsung pendidikan cukup besar jauh diatas belanja langsungnya sebesar 61 % (Rp 14,06 miliar) dari total Belanja Urusan pendidikannnya yang berjumlah Rp 23,17 miliar, jumlah ini belum termasuk Belanja transfer Hibah/Bansos. (Sumber : hasil studi LBI tentang analisis pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran 2007-2010).

Politik anggaran yang inkonstitusional juga terlihat dari adanya pembedaan antara lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta. Masyarakat kemudian menganggap wajar jika biaya pendidikan swasta lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan negeri. Kebijakan ini juga dapat dikatakan sangat diskriminatif, karena dalam pasal 31 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga Negara berhak atas pendidikan dan Negara bertanggungjawab untuk menyelenggarakannya tanpa adanya perbedaan status sekolah, baik negeri maupun swasta. Dan yang harus diingat bahwa, keberadaan lembaga pendidikan swasta dikarenakan terbatasnya lembaga pendidikan negeri. Maka sudah seharusnya pemerintah juga mengalokasikan anggaran yang adil bagi sekolah swasta.

Berdasarkan data Depdiknas tahun 2009, jumlah SD mencapai 146.393 (91,04% negeri; 8,96% swasta), SMP mencapai 23.124 (48,63% negeri; 51,37% swasta), SMA mencapai 10.749 (44,51% negeri; 55, 49% swasta), dan SMK mencapai 7.586 (26,32% negeri; 73,68% swasta). Dari data tersebut, jika anggaran pendidikan hanya diperuntukkan bagi sekolah negeri, maka banyak rakyat Indonesia yang tidak akan mendapatkan haknya atas subsidi pendidikan.

Contoh lainnya adalah program BOS yang hakikatnya adalah subsidi silang layaknya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah ketika menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi silang dimaksudkan agar masyarakat yang mampu, membantu menanggung biaya pendidikan bagi masyarakat miskin. Persoalannya adalah, berapa jumlah rakyat yang mampu untuk menanggung biaya pendidikan bagi rakyat miskin? Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Maret 2010 saja, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang atau 13,33%, sedangkan di NTB sendiri mencapai 1.009.352 orang atau 21,55%. Jumlah ini merupakan urutan enam nasional. Namun jika mengacu pada standar yang ditetapkan PBB yakni berdasarkan penghasilan 2 dollar per hari, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia di perkirakan lebih dari 50%.

Sejak tahun 2010, dana BOS diperuntukkan bagi siswa SD sebanyak 27,8 juta orang dengan nominal Rp 400.000 per tahun untuk siswa yang berada di Kota Madya, dan Rp 397.000 per tahun untuk siswa di Kabupaten, sedangkan untuk SMP sebesar 571.000 per tahun untuk 10 juta orang. Jumlah tersebut bahkan turun jauh dari persentase nominal dan jumlah sasaran pada tahun 2009 yakni SD sebanyak 30 Juta orang (71%) dari 42,5 juta orang, dan untuk SMP sebanyak 12,5 juta orang (29%).

Program Manager Pattiro Institute, Ermy Ardhyanti mengatakan, alokasi dana yang disalurkan pemerintah pusat untuk BOS adalah sebesar Rp 16,81 triliun, sementara kebutuhan nyata operasional sekolah di lapangan mencapai Rp 24 triliun. Di luar alokasi BOS, pemerintah masih membelanjakan (dana) melalui proyek-proyek sekitar Rp 1,3 triliun. Besarnya dana belanja tersebut belum termasuk proyek-proyek pemerintah daerah. Aturan BOS saat ini yang bercampur antara pos operasional dan pos honor, mengakibatkan penggunaan dana BOS didominasi oleh pengeluaran untuk honor yang mencapai 40%. Bahkan banyak pula dana BOS yang digunakan untuk belanja di luar ketentuan. Akibatnya, pungutan sekolah hanya menurun 20%, dan dana BOS hingga sekarang baru bisa memenuhi 60-70 persen kebutuhan operasional siswa, sehingga masyarakat masih harus dibebani dengan biaya rata-rata sebesar Rp 50 ribu sampai dengan Rp 350 ribu per bulan, untuk beberapa jenis pungutan lainnya.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian ICW, kebijakan BOS semakin memberikan ruang bagi maraknya korupsi di dunia pendidikan. Hingga September 2009 terdapat 142 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan total kerugian negara kurang lebih mencapi Rp 243,3 miliar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 47 kasus berkaitan dengan pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan total kerugian negara mencapai Rp 115,9 miliar. Sementara yang berkaitan dengan penggelapan dana BOS, terdapat 33 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 12,8 miliar.

Gencarnya upaya komersialisasi pendidikan
Rendahnya alokasi anggaran pendidikan juga sebanding dengan semakin gencarnya komersialisasi pendidikan yang dijalankan melalui berbagai kebijakan pemerintah. Misalnya saja dengan adanya program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Menurut data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2010, jumlah RSBI di Indonesia mencapai 1.110 sekolah yang terdiri atas 997 sekolah negeri dan 113 sekolah swasta. Dari jumlah itu, SD RSBI sebanyak 195 sekolah, SMP RSBI 299 sekolah, SMA RSBI 321 sekolah, dan SMK RSBI sebanyak 295 sekolah.

Sementara untuk biaya pendidikannya, dari sejumlah RSBI, SPP per bulan untuk SD mencapai Rp 150 ribu, SMP Rp 600 ribu, SMA Rp 450 ribu dan SMK Rp 250 ribu. Dan untuk sumbangan sukarela, SD mencapai Rp 1 juta, SMP Rp 12,5 juta, SMA Rp15 juta dan SMK Rp 2,7 juta. Di SDN 2 Kota Mataram, untuk kelas RSBI tahun ajaran 2010/2011, biaya masuknya mencapai Rp 3 juta, SPP/bulan mencapai Rp 225 ribu, dan biaya buku dengan harga terendah Rp 20 ribu per eksemplarnya. Jika semakin banyak sekolah yang berstatus RSBI, maka akan semakin banyak rakyat yang kehilangan akses atas pendidikan, khususnya untuk yang berasal dari keluarga buruh dan petani.

Selain itu menurut ICW, RSBI justru rawan bagi terjadinya tindak pidana korupsi. Pasalnya, kepala sekolah memiliki peran yang dominan dalam menentukan pungutan biaya. Walaupun sekolah sudah mendapat subsidi dari pemerintah, tapi masih melakukan pungutan seperti pembayaran syarat administratif, biaya tes, dana sumbangan pembangunan, SPP, dan lain-lain. Hal itu diperparah dengan tidak adanya aturan jelas terhadap mekanisme penggunaan anggaran.

Komersialisasi pendidikan tinggi juga terus mengalami peningkatan yang sangat massif. Sejak tahun 1999 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 Tentang Status Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kemudian diberlakukan kepada delapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka seperti UI, ITB, UGM, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP, yang berdampak pada sangat melonjaknya biaya pendidikan. Demikian halnya dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), setelah mendapat desakan dari berbagai kalangan secara intensif mulai dari jalur hukum (yudisial review) hingga berbagai aksi protes diberbagai daerah, pada tanggal 30 Maret 2010, kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Namun hal ini sama sekali tidak merubah kenyataan, komersialiasi pendidikan terus berlangsung secara massif di Indonesia. Bahkan pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 sebagai pengganti UU BHP yang secara esensial tidak jauh berbeda dengan UU BHP yaitu menekankan pada otonomi kampus yang pada hakikatnya bertujan agar perguruan tinggi berupaya sendiri untuk membiayai segala aktifitasnya.

Sebagai gambaran, UI misalnya yang membuka kelas internasional, di Fakultas Kedokteran uang pangkalnya mencapai Rp 70 juta dengan biaya semester Rp 35 juta, Fakultas Teknik uang pangkal Rp 25 juta dengan biaya semester Rp 15 juta, dan Fakultas Ekonomi yang uang pangkalnya Rp 26 juta dan biaya semesternya Rp 25 juta. Di UGM, mahasiswa dikenakan sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), baik jalur SPMB dan non SPMB yang mencapai Rp 20 juta. Bahkan di UNPAD, biaya masuknya bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 175 juta. Apalagi sejak trend “jalur khusus” dibuka mulai tahun akademik 2003/2004. Di satu departemen di ITB, ketika itu mereka menyediakan 10 bangku dengan harga 25.000 dollar AS per bangku. Di tahun akademik 2006/2007, ITB tetap membuka jalur khusus melalui USM-ITB sebesar 30 persen dari total bangku kuliah. Lulusan USM-ITB akan dikenakan Sumbangan Dana Pembangunan Akademik (SDPA) antara Rp 45 juta hingga Rp 60 juta. Sementara bagi mahasiswa regular dikenakan biaya kuliah Rp 2 juta per semester. Universitas Hasanudin Makasar, mempunyai jalur nonsubsidi (JNS) dengan biya rata-rata Rp 20 juta per semester. Sementara Universitas Negeri Surabaya menetapkan biaya pembangunan institusi mencapai Rp 100 juta untuk Fakultas Kedoktaran. Bahkan di UNPAD, biaya masuk saat ini telah mencapai Rp 10 juta hingga Rp 175 juta.

Hal ini berdampak pada rendahnya akses orang miskin di PTN yang pada tahun 2011 hanya sebesar 4,19%, sedangkan orang kaya mencapai 32,4%. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan tahun 1980 sampai 1990-an yang mana jumlah rakyat miskin yang mengakses PTN mencapai 10%.

Minimnya fasilitas pendidikan
Persoalan ketersedian akses pendidikan yang memadai serta meningkatnya kualitas pendidikan, tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan fasilitas pendidikan. Akibat rendahnya alokasi anggaran pendidikan juga berdampak pada buruknya fasilitas pendidikan. Data Depdiknas tahun 2007/2008 menyebutkan bahwa terdapat 161 ribu bangunan sekolah yang berada dalam keadaan rusak dengan rincian gedung SD sebanyak 139.461, SMP 16.360 dan SMA 5.693. Dari jumlah tersebut, 45% nya rusak berat dengan sudut kemiringan mendekati 90 derajat atau hampir ambruk. Demikian halnya dengan fasilitas penunjang pendidikan seperti perpustakaan yang mana berdasarkan data Depdiknas tahun 2008, hanya 32% SD yang memiliki fasilitas perpustakaan, sedangkan SMP sebanyak 63,3% yang sudah memiliki fasilitas perpustakaan.

Guru; benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa
Gelar guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dimaksudkan untuk menggambarkan betapa besarnya jasa guru untuk memajukan kualitas pendidikan bangsa. Namun sepertinya slogan tersebut diartikan secara harafiah oleh pemerintah, pengabdian guru sama sekali tidak dihargai. Hal ini bisa di lihat dari rendahnya pendapatan guru, khususnya bagi guru kontrak/guru tidak tetap/guru bantu/guru sukarelawan, ataupun dengan sebutan lain yang memiliki makna yang sama.

Berdasarkan data Depdiknas tahun 2010, jumlah guru yang berstaus PNS (termasuk PNS pada Departemen Agama dan PNS yang di perbantukan di sekolah swasta) berjumlah 1.579.381 orang, Guru Tetap Yayasan : 225.667 orang, Guru Honor Daerah : 68.157 orang, serta Guru Tidak Tetap dan Guru Bantu : 734.106 orang. Dan dari jumlah tersebut, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi. Program sertifikasi yang ditetapkan pemerintah telah menjadi praktek komersialisasi baru yang dilegalkan dalam sektor pendidikan.

Nasib yang sangat memprihatinkan terjadi pada guru tidak tetap dan guru bantu yang dipekerjakan tanpa ada jaminan hukum atas pemenuhan hak-haknya, hanya sebatas Surat Keputusan (SK) Kepala Sekolah. Itu artinya bahwa, mereka bisa diberhentikan kapan saja berdasarkan keinginan kepala sekolah. Sementara gaji mereka, dihitung berdasarkan jumlah iuran dari siswa dan jumlah jam mengajar yang terkadang hanya sebesar Rp 10 ribu per satu jam pelajaran. Selain itu, mereka juga sering mendapatkan perlakuan diskriminatif lainnya seperti tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di sekolah.

Persoalan lain yang terkait dengan persoalan guru adalah perbandingan yang tidak merata antara guru di sekolah negeri dan guru di sekolah swasta. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK), hingga tahun 2009 jumlah guru di Indonesia mencapai 2.607.311 orang dengan rincian; guru sekolah negeri mencapai 1.972.735 orang atau sebesar 75,66%, sedangkan guru di sekolah swasta hanya mencapai 634.576 orang atau 24,34%. Begitupun dengan perbandingan persebaran guru di kota dengan di desa, yang mana masih sangat sedikit guru yang bekerja di desa, bahkan di beberapa sekolah, hanya ada satu guru untuk masing-masing sekolah.

Rendahnya kualitas pendidikan
Layaknya barang dagangan pada umumnya, untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka kita harus bersedia untuk membayar dengan biaya yang mahal pula. Namun apakah biaya pendidikan yang mahal sebanding dengan kualitasnya?

Pada 23 Maret 2011, harian Kompas melaporkan bahwa sampai saat ini 88,8% sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Dari 201.557 sekolah di Indonesia 40,31% berada di bawah standar pelayanan minimal, dan 48,89% berada pada posisi standar pelayanan minimal, sedangkan hanya 10,15% yang memenuhi standar nasional pendidikan. Dengan keadaan itu, pemerintah justru gencar mengalokasikan dana bagi RSBI (Kompas, 31/3/2011).

Berdasarkan survey Political and Economic Risk (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia Tenggara. Bahkan posisi Indonesia berada di bawah Vietnam yang baru membangun pendidikannya dalam 20-an tahun terakhir. Sementara hasil survey World Competitiveness Year Book tahun 2007, daya saing pendidikan Indonesia berada pada urutan 53 dari 55 negara yang disurvey. Dan dari data yang dipaparkan oleh Time Higher Education Supplement (THES), peringkat PT terkemuka di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) yang meskipun telah membuka program kelas internasional dan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan asing, berada pada peringkat 77 dari 77 PT di kawasan Asia-Pasifik.

Tentu kualitas pendidikan tidak bisa hanya diukur dari ukuran-ukuran formal seperti diatas, tetapi juga dengan bagaimana peranan pendidikan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi lembaga ilmiah, tempat untuk memperdebatkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat, dan mencarikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Namun hari ini sangat sedikit lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang memperdebatkan dan mencarikan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah-masalah rakyat. Ketika pemerintah dan perusahaan-perusahaan menetapkan politik upah murah, tidak adanya jaminan sosial, serta PHK massal bagi buruh, ketika tanah kaum tani dirampas secara paksa demi kepentingan investasi perusahaan-perusahaan multi nasional, dan berbagai persoalan rakyat lainnya, tidak ada satupun kampus yang memposisikan diri sebagai garda terdepan untuk membela kepentingan rakyat.

Terminologi bahwa kampus adalah lembaga “idependen” adalah terminologi yang sengaja dibangun untuk mempertahankan dominasi penindasan yang terjadi, dan membentuk karakter mahasiswa yang individualistik, serta menjauhkannya dari realitas sosialnya. Dan pada kenyataannya, kampus tidak pernah independen, khususnya kampus-kampus besar di setiap daerah, selalu dilibatkan oleh pemerintahan setempat dalam menyusun berbagai kebijakan. Dengan demikian, kampus memiliki andil yang besar atas penindasan yang dialami oleh rakyat.

Keadaan ini disebabkan oleh orientasi sistem pendidikan yang diabdikan untuk kepentingan pasar, sebagai upaya untuk mempertahankan dominasi imperialisme (khususnya Amerika Serikat), baik dalam soal dominasi atas sumber daya alam, tenaga kerja murah, pasar, dan sasaran investasi. Konsep-konsep seperti link and match atau juga Labor Market Flexibelity (LMF) dan Relevancy and Efisiency sesuai dengan program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) dalam perjanjian kerjasama dengan Bank Dunia, dikatakan ditujukan untuk mempermudah akses lulusan pendidikan atas lapangan pekerjaan. Namun pada kenyataannya, jumlah pengangguran terdidik masih saja terus meningkat, dan latar belakang pendidikan tenaga kerja Indonesia didominasi oleh lulusan SD.

Mahal tetapi menganggur
Pendidikan yang mahal ternyata juga tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS, hingga Februari 2010 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 107,41 juta orang dari 116 juta angkatan kerja di Indonesia. Maka jumlah pengangguran mencapai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41%. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang atau 31,42%, sedangkan bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang atau 68,58%. Maka jumlah pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,59 juta orang karena yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja kehilangan pekerjaannya.

Begitupun dengan jumlah pengangguran terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah penduduk yang bekerja, sebesar 55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30 juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau 14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan Diploma I, I, III 2,89 juta atau hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya 4,6%.

Di NTB sendiri, hingga tahun 2009, jumlah pencari kerja di NTB yang belum di tempatkan mencapai 46.535 orang. Sedangkan yang sudah di tempatkan mencapai 24.550 orang. Dari jumlah tersebut, yang tidak tamat SD berjumlah 4 orang, SD sebanyak 14.438 orang, SLTP sebanyak 6.541, SLTA sebanyak 2.710, sedangkan Diploma I dan II hanya mencapai 112 orang, Diploma III mencapai 173 orang, dan S1 hanya mencapai 572 orang (NTB dalam angka, 2010). Angka ini menunjukkan bahwa betapa tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai bagi lulusan pendidikan perguruan tinggi.

Belum lagi keadaan pekerja Indonesia semakin memprihatinkan karena politik upah murah yang diterapkan oleh berbagai perusahaan dan pemerintah, serta tidak adanya jaminan kepastian kerja dengan diberlakukannya sistem outsourcing. Demikian halnya dengan jaminan kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja (K3), serta jaminan sosial lainnya yang masih sangat rendah. Begitupun dengan tingkat PHK yang sangat tinggi, hingga Desember 2009 saja, tercatat 1,6 juta buruh yang di PHK.

Dari data NTB dalam angka tahun 2010, pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja industri mencapai 7.505 orang dengan jumlah total upah sebesar Rp 25.783.666.000 dan insentif sebesar Rp 5.718.808.000. Dengan demikian, rata-rata pendapatan per bulan dari buruh di NTB adalah Rp 349.795. Padahal standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di NTB adalah sebesar Rp 1,5 juta setiap bulannya, sementara Upah Minimum Propinsi mencapai (UMP) Rp 950 ribu per bulan. Jika demikian, untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja, seorang buruh tidak mampu apalagi untuk menyekolahkan dan menguliahkan anaknya.

Kesejahteraan buruh memang selalu menjadi korban dari sistem ekonomi kapitalisme, terutama bagi negara-negara yang pendapatan negaranya dibuat bergantung dari industri-industri asing. Selain dengan memberikan jaminan beban pajak yang rendah, politik upah murah juga sering dijadikan sasaran utama dari program pemerintah untuk menarik investasi sebanyak-sebanyaknya untuk masuk ke Indonesia. Hal ini dikarenakan upah dipandang sebagai salahsatu bagian dari biaya produksi. Semakin murah upah yang ditetapkan, maka semakin murah juga biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan. Tentu dengan semakin murahnya biaya produksi yang harus dikeluarkan, maka akan semakin besar keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan.

Opini yang dibangun ketika pemerintah dan perusahaan-perusahaan menetapkan politik upah murah adalah karena daya saing kualitas buruh Indonesia yang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Filipina, India, Vietnam dan sebagainya. Dikatakan bahwa sumber daya buruh Indonesia sangat rendah karena rata-rata adalah lulusan SD. Yang harus dipahami adalah, karakter industri indonesia adalah industri manufaktur yang menggunakan teknologi yang rendah yang mana buruhnya hanya cukup dengan lulusan SD.

Ketika terjadi krisis keungan global yang terjadi sejak akhir tahun 2008 hingga akhir tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri (Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Menteri Perindustrian Dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri,) No. 16 tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang  Ketenagakerjaan. Dikatakan oleh pemerintah, hal ini ditujukan untuk menghindari PHK massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008  sampai Maret 2009, sebanyak 240 ribu orang buruh yang di PHK. Bahkan jumlah PHK yang dirilis oleh KADIN hingga Desember 2009, jumlah buruh yang di PHK mencapai 1,6  juta.

Selain itu, untuk menghindari kewajiban pemberian upah layak dan jaminan sosial lainnya, pemerintah dan perusahaan-perusahaan, mensiasati dengan menerapkan hubungan kerja diluar perusahaan dengan menggunakan perusahaan-perusahaan jasa penyedia tenaga kerja atau yang dikenal dengan sistem outsourcing. Ketika buruh mendapatkan upah yang tidak layak, maka buruh tidak bisa menuntut di perusahaan tempat dia bekerja, melainkan di perusahaan outsourcing yang menyediakan kerja tersebut baginya.

Persoalan lainnya adalah soal jaminan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam bekerja. Dari hasil penelitian ILO (International Labour Organization/Organisasi Buruh Internasional), buruh perempuan Indonesia sangat rentan terkena kanker payudara karena tidak adanya waktu yang cukup untuk menyusui bayinya karena jam kerja yang terlampu  lama.

Berada dalam cengkreman asing
Sejarah sistem pendidikan Indonesia memang tidak terlepas dari dikte yang dilakukan oleh negeri asing. Pada jaman penjajahan Belanda, sejak dijalankannya politik agrarische weet (kebijakan agraria kolonial Belanda), sistem pendidikan diperuntukkan hanya bagi golongan “priyayi” atau bangsawan, yang ditujukan untuk meneguhkan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, serta untuk untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratif di perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda dan negeri-negeri asing lainnya.

Demikian halnya dengan kebijakan politik pendidikan di Indonesia hari ini yang tidak terlepas dari kuatnya cengkreman asing seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Cina, dan sebagainya, yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang diperdagangkan dan mampu mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda bagi mereka. Selain itu pendidikan juga dijadikan sebagai “corong propaganda” yang mempromosikan kepentingan negeri-negeri asing melalui kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk mempertahankan dominasi mereka atas monopoli sumber daya alam, tenaga kerja murah, serta pasar dan sasaran investasi bagi keserakahan mereka.

Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran utang sebesar US$ 400 juta dari IMF (Dana Moneter Internasional), yang kemudian melahirkan penandatangan kesepakatan Letter of Intent/LoI. Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melakukan pencabutan subsidi publik, termasuk pendidikan dan kesehatan. Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN  Perguruan Tinggi (menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara) yang kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP.

Tahun 2001 Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada Juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Dari paparan diatas, maka jelaslah bahwa sampai hari ini negara belum menjalankan amanat konstitusi untuk memenuhi hak dasar rakyat atas layanan pendidikan dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai. Bahkan, melalui berbagai kebijakan, pemerintah terus berupaya melepaskan tanggungjawabnya dan mendorong semakin massifnya komersialisasi pendidikan serta menjadikan rakyat Indonesia sebagai tenaga kerja murah. Dengan demikian, jika keadaan ini terus berlangsung, maka bangsa Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya, yang mampu berdaulat dan melepaskan diri dari ketergantungan atas negeri-negeri imperialisme.

1 comments:

gak ada tulisan baru ya? up date donk...

Post a Comment