Sunday, May 15, 2011

Mahasiswa IAIN Mataram Tertindas Oleh Kenaikan Biaya Praktikum


Komersialisasi pendidikan akibat tidak adanya tanggungjawab negara terhadap sektor pendidikan telah membuktikan bahwa pemuda-mahasiswa Indonesia hanya akan dijadikan sebagai “sapi perahan” untuk membiayai kegiatan operasional pendidikan di kampus. Hal ini seperti yang dialami oleh seluruh mahasiswa yang berada pada lingkungan Departemen Agama, termasuk IAIN Mataram yang tertindas akibat kenaikan biaya praktikum



Status negeri atau swasta suatu lembaga pendidikan ternyata tidak membedakan pada besaran biaya pendidikan pandangan sebagaimana masyarakat umum bahwa kampus negeri lebih murah daripada kampus swasta. Demikian halnya dengan kampus IAIN Mataram yang setelah beralih status menjadi kampus negeri, justeru berdampak semakin mahal. Hal ini dikarenakan tidak adanya  tanggungjawab  pemerintah terhadap sektor pendidikan yang tidak hanya berdampak pada kampus swasta, tetapi juga kampus negeri, bahkan kampus negeri semakin terancam dengan adanya kebijakan  pencabutan  subsidi sebesar 15%, juga dengan adanya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan  (RUU-BHP) yang penuh dengan muatan komersialisasi pendidikan.

Agenda Komersialisasi pendidikan yang dijalankan pemerintah, menjadikan kampus sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang jelas saja semakin menindas mahasiswa Indonesia. Salah satu bentuknya adalah SK Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Penyelenggaraan Jasa Pendidikan Perguruan Tinggi Agama Negeri Di Lingkungan Departemen Agama yang mengharuskan seluruh kampus yang berada pada lingkungan Departemen Agama untuk menaikan biaya praktikum.

Adapun besaran biaya praktikum masing-masing kampus, adalah berbeda-beda. Untuk IAIN Mataram sendiri sebesar Rp. 300.000/semester untuk jurusan MIPA dan Rp. 200.000/semester untuk Non MIPA.

Kebijakan ini dinilai sangat tidak ilmiah, khususnya untuk fakultas Non MIPA yang tidak memiliki materi praktek. Sehingga birokrasinya harus kebingungan dan mengada-ngada dalam menyusun materi praktikum.

Selain itu, untuk jurusan MIPA, IAIN Mataram tidak memiliki fasilitas praktikum. Sehingga untuk kebutuhan praktek, mahasiswa IAIN Mataram harus menggunakan fasilitas laboratorium yang ada di kampus Universitas Mataram. Dengan kata lain, kenaikan biaya praktikum tidak diimbangi dengan pengadaan fasilitas praktikum. Lalu, untuk apa mahasiswa harus membayar lebih?

Sementara itu birokrasi IAIN Mataram tidak pernah transparan dalam mengelolah dana kampus, berapa total pendapatan dari SPP, pendapatan yang dialokasikan pemerintah, dan untuk apa saja pengalokasiannya. Kaitannya dengan kenaikan biaya praktikum adalah, dengan adanya transparansi pengelolahan dana kampus, mahasiswa dapat mengetahui apakah kenaikan biaya untuk membiayai kegiatan praktikum, memang diperlukan atau tidak.

Menanggapi kebijakan yang tidak ilmiah dan tidak demokratis tersebut, Persatuan Mahasiswa IAIN Mataram yang terdiri dari BEM/DPM institut dan fakultas, seluruh UKF, dan organisasi massa seperti FMN, SMI, dan PMII, menggelar aksi selama beberapa hari untuk menuntut agar SK Menteri Agama No.19/2006 tersebut tidak diberlakukan di IAIN Mataram.

Menanggapi tuntutan mahasiswa tersebut, Rektor IAIN Mataram menyatakan bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa karena itu merupakan kebijakan Menteri Agama dan kapasitasnya hanya sebatas menjalankan kebijakan. Pernyataan tersebut sangatlah tidak ilmiah mengingat:

Pertama. Besaran kenaikan biaya praktikum yang berbeda-beda di setiap kampus mengindikasikan bahwa besaran biaya didasarkan pada pertimbangan dan masukan dari rektor masing-masing kampus, termasuk IAIN Mataram. Dengan demikian rektor IAIN Mataram punya peran yang sangat besar atas berlakunya kebijakan tersebut. Maka seharusnya rektor IAIN Mataram juga memiliki kapasitas yang besar untuk menolak pemberlakukan dan mencabut kebijakan tersebut.

Kedua. Rektor IAIN Mataram, termasuk rektor-rektor lainnya, dipilih oleh civitas akademik masing-masing kampus, bukan dipilih oleh pemerintah, pemerintah sebatas mengesahkannya. Dengan  demikian, rektor IAIN Mataram dan seluruh rektor, memiliki kapasitas secara yuridis dan politis untuk menolak  pemberlakuan suatu kebijakan, apalagi kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi (UUD ‘45). Demikian halnya dengan SK Menteri Agama No.19/2006  tersebut.

Bukanya berpihak dan memenuhin tuntutan mahasiswa, rektor IAIN Mataram justru menunjukkan wataknya yang anti demokrasi dan anti mahasiswa dengan mendatangkan kepolisian untuk membubarkan aksi mahasiswa secara paksa. Akibatnya aksi berujung pada pemukulan dan penangkapan terhadap 3 orang mahasiswa IAIN Mataram pada tanggal 22 Januari lalu. Dan hingga saat ini ketua BEM IAIN Mataram-Wahyu, ditetapkan sebagai tersangka dan berstatus tahanan kota yang terus wajib lapor ke kepolisian karena tuduhan melakukan pengrusakan fasilitas kampus. Maka tidak ada pilihan lain bagi mahasiswa  selain  terus  menggelorakan perjuangan massa untuk merebut hak-hak demokratisnya.

(Sumber : Sebar Demokrasi edisi Maret 2008)

0 comments:

Post a Comment