Sunday, May 15, 2011

Said Ruphina, Rektor Lalim Yang Tidak Pernah Pedulikan Mahasiswa


17 Januari 2009, kampus IKIP Mataram kembali bergejolak, mahasiswa kembali terlibat bentrok dengan satpam kampus. Persoalan ini tidak dapat dilihat sebagai tindakan anarkisme mahasiswa semata, tanpa menganalisis faktor yang menjadi penyebab utamanya. Lalu, apakah yang menjadi penyebab utamanya?


Bobroknya Kinerja Kerja Birokrasi Dibawah kepemimpinan H.L Said Ruphina, S.H, M.S, sepertinya mahasiswa IKIP Mataram tidak akan pernah terlepas dari berbagai bentuk penindasan yang membelenggunya. Mulai dari biaya pendidikan yang sangat mahal, maraknya praktek pungutan liar, fasilitas yang sangat minim, jadwal akademik yang semerawut, dosen yang tidak kompetitif dan sering tidak masuk mengajar, tidak nyamannya aktifitas perkuliahan, serta tidak adanya jaminan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, bahkan birokrasi IKIP Mataram tidak pernah peduli  dengan nyawa mahasiswanya.

Tidak puas dengan kematian M. Ridwan, birokrasi IKIP Mataram sama sekali tidak bertanggungjawab atas meninggalnya Sri Sofiani, mahasiswa FPBS semester VI yang sedang menjalankan program KKN/PPL Terpadu di SMPN 2 Tanjung-Lombok Barat. Mahasiswa asal Guahiro-Santong-Lombok Utara ini, sebelumnya sempat dirawat di ruang ICU RSUD Mataram  selama 5 hari setelah mengalami kecelakaan sepulangnya dari tempat KKN/PPL terpadu (12 November, red).  Menurut keterangan dari pihak keluarga, pihak RSUD Mataram meminta agar almarhummah harus segera dioperasi, akan tetapi karena biaya operasinya yang mencapai Rp. 30 juta, maka pihak keluarga pun menundanya  untuk mengumpulkan dana. Akibatnya almarhummah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 16 November pkl. 21.30 wita.

Saat beberapa anggota FMN IKIP Mataram berkunjung ke rumah keluarga untuk menyumbangkan dana yang disumbangkan oleh para mahasiswa IKIP Mataram, pihak keluarga korban memberikan keterangan bahwa tidak ada sepeserpun biaya yang dikeluarkan oleh birokrasi IKIP Mataram sebagai bentuk tanggungjawabnya. Padahal mahasiswa IKIP Mataram telah dipungut uang sebesar Rp 10.000,-/mahasiswa sebagai jaminan keikutsertaan dalam asuransi, sebagaimana yang tertera dalam Kartu Tanda Mahasiswa (KTM).

Namun yang akan dibahas dalam tulisan saat ini adalah soal tidak adanya jaminan kepastian status hukum lembaganya. Masih segar diingatkan kita akan nasib ratusan mahasiswa yang kehilangan cita-cita dan massa depannya akibat dibubarkannya Jurusan PGTK, Pendidikan Bahasa Jerman, dan Pendidikan Seni Rupa pada awal April 2007 akibat tidak memiliki ijin operasional. Saat itu, Rektor IKIP Mataram berjanji kepada mahasiswa untuk mengurus ijin operasional dalam waktu tiga bulan, sehingga sampai sekarang masih banyak mahasiswa tiga jurusan tersebut yang berkuliah di jurusan-jurusan lain yang ada di IKIP Mataram dengan terus berharap bahwa Rektor IKIP Mataram dapat menepati janjinya, sehingga mereka dapat kembali menggapai cita-citanya. Akan tetapi hampir 2 tahun berlalu, ijin operasional tersebut belum kunjung datang.

Kondisi ini kembali mengancam mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Jurusan Fisika karena berakhirnya ijin operasional Jurusan Fisika sejak 12 April 2008 dan hingga sekarang belum ada perpanjangan ijin operasional yang diajukan oleh birokrasi IKIP Mataram kepada KOPERTIS Wilayah VIII yang selanjutnya akan menjadi pertimbangan DIKTI untuk memberikan perpanjangan ijin tersebut. Selain Jurusan Fisika, seluruh jurusan yang ada di IKIP Mataram akan berada dalam masa “restatus” dalam rentan waktu Maret hingga Juli 2009. Artinya bahwa, dalam rentan waktu tersebut, birokrasi IKIP Mataram harus segera mengajukan perpanjangan ijin operasional sebelum masa berlakunya berakhir.

Secara hukum, tentu hal ini tidak dapat dibenarkan, disaat tidak memiliki kepastian hukum, Rektor IKIP Mataram tetap menjalankan aktifitas perkuliahan sebagaimana biasanya. Seperti yang kita ketahui, ijin operasional sangat penting sebagai syarat sah diakuinya status hukum suatu lembaga pendidikan, dan status hukum bagi mahasiswanya. Artinya bahwa, seseorang tidak akan sah sebagai mahasiswa jika kampusnya sendiri tidak memiliki kepastian hukum. Selanjutnya hal ini berdampak pada pengakuan terhadap hak-hak dasar bagi mahasiswanya, terlebih jika nantinya seorang mahasiswa telah menyelesaikan kualiahnya (wisuda) dan akan mencari pekerjaan, maka ijazah yang menjadi syarat formalnya, akan dipertanyakan keabsahannya.

Sementara itu, ijin operasional bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya saja perbandingan jumlah dosen dengan mahasiswa, tentu jumlah dosen tetap harus lebih banyak dari jumlah dosen luar biasa dan atau dosen tamu. Juga kualifikasi dosen yang minimal Magister (S2) sebagaimana diatur dalam pasal 46 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Demikian halnya dengan perbandingan jumlah fasilitas dengan mahasiswanya dan kualifikasi fasilitasnya. Sementara yang kita ketahui bahwa, laboratorium Jurusan Fisika sangat minim akan fasilitas. Demikian halnya dengan syarat administrasi yang wajib dijalankan oleh birokrasi, yakni  memberikan laporan rutin per semester kepada KOPERTIS yang akan menjadi pertimbangan DIKTI untuk memberikan ijin operasional dan status akreditasi kepada kampus yang bersangkutan.

Tentu saja kondisi ini menimbulkan kepanikan bagi mahasiswa. Berbagai upaya telah dilakukan mahasiswa untuk mendapatkan kejelasan status secara langsung dari birokrasi IKIP Mataram. Forum terakhir antara birokrasi dengan mahasiswa IKIP Mataram adalah dialog antara mahasiswa dengan Dekan FPMIPA pada 15 Januari lalu. Dalam forum tersebut mahasiswa mempertanyakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh birokrasi IKIP Mataram dalam memperpanjang ijin operasional tersebut. Akan tetapi, mahasiswa tidak mendapatkan kepastian dan jawaban yang ilmiah. Bahkan seperti yang disampaikan dalam forum tersebut, Dekan FPMIPA sendiri tidak memahami perbedaan antara ijin operasional dan status akreditasi, berikut syarat-syarat untuk mendapatkan perpanjangan ijin operasional tersebut. Bahkan lebih parah lagi, Dekan FPMIPA tidak memahami kewajiban untuk memberikan laporan rutin per semester kepada KOPERTIS dan DIKTI sebagai syarat administrasi pengajuan ijin operasional dan akreditasi kampus, karena menurutnya, itu semua merupakan urusan Rektorat.

Hal ini menunjukkan betapa bobroknya kinerja kerja birokrasi IKIP Mataram dibawah kepemimpinan H.L Said Ruphina dalam menjalankan berbagai tanggungjawabnya.

Sikap Reaktifnya Adalah Bentuk Ketakutannya
Karena tidak mendapatkan penjelasan yang ilmiah serta tidak adanya bukti bahwa Jurusan Fisika memiliki perpanjangan ijin operasional, mahasiswa kemudian menggelar rapat terbuka (16/1, red) untuk membicarakan solusi yang akan diambil dalam menuntut pertanggungjawaban Rektor IKIP Mataram untuk  segera memperpanjang ijin operasional Jurusan Fisika. Dari hasil rapat tersebut, mahasiswa bersepakat untuk memboikot seluruh aktifitas perkuliahan dan mengadakan aksi pada 17  Januari 2009, hingga tuntutannya terpenuhi.

Sesuai dengan kesepakatan, pagi harinya (17/1, red) mahasiswa mulai berkumpul untuk menggelar aksi dan mulai menyisir ruangan kelas dan mengajak mahasiswa lainnya untuk bergabung. Bukannya menerima aksi mahasiswa sebagai bentuk kritik atas kinerja kerjanya yang bobrok, dan memenuhi tuntutan mahasiswa sebagai tanggungjawabnya, Rektor IKIP Mataram justeru menunjukkan sikap yang sangat reaktif. Aksi yang digelar mahasiswa, dibubarkan secara paksa oleh satpam kampus dengan melempari massa aksi dengan menggunakan kursi lipat, memukul dengan tiang bendera, dan menendang bahkan menginjak massa aksi. Merasa dalam keadaan yang terdesak, mahasiswa kemudian mundur dan berlari hingga keluar kampus.

Karena terus dikejar oleh satpam, massa aksi kemudian melakukan perlawanan dengan melempari satpam kampus dengan batu. Aksi yang awalnya damai kemudian berubah menjadi aksi saling lempar, bahkan hingga diluar kampus IKIP Mataram.

Secara prosedur hukum, tindakan yang dilakukan oleh satpam kampus IKIP Mataram sangat diluar batas dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Satpam hanya memiliki kewenangan tugas yang terbatas dari pihak kepolisian sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negera Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan/Atau Instansi/Lembaga Pemerintahan. Dengan kata lain, satpam kampus IKIP Mataram telah melanggar kewenangan kepolisian.

Tindakan yang dilakukan para satpam kampus tersebut tentu tidak berdiri sendiri, melainkan atas limpahan kewenangan yang diberikan oleh Rektor IKIP Mataram. Maka H.L Said Ruphina, bertanggungjawab sepenuhnya atas bentrokan tersebut. Apalagi H.L Said Ruphina merupakan anggota Dewan Penasehat Asosiasi Menejer Security Indonesia (AMSI) Wilayah NTB yang seharusnya memahami betul akan  tugas dan wewenang satpam kampus.

Bukan kali ini saja Rektor IKIP Mataram bertindak diluar jalur hukum dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menanggapi aksi mahasiswa. Misalnya saja tragedi 22 Agustus 2006 yang menewaskan M. Ridwan akibat ditusuk preman yang sengaja digerakkan birokrasi IKIP Mataram untuk menghadang aksi mahasiswa yang menuntut pemenuhan hak-hak dasarnya. Atau juga penangkapan terhadap 23 orang mahasiswa yang melakukan aksi penolakan pembubaran tiga jurusan pada tanggal 9 April 2007.

Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi-organisasi mahasiswa yang menggelar aksi pada tanggal 17 Januari tersebut, diancam dibubarkan dan dibekukan segala aktifitasnya. Hal ini disampaikan dalam steatment 14 organisasi dependen kampus yang dimuat pada Harian Umum Lombok Post (19/1).


Sementara itu, birokrasi IKIP Mataram tetap melakukan intimidasi terhadap mahasiswa yang menggelar aksi, dan agar mahasiswa lainnya tidak menggelar aksi. Misalnya saja yang dilakukan oleh salah seorang dosen, Ismail Marzuki, S.H yang pada saat memberikan kuliah Kewarganegaraan di kelas B Jurusan Bahasa Inggris-FPBS (21/1), mengatakan bahwa dia memiliki basis preman diseputaran Mataram yang siap digerakkannya jika mahasiswa menggelar aksi. Tentu hal ini merupakan bentuk intimidasi terhadap kebebasan berorganisasi dan berekspresi sebagai salah satu hak dasar rakyat yang telah dijamin dalam pasal 28 UUD’ 45.

Dari kondisi ini, maka jelaslah bahwa bentrokan pada tanggal 17 Januari tersebut merupakan akibat dari tidak bertanggungjawabnya Rektor IKIP Mataram dalam menjalankan kewajibannya. Sikap reaktif yang ditunjukan oleh Rektor IKIP Mataram, sesugguhnya merupakan bentuk ketakutannya terhadap bangkitnya gerakan massa sebagai perlawanan terhadap segala bentuk penindasan yang dilakukannya. Maka tidak ada cara lain bagi mahasiswa, selain terus menggelorakan perjuangan massa hingga tuntutannya dapat dimenangkan.

(Sumber : Sebar Demokrasi edisi Februari 2009)

0 comments:

Post a Comment