Sunday, May 15, 2011

IOMA ; Kebijakan Yang Tidak Ilmiah Dan Tidak Demokratis


(Hasil Investigasi dan Analisis di Fakultas Hukum)

Setiap smester seluruh mahasiswa Universitas Mataram, wajib untuk membayar IOMA yang diperuntukkan untuk membiayai kegiatan kemahasiswaan. Akan tetapi, apakah pentingnya membayar IOMA sudah dirasakan oleh seluruh mahasiswa? Dan apakah IOMA merupakan kebijakan yang ilmiah dan demokratis? Berikut adalah hasil investigasi dan analisis dari FMN Kampus UNRAM akan keberadaan IOMA di Fakultas Hukum



Pendidikan merupakan tanggungjawab negara, hal ini tertuang jelas dalam pasal 31 UUD ‘45 yang mewajibkan negara untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Akan tetapi, hingga hari ini tanggungjawab negara tersebut belumlah terpenuhi, dari  APBN baru 12,3% dan dari APBD NTB hanya 8,7%. Jumlah anggaran yang minim ini masih dibagi lagi dengan anggaran pendidikan kedinasan untuk pegawai negeri/calon pegawai negeri, pendidikan militer, pemuda, olah raga, dan kebudayaan. Bahkan oleh Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa gaji guru termasuk dalam anggaran pendidikan yang dialokasikan dari APBN dan APBD, padahal organisasi guru sendiri, dalam aksi guru senasional, telah menuntut dengan tegas bahwa gaji guru diluar dari 20% anggaran pendidikan dari APBN dan  APBD yang seharusnya dialokasikan untuk peserta didik.

Tidak bertanggungjawabnya pemerintah terhadap sektor pendidikan, dilakukan secara sengaja. Hal ini bisa dilihat dengan berbagai ketentuan hukum yang ada pada berbagai peraturan di sektor pendidikan seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Dasar, Peraturan Pemerintah Nomor 59  Tahun 1999  Tentang Pendidikan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Tahun 1999 Tentang BHMN Perguruan  Tinggi yang pada intinya adalah bagaimana menyerahkan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada tuntutan liberalisasi yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan dan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi kegiatan investasi.

Akibatnya, rakyat Indonesia hanya semakin kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan yang berdampak pada semakin tingginya angka buta aksara, putus sekolah dan pengangguran yang pada akhirnya sebatas menjadikan rakyat Indonesia sebagai tenaga kerja terdidik yang dibayar dengan upah yang sangat murah. Upaya pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan (baca; komersialisasi pendidikan), semakin serius dengan berbagai kebijakan di sektor pendidikan termasuk Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP).

Pemuda-Mahasiswa Indonesia pun semakin menderita akibat komersialisasi pendidikan yang dijalankan pemerintah dengan berbagai kebijakannya, termasuk yang terbaru adalah pemotongan subsidi sebesar 15% untuk Perguruan Tinggi Negeri. SPP yang semakin mahal, adanya berbagai penambahan biaya, fasilitas yang minim, rendahnya kualitas pendidikan, tidak adanya jaminan kebebasan berorganisasi, dan segudang persoalan lainnya, adalah dampak nyata yang harus ditanggung pemuda-mahasiswa Indonesia.

Kondisi tersebut juga dirasakan secara nyata oleh mahasiswa Universitas Mataram. Misalnya saja soal biaya pendidikan yang semakin mahal akan tetapi tidak diimbangi dengan fasilitas yang layak adalah salah satu persoalan yang masih belum diselesaikan. Tidak hanya dengan SPP yang mahal tetapi juga rangkaian pungutan seperti IOMA (Iuran Orangtua Mahasiswa) dan JPKMK (Jaminan  Pemeliharaan  Kesehatan Masyarakat Kampus), dan sebagainya.

Berikut ini merupakan hasil dari investigasi dan analisis FMN Kampus UNRAM terhadap keberadaan IOMA di Fakultas Hukum yang beberapa bulan terakhir, hangat dibicarakan oleh mahasiswa.

Gambaran Umum IOMA
Keberadaan IOMA sendiri pada dasarnya diperuntukkan untuk pembiayaan kegiatan mahasiswa yang
diselenggarakan oleh BEM/DPM dan berbagai Unit Kegiatan Fakultas (UKF) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) yang ada di suatu fakultas. Kebijakan IOMA ini ditentukan oleh lembaga khusus yang dikenal sebagai “orang tua” yang berada di masing-masing fakultas, itu sebabnya jumlah IOMA masing-masing fakultas, bervariasi. Setelah Fakultas Teknik dengan besaran IOMA Rp. 80.000, Fakultas Hukum menempati urutan kedua termahal dengan jumlah Rp. 50.000, sedangkan untuk fakultas lainnya; FMIPA; Rp. 20.000, Ekonomi; Rp. 18.000, FKIP; Rp. 15.000, Pertanian; Rp. 12.000, Peternakan; Rp. 12.000.

Kebijakan Yang Tidak Ilmiah
Berdasarkan hasil investigasi, ada beberapa alasan yang menjelaskan bahwa IOMA di Fakultas Hukum tidak ilmiah, misalnya dari total penerimaan IOMA, hanya 60% yang dialokasikan untuk kegiatan kemahasiswaan, sementara 40% sisanya masing-masing dialokasikan untuk;
1.       10% untuk perpustakaan. Jika yang dimaksudkan adalah pengadaan buku-buku, maka kebijakan ini jelas-jelas tidak ilmiah karena jika melihat buku-buku yang ada pada perpustakaan Fakultas Hukum, terdapat stempel yang menyatakan bahwa buku-buku tersebut merupakan proyek TPSDP yang didanai oleh ADB (Bank Pembangunan Asia). Jika demikian, kenapa harus mengambil 10% dari IOMA lagi?
2.       10% untuk majalah JATISWARA. Keberadaan majalah ini jelas-jelas bukan untuk kepentingan mahasiswa karena bukan dikelolah oleh mahasiswa sebagai wahana ilmiah dalam pengembangan minat dan bakat, juga tidak diperuntukkan secara gratis untuk mahasiswa. Lalu, kenapa mahasiswa harus membayar?
3.       10% untuk studi dan penelitian dosen. Mengapa harus mahasiswa yang membiayai, dan kenapa bukan mahasiswa yang didorong dan didukung sepenuhnya untuk melalukan  kegiatan-kegiatan penelitian  ilmiah?
4.       10% untuk lembaga IOMA. pertanyaannya, apa yang harus dibiayai dan kenapa harus mahasiswa? Jika pembiayaan lembaga ini dikarenakan tugasnya yang mengelolah IOMA, kenapa bukan mahasiswa yang mengelolahnya?

Selain soal diatas, jumlah alokasi yang diterima oleh suatu UKF, cenderung tidak sesuai dengan kualitas UKF itu sendiri. Misalnya berikut gambarannya; “Jika suatu UKF memiliki anggota sebanyak 50 orang (yang terhitung dari angkatan 2004/2005 s/d 2007/2008), dengan besaran IOMA Rp. 50 ribu, maka seharusnya organisasi tersebut mendapatkan alokasi IOMA sebesar Rp. 2.500.000, tanpa harus ngotot-ngototan berdebat dengan kawan sendiri (anggota UKF lainnya) hanya untuk mendapatkan besaran IOMA yang tidak sesuai.”

Belum lagi jika kita memperdebatkan jumlah dana taktis dari rektorat yang merupakan kelebihan dari total SPP seluruh mahasiswa UNRAM yang juga dialokasikan untuk kegiatan mahasiswa, termasuk yang ada di fakultas-fakultas. Maka seharusnya dana yang didapatkan oleh suatu organisasi kemahasiswaan, semakin besar. Sayangnya tidak transparansi soal dana taktis ini.

Jika demikian, kenapa harus meminjam wibawa birokrasi? Kenapa tidak UKF-UKF atau HMJ/HMJ yang ada, menyerukan kepada anggota-anggotanya untuk setiap smesternya beriuran (sesuai dengan jumlah IOMA masing-masing angkatan) untuk membiayai kegiatannya. Dengan demikian, alokasi yang didapatkan jauh lebih besar.

Kebijakan Yang Tidak Demokratis
Kita selalu diajarkan tentang apa itu demokrasi, bahwa demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya bahwa suatu kebijakan yang dibuat adalah berdasarkan kepentingan rakyat. Jika berbicara kampus sebagai miniatur negara, maka kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan keadaan mahasiswa dan untuk kepentingan mahasiswa. Lalu bagaimana dengan kebijakan IOMA? Ada beberapa alasan kenapa kebijakan IOMA dikatakan tidak demokratis;

Pertama, keberadaan IOMA dimaksudkan untuk membiayai kegiatan mahasiswa, akan tetapi penetapan kebijakan tidak pernah melibatkan mahasiswa, padahal mahasiswalah yang akan menjalankanya sehingga mahasiswalah yang paling merasakan dampaknya. Penentuan besaran jumlah IOMA tidak pernah melibatkan mahasiswa, begitupun dengan sistem pengelolaannya yang tidak menyerahkan kepada mahasiswa, akan tetapi melalui birokrasi yang rumit.

Kedua. Seluruh mahasiswa wajib membayar IOMA, akan tetapi tidak semuanya mahasiswa yang dapat merasakan manfaat dari membayar IOMA, karena pengalokasian IOMA hanya diperuntukkan bagi BEM/DPM dan UKF-UKF yang ada, plus 40% yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan kemahasiswaan. Kondisi ini sering melahirkan sikap protes yang tidak tersalurkan dari organisasi-organisasi yang notabenenya bukan BEM/DPM ataupun UKF-UKF, seperti kelompok-kelompok studi, himpunan mahasiswa paguyuban (kedaerahan), ataupun organisasi massa mahasiswa yang anggota-anggotanya juga membayar IOMA, demikian halnya dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi tapi juga membayar IOMA. Jika jawaban yang diberikan birokrasi adalah “untuk merasakan IOMA harus menjadi anggota BEM/DPM ataupun UKF”, maka ada yang salah dari pemahaman terhadap kebebasan berorganisasi yang dipandang sebagai kewajiban, bukan hak. Tetapi jika kebebasan  beroganisasi dipandang sebagai hak, maka “mau berorganisasi atau tidak, menjadi anggota  BEM/DPM atau UKF atau organisasi apapun, merupakan hak setiap mahasiswa”, yang pasti adalah “setiap mahasiswa berhak untuk merasakan manfaat dari membayar IOMA”. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi yang presentasenya sangat besar? Bagaimanakah mereka bisa merasakan manfaat dari membayar IOMA?

Ketiga. Soal transparansi, jika seluruh mahasiswa diwajibkan membayar IOMA, maka seluruh mahasiswa juga berhak untuk mengetahui soal penggunaan IOMA tersebut. Bagaimana bentuknya? Misalnya setiap semeseter, lembaga IOMA mengadakan rapat umum dengan menghadirkan seluruh mahasiswa untuk mensosialisasikan total pendapatan IOMA per semester dan untuk apa saja penggunaannya. Atau yang lebih mudah dengan cara laporan rutin per semester yang ditempelkan pada setiap papan pengunguman sehingga dapat diketahui oleh seluruh mahasiswa. Hal ini juga sebagai kritikan terhadap pandangan birokrasi yang tidak tahu diri yang cenderung menyalahkan mahasiswa jika berbicara tentang suatu kebijakan tidak berdasarkan data yang ada. Pertanyaannya, bagaimana mahasiswa bisa berbicara berdasarkan data yang ada jika birokrasi sendiri tidak pernah terbuka dan memberikan akses yang luas kepada mahasiswa akan data-data tersebut?

Keempat. Kebijakan IOMA sangat terkesan dipaksakan, jika mahasiswa tidak membayar IOMA, maka mahasiswa tidak akan mendapatkan KRS. Lalu, apa hubungannya pembayaran IOMA dengan KRS? Dari diskusi bersama dengan Dekan Fakultas Hukum, Dekan menyatakan bahwa pihak fakultas tidak ada kaitannya dengan penarikan IOMA, itu murni kebijakan dari lembaga IOMA itu sendiri. Jika demikian, kenapa KRS tidak akan diberikan jika mahasiswa tidak membayar IOMA? Apakah lembaga IOMA juga mengurusi soal KRS?

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa keberadaan IOMA di Fakultas Hukum merupakan suatu kebijakan yang sangat tidak ilmiah dan tidak demokratis. Lalu, bagaimana  solusinya? Ada beberapa tawaran yang dapat disimpulkan dari hasil investigasi dan analisis diatas, diantaranya:

Pertama, 100% dana IOMA untuk mahasiswa. Artinya bahwa 40% yang dialokasikan bukan untuk kegiatan mahasiswa (perpustakaan, majalah JATISWARA, studi dan penelitian dosen, serta untuk lembaga IOMA), harus dihapuskan dan dialokasikan sepenuhnya untuk kegiatan mahasiswa. 100%  untuk mahasiswa juga dimaksudkan tidak hanya diperuntukkan bagi BEM/DPM dan UKF-UKF tetapi bagi seluruh mahasiswa, baik yang berorganisasi seperti kelompok-kelompok studi, organisasi paguyuban, organisasi massa, maupun organisasi apapun, dan juga bagi mahasiswa yang tidak  berorganisasi. Oleh karenanya, harus ada jaminan kebebasan berorganisasi bagi seluruh mahasiswa.

Kedua, besaran IOMA ditentukan berdasarkan kualitas masing-masing organisasi kemahasiswaan yang ada. Artinya bahwa, jumlah IOMA harus sesuai dengan jumlah anggota yang ada dan berdasarkan besaran jumlah IOMA yang dibayarkan oleh anggota masing-masing UKF ataupun organisasi  lainnya.

Ketiga, turunkan jumlah IOMA. Jika dari total anggaran IOMA, 40% dapat dialokasikan untuk kegiatan diluar kegiatan mahasiswa, maka kesimpulan sederhana yang bisa diambil adalah jumlah IOMA tersebut berlebihan. Jika Fakultas Pertanian, FKIP, dan Ekonomi, dengan jumlah IOMA yang jauh lebih rendah dan jumlah organisasi kemahasiswaan yang lebih banyak dari Fakultas Hukum, bisa  mengalokasikan untuk kegiatan mahasiswa dengan cukup, mengapa jumlah IOMA Fakultas Hukum harus  jauh  lebih mahal?

Keempat, hapuskan pembayaran IOMA. Sebagai gantinya, masing-masing UKF atau organisasi yang ada bisa melakukan penggalangan dana secara mandiri dengan iuran wajib dari masing-masing  anggotanya yang ditetapkan secara demokratis, juga dengan sumbangan sukarela atau dengan kerja produksi secara mandiri dengan menggali dan mengembangkan bakat yang dimiliki oleh anggotanya. Sedangkan bagi mahasiswa yang tidak berorganisasi, tidak perlu dibebankan.

Terlepas dari kenyataan yang ada bahwa mahalnya biaya pendidikan adalah akibat dari tidak bertanggungjawabnya pemerintah terhadap sektor pendidikan, keberadaan IOMA adalah bentuk kongkret dari kebijakan birokrasi kampus yang tidak pernah berpihak kepada mahasiswa. Dan dari berbagai tawaran solusi yang ada, hal yang pasti adalah, birokrasi kampus bertanggungjawab memberikan transparansi pengelolahan IOMA dan menjamin kebebasan berorganisasi bagi seluruh mahasiswa.

Demikianlah sekilas tentang kebijakan IOMA di Fakultas Hukum yang sengaja ditulis dengan harapan dapat menjadi awal bagi adanya forum-forum ilmiah, baik oleh mahasiswa dan birokrasi untuk membahas dan mencari solusi tentang keberadaan dari IOMA itu sendiri. Hasil investigasi dan analisis dari keberadaan IOMA di Fakultas Hukum diharapkan juga menjadi perbandingan bagi keberadaan IOMA di Fakultas lainnya. Soal kekurangan data sangat diakuai, hal ini semata dikarenakan oleh minimnya akses data dan informasi akibat dari tidak adanya transparansi atas kebijakan yang bersangkutan.

Bersatulah  seluruh  mahasiswa, terus gelorakan perjuangan massa, dan rebut hak-hak kita  !!!

(Sumber : Sebar Demokrasi edisi Maret 2008)

0 comments:

Post a Comment