Sunday, May 15, 2011

BIROKRASI IKIP MATARAM KEMBALI MENINDAS MAHASISWA


Sejarah telah mencatat bahwa kampus IKIP Mataram pernah menjadi kampus berdarah, 22 Agustus 2006 M. Ridwan, seorang mahasiswa IKIP Mataram yang terbunuh oleh preman yang ditugaskan oleh birokrasi untuk menjaga kekuasaan yang tidak sah. 9 April 2007, 23 orang mahasiswa ditangkap dan ditahan karena berjuang menuntut penolakan pembubaran 3 jurusan baru yang menyebabkan ratusan mahasiswa kehilangan masa depanya. Penindasan demi penindasan dialami oleh mahasiswa IKIP Mataram akibat kebijakan birokrasinya yang tidak pernah berpihak pada mahasiswa. Bukanya segera menghentikan penindasan yang dilakukannya, hari ini sejarah kembali mencatat bahwa birokrasi IKIP Mataram kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak berpihak pada mahasiswa.


Perjalanan Penindasan Di IKIP Mataram
Tanggal 25 Juli 2006 melalui SK No. 15/YPIM/VII/2006 Yayasan Pembina IKIP Mataram resmi memecat Drs. Fathurrahim MSi sebagai rektor beserta 11 orang pimpinan IKIP Mataram lainnya (termasuk 9 dosen Kopertis Wilayah VIII). Adapun alasan pemecatannya karena dugaan Yayasan bahwa Drs. Fathurrahim MSi beserta jajarannya yang telah melakukan penggelapan dana operasional pendidikan.  Akan tetapi, pemecatan dilakukan tanpa melalui pembuktikan hukum terkait dugaan yayasan tersebut. Demikian halnya dengan mekanisme pemecatan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku  yakni tanpa melakukan rapat senat institut sebagaimana yang diatur dalam pasal 39 ayat (2) PP 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi dan Statuta IKIP Mataram pasal 36 ayat (1).

Dari investigasi yang dilakukan, pemecatan yang dilakukan yayasan dilatarbelakangi oleh upaya perebutan kekuasaan terhadap kepemimpinan Drs. Hal ini  terbukti dari Fathurrahim Msi. hubungan yang tidak harmonis antara yayasan dengan birokrasi pimpinan Drs. Fathurrahim Msi yang sudah berlangsung sejak tahun 2004. Pada tahun 2004, melalui pemilihan senat, Drs. Fathurrahim Msi terpilih sebagai rektor sah hingga Maret 2008. Namun dengan alasan “masih terlalu muda”, Yayasan tidak ingin mengesahkan Drs. Fathurrahim MSi sebagai rektor dan kemudian mengangkat Dr. Ir. Yusuf Akhyar Sutaryono sebagai pejabat sementara. Drs. Fathurrahim MSi disahkan yayasan setelah adanya aksi ribuan mahasiswa yang  menuntut pengesahan Drs. Fathurrahim MSi.

Hubungan antara birokrat dan yayasan kembali memanas akibat perdebatan pengelolaan dana operasional pendidikan dengan persentase 80% oleh birokrat dan 20% oleh yayasan. Pengelolaan dana operasional pendidikan tersebut diajukan oleh Drs. Fathurrahim MSi beserta jajarannya karena merasa kesulitan mendapatkan biaya operasional pendidikan akibat mekanisme yang sangat rumit yang ditetapkan oleh yayasan.

Aksi mahasiswa yang menuntut pemenuhan hak-hak demokratis, diklaim yayasan dan dijadikan sebagai legitimasi untuk  memecat  Drs.  Fathurrahim  Msi beserta  jajarannya.Tanggal 25 Juli 2006 melalui SK No. 16/YPIM/VII/2006 Yayasan Pembina IKIP Mataram resmi mengangkat H.L Said Ruphina, SH, MS sebagai rektor IKIP Mataram menggantikan Drs. Fathurrahim Msi. Dan sejak Said Ruphina memimpin lah, mahasiswa IKIP Mataram merasakan berbagai penindasan. Berikut adalah catatan sejarah penindasan yang dialami oleh mahasiswa IKIP Mataram oleh birokrasi IKIP Mataram dibawah pimpinan H.L Said Ruphina, SH, MS.

Tanggal 22 Agustus 2006, M. Ridwan, mahasiswa IKIP Mataram terbunuh oleh preman yang ditugaskan oleh H.L Said Ruphina untuk menjaga kekuasaannya yang cacat hukum. Hingga saat ini belum ada proses hukum yang jelas terhadap H.L Said Ruphina, padahal Humas Mabes POLRI telah mengeluarkan pernyataan tegas bahwa H.L Said Ruphina adalah orang yang paling bertanggung-jawab.

Tanggal 9 April 2007, 23 orang mahasiswa (12 diantaranya adalah anggota FMN) ditangkap dan ditahan di Polresta Mataram karena aksi menolak pembubaran 3 jurusan yang menyebabkan ratusan  mahasiswa kehilangan cita-citanya. Oleh birokrasi IKIP Mataram berjanji menyelesaikan ijin selama 3 bulan agar mahasiswa dapat kembali berkuliah di 3 jurusan tersebut. Akan tetapi sudah 1 tahun, ijin tersebut belum keluar. Bahkan mahasiswa 3 jurusan tersebut yang berkuliah sementara di Fakultas Pendidikan Bahasa dan  Seni, harus memprogram ulang matakuliah smester satu yang sudah diprogram sewaktu masih kuliah di 3 jurusan  tersebut.

KKN/PPL periode Agustus 2007 merupakan KKN/PPL tersulit yang pernah dialami oleh mahasiswa, bahkan baru pernah  terjadi dalam sejarah KKN/PPL mahasiswa di Mataram. Pasalnya, selain biaya  pendaftaran sebesar Rp. 250 ribu, mahasiswa diberatkan dengan biaya kontrak posko karena tidak adanya hubungan yang baik dengan masyarakat lokasi KKN/PPL. Misalnya saja posko yang ada di Sandik, mahasiswa harus mengeluarkan Rp. 800 ribu untuk membayar kontrakan posko selama 3 bulan, belum lagi untuk membayar listrik dan air, sementara uang yang dikucurkan oleh LPPM yang berasal dari uang pendaftaran KKN/PPL, tidak merata diterima oleh mahasiswa KKN/PPL.

Selain itu mahasiswa juga dibebankan sepenuhnya oleh program KKN/PPL, misalnya mahasiswa harus mendanai pembuatan plank sekolah, gapura desa, taman sekolah, fasilitas perpustakaan dan UKS, membuat lapangan olah raga, dari pembelian bahan sampai pengerjaannya, ditanggung oleh mahasiswa. Ini dikarenakan mahasiswa KKN/PPL tidak dibekali dengan program-program yang ilmiah selama proses pembekalan, karena pembekalan hanya berlangsung selama satu hari.

Tidak hanya itu, tidak profesionalnya birokrasi IKIP Mataram dalam menangani KKN/PPL juga terbukti dari penerimaan terhadap mahasiswa ditempat mereka KKN/PPL. Tidak sedikit mahasiswa yang PPL ditolak oleh sekolah tempat pelaksanaan PPL nya. Ini dikarenakan tidak adanya pemberitahuan dari birokrasi IKIP Mataram tentang program KKN/PPL, mahasiswa hanya dibekali dengan surat pengantar yang ditujukan kepada tempat mereka  melaksanakan KKN/PPL. Merasa tidak dihormati, ada dari pihak sekolah yang mencerca salah satu mahasiswa IKIP Mataram “masuk kayak kambing, keluar kayak anjing”.

Banyak juga mahasiswa yang menjalankan program PPL nya dengan mengajar tidak sesuai dengan bidang ilmunya, misalnya mahasiswa Kimia yang mengajarkan bahasa Arab karena ditempatkan pada sekolah yang tidak mempelajari mata pelajaran Kimia.

Penindasan lain yang dialami mahasiswa adalah dengan semakin banyaknya pungutan liar yang dilegalkan. Misalnya yang terjadai di FPMIPA, khususnya untuk praktek jurusan Biologi yang harus membayar kartu praktek seharga Rp. 500,-/sekali praktek. Juga mahasiswa diminta untuk membeli sendiri bahan-bahan yang dibutuhkan untuk praktikum, padahal tiap smester mahasiswa telah membayar uang praktikum. Selain itu mahasiswa juga diwajibkan untuk membeli buku panduan praktikum yang berisikan materi-materi dasar yang sudah didapatkan selama perkuliahan.

Demikian halnya dengan FPOK yang sempat dihibur dengan fasilitas fitnes yang sudah digadaikan juga, mahasiswa FPOK semakin tertindas oleh semakin banyaknya uang praktikum. Misalnya untuk praktikum bulu tangkis, mahasiswa harus membayar Rp 20.000,-/orang untuk satu kali praktek, itupun fasilitas yang disediakan tidaklah sesuai dengan jumlah mahasiswa yang melakukan praktek. Sedangkan untuk praktek  renang, mahasiswa  diwajibkan membayar Rp. 5.000,-/mahasiswa. Lokasi praktek yang berada cukup jauh dari kampus, membuat mahasiswa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi.

Mahasiswa kembali tertindas
Birokrasi IKIP Mataram kembali menindas mahasiswanya, kali ini dalam bentuk pelayanan akademik yang tidak layak bagi mahasiswa, yakni pembatasan waktu registrasi (pembayaran SPP dan pengambilan KRS), serta transkrip nilai wisudawan yang sampai sekarang belum keluar.

Pembatasan waktu registrasi yang berakhir pada 26 Maret lalu, mengakibatkan ratusan mahasiswa terancam tidak dapat mengikuti perkuliahan karena birokrasi IKIP Mataram mengajurkan untuk mengambil cuti.

Kebijakan pembatasan waktu regitrasi ini dilakukan dengan alasan bahwa birokrasi akan menjalankan kebijakan secara konsisten, dengan kata lain bahwa selama ini birokrasi tidak pernah menjalankan kebijakannya secara konsisten, termasuk soal jadwal akademik (kapan waktu pembayaran SPP, pengisian dan pengambilan KRS berlangsungnya perkuliahan, ujian mid/akhir smester, KKN, pendaftaran sampai pelaksanaan wisuda, mulai dan berakhirnya liburan). Hal ini memang terbukti sesuai kenyataannya, saat kampus lain sudah menjalankan proses perkuliahan selama kurang lebih satu bulan, birokrasi IKIP Mataram baru mulai membuka pelayanan registrasi, itupun tanpa ada pengunguman yang jelas.

Bagi mahasiswa yang rumahnya jauh, apalagi mahasiswa rantauan yang berasal dari luar pulau Lombok, kondisi ini tentu berdampak pada semakin banyaknya biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk transportasi karena harus bolak-balik rumah dan kampus hanya untuk mengecek dimulainya waktu registrasi atau kegiatan perkuliahan. Bahkan sering mahasiswa harus menggunakan SPP untuk biaya hidup karena waktu pembayaran SPP belum dimulai.

Demikian halnya dengan soal pengisian KRS, dengan tidak tahu malunya birokrasi menyalahkan mahasiswa karena keterlambatan pengisian KRS. Padahal pengisian KRS harus berdasarkan hasil KHS, sedangkan untuk pengambilan KHS dipersulit dengan harus membuat KTM seharga Rp. 8.000,- dengan terlebih dahulu membeli formulir pengisian KTM di fotokopian seharga Rp. 200,-  sementara banyak mahasiswa  yang  sudah  mengeluarkan biaya pembuatan KTM tetapi belum menerima KTM tersebut.  Tidak lengkapnya nilai dalam KHS dan dosen wali serta Kajur yang sering tidak berada di kampus,  membuat pengisian dan penandatanganan KRS berjalan semakin lambat.

Kondisi ini juga sering dialami oleh mahasiswa yang sedang menyusun skripsi yang sering kesulitan menemukan dosen pembimbing dan kepala jurusan berada di kampus, sehingga mahasiswa harus mencari ke rumahnya atau ke tempat kerjanya yang lain. Akibatnya, waktu yang telah ditetapkan, tidak cukup untuk menyelesaikan  skripsi.

Keterlambatan waktu registrasi terus berdampak pada keterlambatan proses perkuliahan. Sehingga waktu perkuliahan yang tersedia, tidak cukup untuk menyelesaikan materi kuliah, tidak jarang, mahasiswa sudah berhadapan dengan ujian mid smester hanya dengan beberapa kali pertemuan. Akibatnya, mahasiswa sering dibebankan dengan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengcopi materi-materi yang tidak bisa diselesaikan dengan waktu kuliah yang sangat terbatas.

Tidak profesionalnya birokrasi IKIP Mataram dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa juga dibuktikan dengan soal transkrip nilai wisudawan angkatan 2007/2008 yang sampai hari ini belum tuntas sehingga menghambat bagi yang akan mencari pekerjaan atau melanjutkan sekolah lagi.

Maka jelaslah sudah, keterlambatan waktu registrasi dan transkrip nilai wisudawan, adalah akibat pelayanan yang sangat bobrok dari birokrasi kepada mahasiswa IKIP Mataram. Dan dari berbagai penindasan yang dialami oleh mahasiswa IKIP Mataram menunjukkan bahwa birokrasi IKIP Mataram dibawah pimpinan H.L Said Ruphina, SH, MS merupakan birokrasi yang anti demokrasi dan anti mahasiswa yang selalu membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada mahasiswa. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi mahasiswa IKIP Mataram untuk melepaskan diri dari segala bentuk penindasan, selain bersatu dalam wadah yang tepat, dengan terus menggelorakan perjuangan massa dalam  menuntut pemenuhan hak-hak demokratisnya.

(Sumber : Sebar Demokrasi Edisi Maret 2008)

0 comments:

Post a Comment