Wednesday, May 18, 2011

Universitas Muhammadyah Mataram; Kampus Yang Kental Dengan Budaya Feodal


Kampus harusnya menjadi lembaga ilmiah, tempat untuk memperdebatkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat. Maka sudah seharusnya, kampus menjamin kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagai mahasiswanya.


Negara lepas tanggungjawab, fasilitas kampus minim.
Pendidikan merupakan salah satu hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana diatur dalam pasal 31 UUD ‘45 yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dengan merealisasikan minimal 20% anggaran dari APBN dan APBD. Akan tetapi kenyataannya berkata lain, pemerintah tidak pernah konsisten merealisasikan anggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Bahkan dalam janji SBY-Kalla untuk merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN 2009, sesungguhnya hanya mencapai 4,63%.

Tidak bertanggungjawabnya negara terhadap pendidikan tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam melayani kepentingan imperialisme yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan dan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi kegiatan investasi. Konsekuensi yang paling logis adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang berdampak pada semakin rendahnya akses rakyat untuk mengenyam pendidikan yang dapat diukur dengan semakin meningkatnya angka putus sekolah.

Salah satu bentuk tidak bertanggungjawabnya negara terhadap pendidikan adalah pendikotomian (pembedaan) antara lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta yang kemudian membentuk cara pandang masyarakat pada umumnya, bahwa wajar kalau lembaga pendidikan swasta lebih mahal dari lembaga pendidikan negeri karena tidak menjadi tanggungjawab negara. Padahal amanat pasal 31 UUD’45, sama sekali tidak membedakan antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan, baik yang di lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Dan kalau dikupas, keberadaan lembaga pendidikan swasta adalah akibat dari tidak bertanggungjawabnya negara dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang layak dan memadai bagi rakyatnya.

Demikian halnya dengan kampus-kampus swasta yang dipandang wajar jika biayanya lebih mahal dan fasilitasnya lebih minim dari kampus negeri. Begitupun dengan Universitas Muhammadyah Mataram (UMM). Biaya SPP persemester di UMM dihitung per SKS, atau jumlah SPP yang dikeluarkan tergantung pada jumlah SKS yang diambil. Untuk angkatan yang terbaru (2008/2009), per SKS-nya dibayar Rp 25.000,- jadi jika SKS yang diambil setiap semesternya mencapai 24 SKS, maka jumlah SPP per semesternya adalah Rp 600.000.-. Jumlah ini adalah jumlah yang standar di Mataram, bahkan jika dibandingkan dengan SPP di Univ. Mataram yang berkisar Rp 600.000,- hingga Rp 700.000,- per semesternya.

Akan tetapi, selain SPP mahasiswa UMM juga harus menanggung biaya pendaftaran ulang dan sumbangan pembangunan. Untuk tahun akademik 2008/2009, selain Fakultas Kesehatan, biaya pendaftaran ulang dan sumbangan pembangunannya sebesar Rp 2.250.000,- sedangkan untuk Fakultas Kesehatan, berkisar antara Rp 10.000.000, s/d Rp 13.000.000,-. Biaya pembangunan tersebut dimaksudkan untuk penyelenggaraan pembangunan di kampus UMM (membangun gedung/ruangan kelas dan pengadaan fasilitas lainnya). Inilah salah satu yang membedakan antara lembaga pendidikan negeri dan swasta sebagai akibat dari tidak bertanggungjawabnya negara terhadap sektor pendidikan, mahasiswa dipaksa untuk menanggung semua beban biaya operasional kampusnya.

Besarnya biaya pembangunan di kampus UMM, ternyata tidak diikuti dengan fasilitas yang layak dan memadai, seperti minimnya buku di perpustakaan, minimnya fasilitas laboratorium untuk Fakultas Kesehatan sehingga harus berpraktek Anatomi di UNRAM, ruangan kelas yang tidak nyaman (dari 29 ruangan kelas, antara ruangan kelas yang satu dengan yang lainnya, dibatasi dengan rolling dor, ini kampus atau  toko?), ruangan kelas untuk Fakultas Kesehatan yang masih menumpang di Fakultas Tehnik, dan Fakultas Hukum yang masih menumpang di FISIP, bahkan untuk fasilitas WC saja, 20 ruang yang ada dalam keadaan yang sangat tidak layak pakai karena tersumbat, tidak lancar airnya, bau, dan pintunya rusak.

Telah dijelaskan bahwa kondisi yang ada di kampus tidak terlepas dari tidak bertanggungjawabnya negara terhadap pendidikan, akan tetapi, kondisi yang terjadi di kampus UMM, sekaligus membuktikan bahwa birokrasi kampus UMM lebih memilih untuk memeras mahasiswanya ketimbang menuntut pemerintah untuk bertanggungjawab merealisasikan anggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan, serta tanpa memberikan hak-hak mahasiswanya.

Terkekangnya hak untuk berorganisasi dan berekspresi bagi mahasiswa UMM.
Dalam pasal 28 UUD’ 45, negara telah menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dimuka umum sebagai salah satu hak dasar rakyat. Ini berarti seluruh rakyat Indonesia mempunyai hak yang sama untuk berorganisasi dan menyampaikan pendapat dimuka umum, begitupun dengan mahasiswa.

Namun yang terjadi di kampus UMM berkata lain, di kampus UMM tidak ada jaminan kebebasan berorganisasi berekspresi bagi mahasiswanya. Hal ini bisa dilihat dari sikap Rektor UMM yang mengecam  dan  melarang  keberadaan dari organisasi-organisasi yang mereka (birokrasi) sebut sebagai organisasi “eksternal”. Rumusan tentang organisasi “intra” dan “ekstra” ini muncul dari diberlakukannya kebijakan Normalisasi Kegiatan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang diberlakukan oleh Rezim Fasis Soeharto sejak tahun 1974, yang bertujuan untuk mengontrol dan mengekang gerakan mahasiswa yang berjuang menyuarakan berbagai persoalan rakyat yang timbul akibat kebijakan pemerintah yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.

Kondisi ini menggambarkan betapa tidak ilmiah dan tidak demokratisnya kampus akibat karakter birokrasi yang kental dengan watak feodal yang anti kritikan dan tidak pernah pedulikan mahasiswanya. Watak feodal yang kental dari birokrasi UMM selanjutnya termanifeskan dalam sikap reaktif dari organisasi Ikatan Mahasiswa Muhamadyah (IMM) Mataram yang juga melarang keberadaan organisasi massa mahasiswa lainnya di UMM, serta selalu melakukan propaganda gelap (blackprop) yang sangat tidak ilmiah terhadap keberadaan ormass-ormass tersebut. Demikian hal dengan pimpinan dari seluruh organisasi dependen (BEM/DPM, UKM/UKF, HMJ) yang harus dikader di IMM, atau harus menjadi anggota IMM. Hal ini mencerminkan karakter IMM yang anti demokrasi dan anti persatuan mahasiswa.

Tentu kondisi ini sangat bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 31 UUD’ 45 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Akan tetapi, kondisi ini bukan lahir dengan sendirinya, melainkan sengaja dilahirkan dan dipertahankan oleh birokrasi UMM karena sangat menguntungkan baginya. Kenapa birokrasi yang untung?

Perbedaan kepentingan antara mahasiswa dan birokrasi kampus, adalah perbedaan yang sangat mendasar. Disatu sisi mahasiswa menginginkan biaya pendidikan yang terjangkau, fasilitas yang layak dan memadai, dosen yang berkompeten dibidangnya, pelayanan akademik yang memuaskan, serta dijaminnya kebebasan berserikat dan berorganisasi. Sementara disisi lain, kepentingan birokrasi adalah mendapatkan keuntungan yang berlipatganda dari bisnis pendidikan yang dijalankannya dengan cara memeras mahasiswa.

Perbedaan kepentingan yang sangat mendasar antara mahasiswa dengan birokrasi kampus tersebut, akan melahirkan pertentangan (kontradiksi) yang pokok. Sehingga ketika mencapai titik klimaksnya (puncak), pertentangan tersebut akan pecah. Akan ada saatnya, mahasiswa berjuang menuntut pemenuhan hak-haknya. Dalam sistem pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis, serta tidak mengabdi kepada rakyat, sebaliknya mengabdi kepada kepentingan pasar yang hanya menguntungkan pemilik kampus, tentu hal ini tidak diinginkan oleh birokrasi kampus.

Oleh karenanya, dengan berbagai cara birokrasi kampus selalu berupaya untuk memecah-belahkan persatuan mahasiswa agar tidak melahirkan kekuatan yang akan menuntutnya dalam memenuhi hak-hak dasar mahasiswa karena akan mengurangi keuntungan yang didapatkan oleh birokrasi/yayasan kampus. Sederhananya, mengapa tidak ada jaminan kebebasan berorganisasi dan berekspresi bagi mahasiswa, karena akan mengganggu kepentingan birokrasi/yayasan kampus yang selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara memeras mahasiswanya.

Persatuan dan perjuangan mahasiswa adalah  jawabanya
Sejarah adalah guru terbaik bagi kita, dan sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa perubahan adalah karya massa, hanya dengan kekuatan massa lah, perubahan itu dapat lahir. Hanya dengan kekuatan massa lah, mahasiswa dapat meraih hak-haknya yang dirampas oleh birokrasi kampus, hanya dengan kekuatan massa lah penindasan itu dapat dihancurkan. Maka tugas penting bagi mahasiswa untuk menyatukan diri dan berjuang menuntut pemenuhan hak-hak dasarnya, menciptakan kampus yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

Tentu persatuan mahasiwa dalam menuntut pemenuhan hak-hak dasarnya, tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir dari kerja membangkitkan, menggerakkan, serta mengorganisasikan kesadaran massa yang dilakukan secara komperehensif dan sistematis. Dan sebagai organisasi massa yang lahir dari kebutuhan massa, membangkitkan, mengggerakan, dan mengorganisasikan kesadaran massa, merupakan tugas dari setiap anggota FMN.

Secara umum, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, memperkencang kerja ISAK (investigasi sosial dan analisis klas). Pekerjaan ISAK bukan sekedar mencari data-data kuantitatif/sekunder (jenis dan jumlah biaya pendidikan, jumlah mahasiswa, fasilitas kampus, dosen dan karyawan kampus, dan lain sebagainya), akan tetapi lebih disandarkan pada bagaimana memahami perasaan massa, apa yang dibutuhkan oleh massa. Inilah yang kita maksudkan dengan prinsip segaris dengan massa.

Kedua, Berpropaganda di tengah massa. Hasil dari pekerjaan ISAK kita harus dinilai dan disimpulkan serta dijadikan sebagai  materi  pokok propaganda kita di tengah massa. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan massa akan situasi kongkret yang dialaminya sehingga terbangkitkan kesadarannya untuk melakukan perubahan atas penindasan yang dialaminya. Materi yang kita propagandakan adalah bagaimana memadukan antara soal-soal kongkret yang terjadi di kampus dengan soal-soal umum yang ada dalam dunia pendidikan, dengan berdasar pada soal-soal kongret yang ada di kampus. Sedangkan metode kita dalam menjalankan kerja propaganda adalah memadukan antara propaganda luas dengan propaganda solid dengan tetap  menyandarkan pada propaganda solid. Artinya, tidak ada batasan ruang dan waktu bagi kita dalam menjalankan kerja propaganda. Tidak sebatas di kampus, dimana kita pun berada, kapanpun, dan kepada siapapun, kita harus berpopaganda. Demikian halnya dengan bentuk propaganda kita, haruslah aktraktif, menarik, sesuai dengan kecenderungan mahasiswa. Misalnya saja bagaimana mengadakan pergelaran kebudayaan (musik, teaterikal, dan sebagainya) dalam mempropagandakan soal-soal kampus.

Ketiga, menggelorakan perjuangan massa. Setelah dinilai dan disimpulkan bahwa materi propaganda kita telah cukup dipahami dan diterima oleh massa, maka selanjutnya adalah bagaimana kita memperjuangkan tuntutan massa. Ada empat prinsip yang harus dipahami dan dijalankan dengan tepat, yakni jelas tuntutan, jelas sasaran, jelas kekuatan, dan jelas waktu. Ke empat prinsip tersebut (empat jelas), harus didasarkan pada hasil ISAK yang matang dan dijalankan secara tepat. Dan bentuk kampanye massa yang dijalankan, harus disesuaikan dengan perkembangan kesadaran massa dengan tetap memajukan kualitasnya. Demikian halnya dengan mengedepankan garis persatuan, menggalang aliansi dengan seluruh kekuatan mahasiswa dengan bersandar pada garis perjuangan yang tepat dan tetap bersandar pada kekuatan  internal organisasi kita.

Selanjutnya, setiap pekerjaan yang telah kita jalankan, harus tetap nilai dan disimpulkan agar di kita mampu belajar dari praktek kita sehingga menghasilkan teori baru yang lebih maju yang akan membimbing praktek kita selanjutnya dalam memberikan kemenangan-kemenangan kepada massa. Dengan demikian, kita akan dicintai oleh massa. Jayalah perjuangan massa !

0 comments:

Post a Comment